Meski sudah memberi kontribusi besar dari setiap bungkus rokok dalam bentuk cukai, nyatanya kampanye negatif terhadap tembakau terus gencar. Sayangnya, pemerintah terkesan diam saja.
Di sisi lain, menurut pembina Komunitas Perokok Bijak, Suryokoco Suryoputro, dari cukai yang didapat, tidak jelas betul dialokasikan kemana saja digunakan untuk apa saja. Penggunaan uangnya tidak transparan. Banyak cukai lain potensial didapat negara juga tidak dikejar.
"Kadang ketidakjelasan meresahkan kami, kami ingin uang dari cukai masuk ke negara. Kami ini sudah membayar cukai, diambil negara, tetapi negara mengusik kami terus, sementara ada orang korupsi, sembunyikan harta, dikasih pengampunan," sindirnya.
"Kalau kemudian rokok dikatakan merusak lingkungan karena ada asap yang berbahaya, maka sudah seharusnya, yang bikin kotor udara, dalam hal ini industri otomotif, juga kena cukai," imbuhnya.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM) Andreas Hua mengatakan, akibat tarif cukai terus naik, situasi industri menjadi pelik berefek ke pekerja. Misal pada 2005 anggota FSP RTMM di Kudus mencapai 92.000 lebih, pada 2015 anjlok menjadi 65 ribuan anggota.
"Sebagian besar anggota kami SKT, itu fakta dalam sepuluh tahun terakhir dan baru di Kudus," ujarnya.
Ia juga mengkritik kampanye berlebihan terhadap sektor tembakau dengan menyebut rokok paling berbahaya bagi kesehatan dengan dalih riset-riset luar negeri. Padahal, riset itu menurut dia, sering dipelintir.
"Penelitian orang di luar rokok biasa, bukan kretek, yang diteliti mengandung tembakau saja," katanya
.[wid]