MEDIA massa dan media sosial membentuk citra Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disebut Ahok, sehingga terkesan sebagai sosok pemimpin pemarah.
Citra pemarah melekat sebagai jati diri perjuangan Ahok dalam memimpin Ibukota Republik Indonesia menjadi lebih tertib, disiplin, bersih, sehat, lancar, tidak macet dan bebas banjir. Saya pribadi tidak setuju bahwa Ahok dicitrakan sebagai pemimpinan pemarah.
Secara pribadi saya mengenal Ahok bukan pemarah malah sebaliknya : ramah, sopan-santun penuh hasrat menghormati dan menghargai orang lain.
Tidak pemarahSecara ramah, Ahok mengabulkan permohonan saya untuk mewakili MURI menganugerahkan penghargaan bagi lembaga perizinan pemprov DKI Jaya yang terbukti mampu mengeluarkan perizinan terbanyak dalam kurun waktu tercepat.
Di saat upacara Gus Dur Award bagi Ahok, saya datang terlambat . Begitu melihat ketibaan saya, Ahok yang duduk di baris kursi terdepan tidak marah-marah namun langsung berdiri dan ramah mempersilakan saya duduk di kursi dirinya. Secara tidak marah , Ahok juga mengabulkan permohonan saya agar beliau berkenan menjadi pembicara kunci pada suatu acara seminar bagi generasi muda sekaligus peluncuran buku Romo Setyo yang sebenarnya sudah pernah ditolak oleh Ahok . Ahok juga mengabulkan permohonan saya agar beliau bersedia menerima Sandyawan Sumardi dan warga Kampung Pulo untuk berdialog pasca penggusuran Kampung Pulo.
Dalam suatu acara resmi di Balaikota DKI , Ahok sempat membuat saya merasa serba-salah dengan menyatakan dirinya selalu berupaya berhati-hati dalam memutuskan kebijakan agar "tidak kena marah pak Jaya". Segenap kenyataan itu merupakan bukti bahwa sebenarnya Ahok bukan pemarah .
CitraNamun tampaknya ada kesengajaan membentuk citra Ahok sebagai pemimpin pemarah. Apalagi citra pemarah memang lebih ampuh demi mempopulerkan seseorang ketimbang citra peramah.
Di samping faktor pencitraan perlu juga selalu diperhatikan faktor psikologis di mana suatu kondisi emosional tertekan apalagi secara akumulatif memang dapat membuat seseorang yang pada dasarnya bukan pemarah mendadak bisa meledak-ledak amarahnya. Pada saat adegan ledakan amarah spontan itu lah, media senantiasa sigap mengabadikan lalu gigih memberitakannya. Akibat semua itu terjadilah proses setitik nila merusak susu sebelangga sehingga Ahok yang sebenarnya bukan pemarah tercitrakan menjadi pemarah.
Terlepas dari citra pemarah, memang Ahok merupakan harapan bangsa Indonesia untuk membasmi korupsi Ahok dielu-elukan sebagai juru selamat yang mampu menyelamatkan Nusantara dari gerogotan angkara murka korupsi. Apalagi seorang pemimpin bergaya pemarah diyakini lebih sakti-mandraguna dalam perjuangan membasmi korupsi .
Disorientasi SasaranSebenarnya memang lebih tepat apabila Ahok ditugaskan sebagai Ketua Komite Pemberantasan Korupsi. Namun membasmi korupsi jelas beda dari memimpin Jakarta.
Akibat terhanyut gelora arus semangat anti korupsi, Ahok sebagai kepala daerah DKI Jaya kerap kehilangan orientasi sasaran. Misalnya gejolak amarah Ahok keliru disasarkan kepada sang guru teladan Retno Listyarti yang tidak menghadiri Ujian Negara, atau seorang perempuan warga Jakarta yang menanyakan prosedur penggunaan kartu sosial.
Ahok juga sempat melampiaskan amarah terhadap sejarawan yang mengeritik kebijakan pembangunan infrastruktur terutama di sepanjang kali Ciliwung dan Teluk Jakarta, atau seorang ilmuwan teknik perairan di negeri Belanda yang mempertanyakan kebijakan reklamasi teluk Jakarta.
Bahkan Ahok sempat kebablasan melampiaskan amarah terhadap para pejuang pembela kaum miskin perkotaan seperti Sandyawan Sumardi atau Ratna Sarumpaet apalagi Menko Kemaritiman yang membatalkan reklamasi pulau G. Padahal mereka semua itu sama sekali bukan koruptor.
Namun korban disorientasi sasaran amarah paling keliru adalah para rakyat tergusur tanpa musyawarah-mufakat demi pembangunan kota Jakarta. Mazhab sustainable development (Pembangunan Berkelanjutan) yang telah disepakati PBB tidak membenarkan pembangunan dengan mengorbankan lingkungan alam, sosial, budaya dan terutama manusia. Rakyat adalah subyek sebagai pemeran utama pembangunan bukan sekadar obyek untuk dikorbankan demi pembangunan.
Dampak PendidikanSaya tidak sependapat bahwa Ahok pemarah, namun saya sependapat dengan kak Seto dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Prof. Yohanna Yembise, dalam menguatirkan pemberitaan diperkuat pembenaran bahkan pengidolaan sikap dan perilaku marah-marah Ahok rawan menjadi suri teladan bagi generasi muda.
Marah-marah terhadap para koruptor mungkin layak diteladani. Namun amarah terhadap para warga bukan koruptor apalagi rakyat kecil tidak berdaya jelas tidak layak dibenarkan agar jangan sampai diteladani generasi muda terutama anak-anak yang di masa depan akan menjadi para pemimpin bangsa Indonesia. Dengan contoh Ahok yang diidolakan sebagai tokoh pemarah terhadap siapa saja termasuk rakyat kecil tak berdaya maka rawanlah generasi muda masa kini di masa depan akan menjadi pemimpin yang bengis penindas rakyat kecil tidak berdaya.
Memang pemimpin yang pemarah dan tidak korup bisa diidolakan lebih baik ketimbang pemimpin yang tidak pemarah tapi korup. Namun dipandang dari aspek pendidikan sejalan kekuatiran Kak Seto dan Prof. Yohana maupun obyektifitas kenyataan gaya kepemimpinan yang didambakan rakyat yang sebenarnya , pada hakikatnya yang paling baik adalah pemimpin tidak pemarah dan tidak korup.
Penulis adalah pemerhati pendidikan dan kerakyatan