Sebagai kebijakan yang bertujuan mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan memperbaiki kualitas pertumbuhan, produktivitas Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dianggap belum optimal.
Terbukti dengan masih terbatasnya serapan perijinan HTR, baik dari pemerintah daerah maupun penanaman yang langsung dilakukan oleh masyarakat. Dari 746.220 hektar pencadangan areal yang telah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2011 sampai 2015, nyatanya baru 42,79 persen yang bisa direalisasikan. Terdiri dari 194.464 hektar perijinan yang dikeluarkan pemda dan 14.390 hektar penanaman yang telah dilakukan oleh masyarakat melalui kelompok tani dan koperasi.
Sekjen KLHK Bambang Hendroyono menjelaskan, masalah utama belum optimalnya kebijakan HTR terletak pada faktor kepemimpinan administrasi publik dalam dunia kehutanan. Diperlukan sosok pemimpin yang bukan saja memahami persoalan-persoalan kehutanan tetapi juga memiliki paradigma kepemimpinan transglobal yang kontekstual dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Penekanan terhadap pemahaman kondisi sosial budaya masyarakat pada praktiknya diwujudkan dengan program-program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Selain itu pemerintah, juga diharapkan untuk menjalankan agenda reformasi birokrasi berdasarkan prinsip good forest governance.
Problem dan solusi dalam pengelolaan HTR itu dikemukakan Bambang pada sidang promosi doktoral dalam bidang administrasi publik di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, pada Sabtu lalu (4/6). Bambang juga berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul 'Kepemimpinan Transglobal sebagai Penggerak Produktivitas Hutan Produksi Pada Hutan Rakyat di Indonesia'.
Dia mengemukakan bahwa sejak masa Orde Baru pengelolaan hutan Indonesia lebih ditujukan untuk meningkatkan devisa bagi negara. Sejalan dengan paradigma pembangunan Orba yang hanya berorientasi pada pembangunan ekonomi semata dengan penekanan pada unsur stabilitas pembangunan.
"Implikasinya kebijakan pembangunan kehutanan adalah memanfaatkan sumber daya hutan yang dilandasi fakta bahwa masyarakat merambah hutan secara ilegal. Alhasil pengelolaan hutan produksi di hutan alam tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu di Indonesia," jelas Bambang kepada redaksi, Selasa (7/6).
Meskipun konsep kepemimpinan transglobal dinilai penting dalam pengelolaan HTR di Indonesia, dia menggarisbawahi pentingnya penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat dan good forest governance.
Menurut Bambang, kedua hal itu menjadi solusi sekaligus kritik teoritis dalam konsep kepemimpinan transglobal. Kepemimpinan transglobal sendiri menjadi relevan dalam konteks kekinian karena jenis kepemimpinannya memiliki ciri tahan terhadap guncangan ketidakpastian, kemampuan untuk membangun konektivitas, fleksibilitas yang pragmatis, responsif terhadap berbagai macam permasalahan, serta memenuhi prinsip the right man on the right place.
Untuk itu, salah satu rekomendasi kebijakan yang kemudian dianggap penting dilakukan oleh KLHK adalah mendorong agar para kepala daerah bisa menggerakkan jajarannya berpartisipasi dalam seluruh proses pembangunan HTR. Dibutuhkan kepemimpinan bupati kepala daerah yang memahami aspek-aspek pemberdayaan masyarakat dalam proses pendampingan pembangunan HTR mulai dari perencanaan areal, pelaksanaan pembangunan, serta monitoring dan evaluasi keberhasilan.
Kepala daerah yang menjalankan prinsip kepemimpinan transglobal dengan disertai spirit pemberdayaan masyarakat dan good forest governance menjadi kunci dalam membangun HTR yang bisa menjadi jalan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
"KLHK juga diharapkan dapat mengalokasikan anggaran dana untuk sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam pengelolaan kebijakan HTR," tegas Bambang yang juga ketua umum DPP Himpunan Alumni IPB.
[wah]