Berita

Laode M. Syarif/Net

Hukum

KPK Pelajari Memo Ke Promotor, Nurhadi Dan Bos Lippo Jadi Target

KAMIS, 11 AGUSTUS 2016 | 22:36 WIB | LAPORAN:

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Laode M. Syarif, menegaskan bahwa setiap fakta persidangan kasus korupsi yang berkembang akan ditelusuri oleh penyidik. Termasik mengenai memo dari Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro kepada mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.

"Semua yang terjadi di pengadilan itu, jadi informasi baru yang dipakai untuk pengembangan kasusnya," ujar Syarif di kantornya, jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (11/8).

Menurut Syarif, keterangan saksi dalam persidangan terkait soal memo penanganan perkara grup Lippo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sedang dipelajari. Itu akan menjadi salah satu bukti untuk membuka pengembangan kasus dugaan suap pengamanan PK perkara grup Lippo di PN Jakpus.


"Iya, itu salah satu bukti-bukti dan petunjuk yang sedang dipelajari," jelas Syarif.

Sebelumnya, Jaksa menghadirkan pegawai bagian Hukum PT Across Asia Limited, Wresti Kristian Hesty sebagai saksi Doddy Aryanto Supeno di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (26/7).

Dalam persidangan tersebut, Wresti mengaku sering mengirim memo yang berisi target penyelesaian beberapa perkara terkait grup Lippo kepada "promotor". Memo tersebut tulis Wresti atas perintah bekas petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro.

Dalam persidangan tersebut, Wresti menyebut bahwa sang promotor adalah mantan Sekretaris MA, Nurhadi. Nurhadi diberi tugas utuk mengatur setiap perkara yang melibatkan perusahaan yang telah berdiri dari tahun 1950 itu.

Hesty mengaku sering mengirim memo kepada promotor alias Nurhadi. Memo itu ia tulis, lalu diserahkan kepada bekas petinggi Lippo Group Eddy Sindoro. "Setahu saya yang disebut promotor menurut Pak Doddy, promotor adalah Nurhadi," kata Hesty menjawab pertanyaan Hakim Sumpeno saat bersaksi untuk terdakwa Doddy Aryanto Supeno di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/6).

Kasus ini bermula saat KPK menangkap Panitera PN Jakpus Edy Nasution dan Pegawai PT Artha Pratama Anugerah Doddy Aryanto Supeno dalam operasi tangkap tangan di sebuah Hotel di jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu, 20 April 2016 lalu.

Dari OTT tersebut, Tim Satgas KPK menyita uang sebesar Rp 50 juta dalam pecahan Rp 100 ribu yang disimpan dalam sebuah paperbag bermotif batik. Uang ini diduga diserahkan Doddy kepada Edy terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) di PN Jakpus.

Penyerahan uang kepada Edy bukanlah yang pertama kali. Sebelum keduanya dicokok KPK, Doddy pernah menyerahkan uang kepada Edy pada Desember 2015. Doddy menyerahkan uang sebesar Rp 100 juta kepada Edy untuk tujuan yang sama. Keduanya kini sudah menjadi terdakwa di persidangan Tindak pidana korupsi Jakarta.

Dalam sidang perdana pembacaan dakwaan Doddy Aryanto Supeno, terungkap bahwa motif penyuapan tersebut terkait dengan sejumlah perkara yang melibatkan Grup Lippo di PN Jakpus. Seperti Perkara Niagara antara PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dan PT Kwang Yang Motor Com Ltd (PT KYMCO) dan perkara niaga antara PT Across Asia Limited (PT AAL) dengan PT First Media.

Untuk menangani perkara tersebut, Presiden Komisaris Grup Lippo, Eddy Sindoro meminta pegawainya yakni Wresti Kristian Hesti untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait perkara.

Doddy didakwa bersama-sama Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International, Ervan Adi Nugroho, pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti dan bekas Presiden Direktur Lippo Group Eddy Sindoro memberi suap Rp 150 juta kepada Edy Nasution.

Uang diberikan agar Edy menunda proses "aanmaning" atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL). Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati batas yang ditetapkan Undang-undang.  [zul]

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya