Komisi IX DPR RI mengapresiasi kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Bareskrim Polri yang melakukan pengungkapan sindikat pengedar obat ilegal di Banten, Jawa Barat. Namun, pada saat yang sama juga mengkhawatirkan masih banyak obat dan makanan palsu yang beredar di tengah masyarakat.
Wakil Ketua Komisi Saleh Partaonan Daulay menjelaskan, pengawasan yang dilakukan oleh BPOM masih jauh dari harapan. Setidaknya, hal itu terlihat dari tiga hal, yakni dari sisi kelembagaan dan sumber daya manusia yang dimiliki.
"Sampai saat ini, penyidik yang ada di BPOM hanya berjumlah sekitar 520 orang. Tentu jumlah ini sangat sedikit bila dibandingkan dengan luasnya cakupan pengawasan yang diperlukan," ujarnya kepada wartawan di Jakarta Rabu, 7/9).
Kedua, dari sisi regulasi BPOM belum memiliki payung hukum yang kuat. Keberadaan BPOM hanya didasarkan pada Perpres Nomor 103/2001. Tidak jarang kewenangan yang dimiliki BPOM dalam perpres justru dibatasi undang-undang lain.
Kemudian dari sisi penganggaran, BPOM belum begitu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tugas dan tanggung jawab besar yang dimiliki BPOM belum didukung dengan anggaran memadai. Akibatnya, program dan kegiatan BPOM terkesan hanya repetisi dari program yang sama dari tahun-tahun sebelumnya.
Menurut Saleh, terkait dari penguatan regulasi, Komisi IX telah meminta agar Kementerian Kesehatan dan BPOM melakukan revisi terhadap beberapa Peraturan Menteri Kesehatan yang dinilai mengebiri kewenangan BPOM dalam melakukan pengawasan.
"Saat ini, Permenkes tersebut sudah selesai dan tinggal pada tahap finalisasi," ujar politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.
Di samping itu, Komisi IX juga sedang menginisiasi pembuatan RUU Pengawasan Obat dan Makanan yang merupakan inisiatif DPR.
"Diharapkan, dengan undang-undang itu, eksistensi dan kewenangan BPOM makin kuat dan fungsional sebagaimana diharapkan masyarakat luas," tegas Saleh.
[wah]