Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) memastikan impor daging kerbau asal India sebanyak 9.500 ton akan masuk bulan ini dengan harga jual ke pasar Rp 60 ribu per Kilogram (Kg). Keputusan impor ini bisa merugikan peternak lokal jika distribusi daging dilakukan hingga ke daerah selain di wilayah Jabodetabek.
Perum Bulog mendapat penugasan dari pemerintah mengimpor 10.000 ton daging kerbau asal India. Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti malah berharap pihaknya bisa mengantongi ijin impor 60.000 ton hingga akhir Tahun 2016.
"Impornya kan bertahap, kalau yang 10 ribu ton daging kerbau ini lancar, saya habiskan semuanya. Apalagi kalau ijinnya dibuka sampai 60 ribu ton," tutur Djarot, di Jakarta.
Menurutnya, pelaksanaan impor dilakukan dengan tujuan menekan harga daging sapi yang masih dikisaran Rp 120.000 per kilogram.
Karenanya, ia memastikan daging kerbau impor tersebut akan masuk ke Indonesia pada bulan Agustus. Sebab, masuknya daging impor ini lebih terlambat waktunya dari rencana semula yang seharusnya diimpor pada bulan lalu.
"Masuknya Agustus, dijatah antara 10.000 sampai 20.000 ton per bulan. Harganya juga tidak lebih dari Rp 60.000 per kilogram. Nanti, distribusi penjualannya ke industri ataupun pasar tradisional. Tapi, utamanya di wilayah Jakarta dan sekitarnya," bebernya.
Direktur Pengadaan Bulog, Wahyu menambahkan, pendistribusian daging kerbau akan dilakukan melalui jalur pemasaran yang selama ini telah dikerjakan Bulog. Misalnya, kerja sama dengan asosiasi dan pedagang daging.
"Bulog kan punya jalur distribusi sendiri. Ada asosiasi, pedagang besar yang nantinya didistribusikan lagi ke pedagang pasar. Bisa juga melalui jaringan Rumah Pangan Kita (RPK) yang sudah kami bangun," jelasnya.
Tidak hanya itu saja, bila diperlukan nantinya Bulog juga akan mendistribusikan daging kerbau melalui sejumlah operasi pasar seperti yang biasa dilakukan.
Kurangi Ketergantungan ImporMenanggapi hal ini, pengamat pertanian dari IPB (Institut Pertanian Bogor) Dwi Andreas menilai, dalam pengadaan daging kerbau impor, pemerintah juga harus melihat tingkat konsumsi masyarakat terhadap daging tersebut.
"Ada nggak nih pasarnya alias masyarakat yang mengkonsumsi daging kerbau? Karena selama ini kan lebih banyak masyarakat yang makannya daging sapi," katanya kepada
Rakyat Merdeka.Ia juga meminta pemerintah dalam hal ini melalui Bulog, agar waktu kedatangan daging impor disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sebab, konsumsi daging biasanya mengalani peningkatan hanya diwaktu-waktu hari besar keagamaan.
"Setiap tahun konsumsi daging pasti naik saat hari besar atau menjelang akhir tahun nanti. Kalau baru datangnya sekarang, sejauh mana urgensinya (impor)," katanya.
Ia berharap, pemerintah juga mulai mengurangi ketergantungan impor pangan dari negara-negara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Sebab, kebutuhan akan daging merupakan situasi yang terjadi setiap tahunnya. Sehingga, harus ada upaya untuk mengatasi hal tersebut, jauh-jauh hari sebelumnya.
Pengamat pertanian Khudori menilai, pemerintah atau Bulog harus menjaga agar wilayah pendistribusian daging impor tersebut tidak meluas ke daerah lain selain Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi).
"Wilayah pendistribusiannya harus benar-benar diawasi, khusus di Jabodetabek, karena kalau sampai merembes ke daerah lain, ini akan merugikan peternak lokal. Apalagi, ada disparitas harga yang jauh berbeda di daerah," katanya, kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Meski diakuinya, untuk mengurangi ketergantungan impor daging baik sapi maupun daging kerbau, pemerintah memerlukan waktu cukup lama. Seperti pada saat melakukan pembibitan varietas padi saja membutuhkan waktu 5 sampai 7 tahun.
"Nah, apakah pembibitan sapi ini juga makan waktu yang hampir sama dengan pembibitan penemuan varietas padi? Mau nggak investornya nunggu selama itu? Memang sulit melakukan pembibitan secara lokal," katanya.
Padahal, dulunya Indonesia memiliki jenis sapi dengan bibit yang baik seperti sapi Bali dan Madura. Sayangnya, karena tidak dilakukan perawatan dengan baik, sehingga keduanya mengalami penurunan kualitas seperti bobotnya yang berkurang.
"Sapi-sapi lokal ini padahal sama bagusnya dengan sapi dari Australia. Sayangnya, karena sudah nggak murni lagi, sudah ada perkawinan campuran, jadi bobotnya sekarang nggak ada yang sampai 400 atau 450 kg per ekonya," jelasnya.
Karenya, pemerintah perlu melibatkan perusahaan pelat merah lainnya dalam rangka melakukan pembudidayaan sapi lokal. Sehingga, tidak terus menerus mengandalkan impor seperti yang dilakukan Bulog saat ini. ***