KEKAGUMANKU terhadap Kwik Kian Gie, relatif sangat tinggi. Dia punya integritas, berani bersikap dan tidak punya persoalan yang disebut "double minority complex". Yaitu WNI keturunan Tionghoa dan bukan pemeluk Islam, agama mayoritas penduduk Indonesia.
Lihat saja keberaniannya untuk tidak mengubah nama Tionghoa. Kwik adalah Kwik Kian Gie yang tidak merubah apa yang sudah menjadi pilihannya. Ia tetap memeluk agama Buddha serta beristerikan wanita keturunan Eropa, tetapi penampilannya lebih Indonesia ketimbang yang sudah Indonesia dari sononya.
Dengan tidak mengubah namanya, Kwik jelas menunjukkan bahwa ia ingin agar kemajemukan yang dilakukannya, nyata di Indonesia.
Tidak pula berarti dengan masih mempertahankan nama Kwik Kian Gie, lantas bisa diartikan kiblat kebangsaannya masih ke negeri leluhur di Tiongkok sana.
Dalam banyak hal, Kwik dalam pespektif subyektif saya, jauh lebih unggul dibanding dengan Ahok, Gubernur DKI Jakarta yang juga vokal kalau bicara.
Dalam soal keberanian bicara misalnya, Kwik, relatif di atas Ahok. Kwik tidak suka menggunakan kata-kata dari Taman Safari atau Kebon Binatang, Ragunan.
Kwik sebagai politisi pun pasti lebih disukai ketimbang Ahok. Kwik bukan tipe politisi pemburu jabatan. Hal ini dibuktikannya pada tahun 2004.
Taufieq Kiemas (almarhum) suami Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengungkapkan, partai sudah bulat mencalonkan Kwik Kian Gie menjadi Ketua MPR RI, peridoe 2004-2009.
Tapi Kwik menolak dengan alasan obyektif sekaligus subyektif. Tapi intinya, Kwik tidak mengejar jabatan.
Bukti lain ketika dia masuk PDI, dia memilih jabatan yang tidak populer yakni Kepala Litbang (Penelitian dan Pengembangan).
Sebagai politisi Kwik juga tidak berprilaku seperti kutu loncat. Sekali masuk menjadi PDI, tidak tergoda untuk hengkang, pindah partai atau ber-kutu loncat.
Ketegasannya dalam bersikap dan mengkritisi persoalan bangsa, menurut hemat saya merupakan identitasnya yang patut ditiru oleh mereka yang menjadi figur publik.
Kalau mau dirinci secara utuh, semua yang bersifat positif atau plus-plus masih banyak yang bisa ditulis.
Tapi semua plus-plus itu tidak saya lanjutkan. Semalam saya memperoleh viral dari politisi PDI-P, Dhia Prekasa Yudha. Mantan wartawan harian "Prioritas" dan "Kompas" ini, selaku admin sebuah WAG (WhatsApp Grup) memposting sebuah artikel karya Kwik Kian Gie lewat WA.
Sebagai sebuah ulasan, tulisan tersebut cukup bagus. Sebab uraiannya mudah dimengerti dan walaupun panjang, tidak akan membuat kita letih membacanya.
Namun yang membuat saya kaget, substansi dari tulisan itu begitu sarat atas ketidak sukaan Kwik Kian Gie terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Penafsiran yang terbentuk adalah di atas segalanya, yang benar dan paling kapabel hanya Kwik Kian Gie sendiri.
Tanpa sadar, kepala saya bergeleng-geleng sendiri. Nalar dan logika sehat saya mengatakan, Kwik sudah melakukan penodaan terhadap siapa saja yang tidak bersepakat dengan dia.
Dan saya sangat tidak setuju, ketika Kwik mempersoalkan kesalahan Prof. Widjojo Nitisastro dkk sewaktu meletakkan dasar-dasar konsep pembangunan Indonesia di tahun 1967.
Sebab satu hal yang pasti, resep Widjojo Nitisastro sesuai apa yang saya baca dari berbagai literatur bisa memulihkan Indonesia dari krisis yang sangat parah. Seperti inflasi yang mencapai ratusan prosen, bisa turun dalam waktu singkat ke titik dobel digit.
Saya juga tidak sependapat kalau hanya Mafia Berkeley (Amerika) yang dituduh menjadi dominator atas konsep pembangunan di Indonesia. Sebab teknokrat yang berasal dari Eropa juga ikut serta dalam Tim Ekonomi Indonesia. Seperti Radius Prawiro, Subroto, Rachmat Saleh, ataoun Sumitro Djojohadikusumo dan yang lebih muda dari mereka, seperti Arifin Siregar.
Rasa kagum saya semakin luntur, ketika Kwik membahas soal hengkangnya Sri Mulyani ke Bank Dunia pada 2010. Sebab Kwik menyebut Sri mengundurkan diri.
Dan pengunduran diri yang disertai keputusan melamar atau menerima lamaran dari Bank Dunia, menurut Kwik sangat tidak etis. Sebab di Jakarta saat itu Sri Mulyani sedang menghadapi persiapan pemeriksaan oleh KPK terkait skandal Bank Century.
Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwa Sri Mulyani dipecat oleh Presiden SBY. Dugaan kuat, Sri Mulyani disingkirkan, karena ia mendebat pernyataan atau bantahan Presiden SBY soal Skandal Bank Century.
Sri Mulyani berkali-kali mengatakan bahwa untuk keputusan memberi talangan kepada Bank Century, telah dikomuniasikannya dengan Presiden SBY.
