TAHUN 1976, kesebelasan nasional Indonesia yang bertanding di Pra Piala Dunia (PPD) Singapura bikin geger Asia bahkan dunia.
Kapten tim nasional Indonesia Iswadi (almarhum) dipulangkan ke tanah air oleh Ketua Umum PSSI Bardosono pada saat PPD masih bergulir.
Iswadi dituduh menerima suap. Kekalahan Indonesia dari Hong Kong akibat suap. Dengan kekalahan itu posisi Indonesia untuk lolos mengecil dan memang pada akhirnya tersingkir.
Kekalahan itu memalukan dan merembet kemana-mana. Rasa percaya di antara sesama anggota tim nasional Indonesia, turun drastis.
Wartawan Indonesia yang meliput babak penyisihan itu, curiga dengan semua pemain. Kecurigaan di antara sama orang Indonesia tumbuh kuat di Singapura.
Djunaidi Abdillah, libero terkenal Indonesia ketika itu, sempat tersinggung dan bersitegang dengan saya.
Di luar lapangan kami bersahabat baik. Hampir semua rahasia pribadinya dengan Tini pacar yang kemudian menjadi isteri berada dalam kantong saya. Djunaidi maupun Tini percaya saya tidak akan menulis asmara mereka yang ketika itu antara lain mereka lakukan sembunyi-sembunyi di Wisma Atlit Senayan atau Asrama Ragunan.
Kami bersitegang karena saya tidak mau meladeni panggilan Djunaidi. Saya menghindar ketika dia menghampiri saya di stadion Singapura. Karena saya takut dia mungkin terlibat dalam skandal dengan Iswadi.
Kekalahan dari Hong Kong memang sangat mengejutkan dan memalukan.
Sebab saat itu Indonesia dikenal sebagai negara yang difavoritkan. Indonesia sedang merajai berbagai kejuaraan sepakbola Asia bersama Thailand. Indonesia dan Thailand silih berganti mengangkat piala yang diberikan oleh berbagai kejuaraan sepakbola Asia.
Prestasi sepakbola Jepang, Korea, RRT, bahkan Australia, ketika itu masih sangat terkebelakang.
Sedangkan Hong Kong, hanya sebagai debutan yang kualitas sepakbolanya masih di bawah PSMS Medan, Persija Jakarta atau Persebaya Surabaya.
Hong Kong bisa ikut serta di babak penyisihan PPD lebih dikarenakan alasan politik, ketimbang prestasi.
Piala Dunia sepakbola pada saat itu lebih didominasi oleh pengaruh Barat, terutama Inggris. Negara sepakbola ini dikenal cukup maju dan saat itu masih menjadi protektor bagi Hong Kong.
Pada awalnya banyak yang menganggap tindakan Bardosono, almarhum, dengan memulangkan Iswadi sambil menyebutkan alasan pemulangannya, sebagai sebuah tindakan ksatria dan terpuji.
Baru beberapa tahun kemudian tindakan itu dinilai sebagai sebuah blunder. Belakangan disadari, tindakan Bardosono merupakan hasil provokasi negara asing.
Dia didorong dengan pujian. Dia dijebak dengan pujian. Padahal pemecatan itu menjadi awal dari hancurnya kekompakan dan saling percaya antar sesama anggota tim sepakbola nasional.
Dijadikannya Bardosono sebagai "pintu masuk" merusak Indonesia, bukan tanpa kalkulasi. Bardosono sekalipun hanya seorang jenderal bintang satu (Brigjen), tetapi jaringannya sampai ke jenderal bintang empat.
Bardosono, tidak hanya dilihat sebagai Ketua Umum PSSI, tetapi juga seorang petinggi militer yang kuat pengaruhnya dalam pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh rezim militer.
Sang jenderal tidak sadar terprovokasi oleh atau melalui sebuah "psy war", perang urat syaraf.
Pemecatan pesepakbola Iswadi sebagai pemain yang bisa disuap agar bermain sesuai kehendak si penyuap, melegitimasi eksisnya budaya suap di Indonesia.
Entah apa alasannya sehingga Bardoso tidak mengungkapkan siapa pemberi informasi penyuapan itu dan berapa besar yang diterima Iswadi. Padahal jika Iswadi terkena suap, pihak lain juga perlu diselidiki.
Jika pemulangan Iswadi bertujuan mendisiplinkan, sebetulnya bukan hanya Iswadi yang dipulangkan.
Seharusnya Indonesia secara tim mengundurkan diri dari kejuaraan itu. Atau paling tidak Hong Kong yang menang berkat adanya sogokan kepada pemain Indonesia, juga harus digugat. Syukur-syukur skandal suap Singapura itu dijadikan alasan untuk menggugat FIFA.
Tapi semua yang disebut belakangan ini, tak terjadi, Hanya nama baik Indonesia yang terlanjur rusak atau tercoreng.
Otomatis tercipta citra, kalau di Singapura, jangan coba-coba melakukan suap.
Tindakan Bardosono jelas mempermalukan Iswadi, Tapi yang malu semua pesepakbola. Soalnya Iswadi saat itu merupakan salah satu ikon pesepakbola nasional.
