Pemerintah DKI Jakarta diingatkan untuk mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi soal ketersediaan fasilitas ruang merokok di area perkantoran, gedung, termasuk ruang publik.
MK dalam putusan uji materi UU 36/2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa pemerintah harus menyediakan tempat khusus merokok. Sebab jika tidak, berarti menghilangkan hak publik.
"Tidak ada pilihan lain, pemerintah daerah harus mematuhi isi putusan MK yang memerintahkan disediakan ruang khusus merokok, memangnya ruang publik itu hanya untuk mereka yang tidak merokok, itu jelas tidak adil," tegas pengamat hukum bisnis Margarito Kamis.
Menurut Margarito, aturan-aturan yang kian memojokkan perokok hanya akal-akalan para pesaing industri tembakau Indonesia.
"Tidak usah berkelit karena putusan MK itu lebih kuat ketimbang aturan pemerintah daerah, jangan sampai ruang publik itu dimiliki kelompok tertentu, yang tidak merokok saja. Jika Pemda memaksakan melarang semua tempat untuk merokok, maka Pemda itu hanya cari citra memenuhi kepentingan sekelompok pihak tertentu," tegasnya.
Semisal, Rancangan Pemerintah Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sedang dibahas DPRD DKI Jakarta dikritiknya tidak masuk akal karena diatur sanksi bagi perokok aktif berupa pembatasan pelayanan administrasi kependudukan serta kesehatan.
Padahal jelas menerima pelayanan administrasi kependudukan dan kesehatan adalah hak konstitusional semua warga negara. Kemudian haqk ini hilang karena bersangkutan merokok.
"Pemerintah daerah tidak bisa membikin aturan hukum demi kepentingan tertentu. Mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR), tapi perokok diberi sanksi tidak menerima pelayanan administrasi kependudukan dan kesehatan. Apa dasarnya, ini mengada-ada," tandas Margarito
.[wid]