Namun SBY keukeuh menyebut saat pengambilan keputusan itu, SBY sedang berada di luar negeri. Berbagai pertanyaan muncul, apakah berada di luar negeri berarti seorang Presiden tidak bisas mengambil keputusan?
Kwik juga mencurigai pers Amerika yang tidak menghebohkan Sri Mulyani menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Sangat beda perlakuan pers Amerika terhadap Presiden Bank Dunia sebelumnya, Paul Wolfowitz.
Kwik lupa Wolfowitz Scandal tidak sama dengan skandal Bank Century dengan Sri Mulyani-nya.
Wolfowitz, bekas Dubes AS di Jakarta, terlibat skandal percintaan dan sex dengan staf wanita bawahannya.
Ringkasnya ulasan soal Sri Mulyani memberi kesan kepada saya, alasan ketidak sukaan Kwik Kian Gie sudah mempribadi dan menggunung. Bukan lagi dalam rangka memberi wacana dan pencerahan.
Kalau Kwik Kian Gie mau obyektif, mestinya ada ulasan mengapa Menteri Keuangan ini mulai membantah klaim SBY?
Sri Mulyani baik langsung maupun lewat pejabat lain dari Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa pembengkakan hutang saat ini, terjadi karena peninggalan rezim SBY.
Sri Mulyani membenarkan bahwa hutang luar negeri sebelumnya sudah dilunasi oleh rezim SBY. Tetapi dia juga mengungatkan, sejak 2011, rezim SBY kembali membuat hutang baru.
Dan beban hutang itulah yang menjadi beban rezim Joko Widodo sekarang.
Artinya saat ini, Sri Mulyani sedang menebar ancaman kepada SBY. Sri Mulyani tengah membongkar kebohongan ataupun kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berdasi.
Dengan menyembunyikan fakta tersebut, saya khawatir, Kwik Kian Gie terjebak atau dijebak. Atau barangkali punya misi dan agenda tersendiri terhadap republik ini. Entah itu untuk mengembosi rezim Jokowi sambil membungkus dengan baik citera rezim SBY sebelumnya. Atau agenda yang hanya dia dan Tuhan sendiri yang tahu.
Entah sadar atau tidak, menyembunyikan beberapa kebenaran dan membesar-besarkan hal yang tidak tepat, merusak reputasi dan kredibilitasnya sendiri.
Dalam ulasannya juga Kwik antara lain mengutip beberapa buku karya orang Barat. Satu di antara mereka, John Pilger. Saya tidak tahu apakah yang dimaksudkannya sama dengan John Pilger yang saya tahu.
Seandainya yang dimaksud John Pilger yang saya tahu, maka berarti wawasan Kwik Kian Gie tentang sang penulis, sangat keliru.
Sebab John Pilger yang saya maksud, merupakan wartawan Inggris atau wartawan Australia yang berdomisli di Iggeris. Pilger tercatat sebagai wartawan, penulis buku dan sutradara serta sangat anti- Indonesia.
"The Dili Massacre", merupakan buku dimana di dalamnya antara lain mengupas tentang Insiden Santa Cruz di Dili Timor Timur tahun 1991.
Insiden itu berupa penembakan militer Indonesia terhadap sejumlah demonstran anti-Indonesia. Akibatnya terjadi banyak pemuda Timtim yang tewas.
Saya menonton film tersebut di Adeleide, Australia Selatan tahun 1994. Saya tertarik menontonnya karena sehari setelah Insiden Santa Cruz terjadi, saya datang ke lokasi itu bersama Pangdam IX/Udayana, Mayjen Sintong Panjaitan serta Kepala BIA (Badan Intejens ABRI) Mayjen Arie Sudewo.
Keikutsertaan saya dalam rombongan militer, sesuai kapasitas sebagai Pemimpin Redaksi "Bali News" dan harian "Nusa Tenggara". Dua koran tersebut diterbitkan oleh Kodam Udayana sementara manajemen dan pembiayaannya oleh PT Surya Persindo, milik Surya Paloh yang saya wakili.
Apa yang saya lihat tentang kuburan Santa Cruz sangat berbeda gambar yang diselipkan di film karya John Pilger tersebut.
Di film itu digambarkan, seolah film itu sangat lengkap dan faktual. Sebab ada petikan video yang menceritakan pembunuhan massal di Santa Cruz.
Padahal suasana di film itu, sangat berbeda situasinya dengan di Santa Cruz.
Jadi di sini satu kelemahan Kwik Kian Gie. Dia terjebak oleh kebohongan dan referensi buku karya John Pilger.
Sebagai penutup, bagi saya membesar-besar kesalahan yang dibuat Widjono Nitisastro dan kawan-kawan, tak akan adan gunanya. Kerusakan telah terjadi dan yang mendesak sekarang sebetulnya adalah bagaimana berpikir ke depan. Menyambut dan menghadapi persoalan yang sudah berubah dan lebih kompleks.
Sri Mulyani boleh jadi bukanlah sosok yang bisa menjadi dewi penolong Indonesia.
Tetapi mengerdilkannya sekaligus menuduhnya sebagai agen asing untuk menghancurkan Indonesia, untuk saat sekarang mungkin terlampau naif dan berlebihan serta sebuah kesalahan.
Dan kesalahan itulah yang sedang dibesarkan oleh Kwi Kian Gie.
So, ada apa sih mener Kwik?
[***]Penulias adalah wartawan senior