Secara tidak langsung, tragedi tersebut telah merusak cabang olahraga yang terpopuler di Indonesia itu. Keinginan menjadi pesepakbola terganggu.
Secara pelan tetapi pasti kebanggaan bangsa lewat sepakbola menguap. Semangat juang di lapangan hijau rontok.
Bardosono seolah mempertegas, suap di Indonesia tidak hanya dalam proyek pembangunan, melainkan termasuk proyek nirlaba yaitu kejuaraan sepakbola.
Maklum ketika itu, sepakbola profesional di negara-negara Barat sendiri, belum sepopuler seperti di era 2000-an. Atlit yang bisa hidup dari honor bermain sepakbola, di Indonesia hampir tak ada.
Hanya saja tak ada yang berani mengingatkan, mengoreksi apalagi menegur Bardosono.
Soalnya Bardosono dianggap kerabat baik Presiden Soeharto, penguasa tunggal Indonesia ketika itu.
Pokoknya di mata elit dan kaum penentu kebijakan, Bardosono merupakan tangan kanan, kepercayaan pribadi Presiden RI Soeharto.
Hal itu tambah diperkuat oleh kenyatan. Jabatan resminya sebagai Sesdalopbang - Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan.
Kalau untuk era itu Sesdalopbang merupakan mata dan telinganya Presiden Soeharto. Semua Menteri dan Gubernur takut memperoleh angka merah dari Sesdalopbang.
Kantor Bardosono dan Presiden Soeharto hanya dibatasi oleh dinding di gedung Bina Graha. Gedung ini merupakan satu-satunya bangunan yang khusus dibangun Orde Baru di Kompleks Istana Merdeka dan Istana Negara, Jakarta.
Saya sendiri cukup terkejut. Tidak mau dianggap bersalah, ketika ada yang menuding keterlibatan saya dalam kerusakan tim sepakbola nasional. Saya dianggap ikut membocorkan rahasia tim Indonesia.
Sebagai reporter majalah "Selecta", Jakarta dengan masa kerja kurang dari satu tahun, cara berpikir saya memang masih sangat terbatas. Saya tidak melihat olahraga bisa dipenetrasi atau diganggu oleh manuver politik ataupun provokasi.
Saya dituding bersalah karena telah memberikan informasi yang mestinya konfidensial, kepada wartawan Singapura. Boleh jadi info dari saya tidak hanya beredar bagi Singapura tapi juga semua lawan.
Memang benar, semua foto para anggota Kesebelasan Nasional, berikut data pribadi mereka serta kehebatan mereka manakala beraksi di lapangan hijau, saya bocorkan kepada seorang wartawan olahraga Singapura.
Saya lakukan itu tanpa niat berkhianat. Saya pikir siapa saja bisa memperoleh info seperti itu. Jadi tanpa berpikir informasi itu sangat erarti bagi tuan rumah Singapura.
Sebaliknya saya bangga bisa berkenalan dan dipercaya oleh wartawan Singapura. Dalam waktu singkat sudah bisa langsung punya koneksi dengan wartawan asing.
Saya bangga membaca profil tim Indonesia di koran Singapura dan melihat nama saya tercantum dalam "kredit foto" para pemain.
Jeffrey Low, demikian namanya, saat itu bekerja untuk harian sore "The Nation", anak perusahaan "The Strait Times", Singapura.
Saya juga baru belakangan menyadari, semenjak insiden suap itu rahasia Indonesia, sudah manjadi "barang murah".
Kemudian prestasi sepakbola Indonesia di tingkat Asia terus merosot.
Sementara Singapura yang baru merdeka 21 tahun kemudian setelah kemerdekaan kita, sepakbolanya mengalami kebangkitan yang luar biasa. Beberapa kali mempecundangi Indonesia.
Klub-klub sepakbola Indonesia memang tumbuh. Tapi kemudian ketika bertanding dalam kejuaraan antar klub, suap menyuap dengan istilah "sepakbola raja" dan "sepakbola gajah", mewarnai ceritera kompetisi sepakbola kita.
Dua istilah itu menunjuk pada fakta bahwa pertandingan sepakbola di Indonesia dikuasai oleh para raja judi dan pengatur skor. Di tangan para bandar judi sepakbola, sebuah tim kuat bisa kalah dengan "skor gajah".
Moral dari ceritera ini, dalam melihat permasalahan kita dengan Singapura, kita harus lebih kritis.
Jangan pernah memberi informasi sekecil apapun kepada negara tertangga itu. Menghadapi Singapura, kita bangsa Indonesia sudah saatnya lebih alert.
Bila perlu kita buat kajian tentang Singapura. "The Singapore Studies". Agar pengetahuan kita tentang Singapura lebih menyeluruh. Orang yang lancar berbahasa "Singlish", perlu diperbanyak.
Berangkat dari berbagai kejadian, termasuk soal usaha Singapura yang konon mau menjegal Tax Amnesty, kita wajib curiga 1000 persen.
Kalau kita mau menghancurkan lawan, maka lawan itu terlebih dahulu harus kita jadikan sahabat. *****
Penulis adalah jurnalis senior