BEBERAPA hari setelah Hari Kebangkitan Nasional, viva.co.id memberitakan bahwa Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menganggap ketentuan penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik kurang realistis dan terkesan anti terhadap bangsa asing.
Bahasa Indonesia, menurutnya memang perlu diterapkan di ruang publik. Namun, penerapan secara keseluruhan di media luar ruang, dia nilai kurang memperhatikan segi pragmatis. Faktor yang menjadi perhatiannya adalah Bahasa Indonesia cenderung lebih boros kata saat digunakan. Dalam hal ini Ahok, sapaan akrab Basuki, membandingkannya dengan penggunaan Bahasa Inggris.
"Kadang-kadang Inggris empat kata orang sudah mengerti, tapi Indonesia bisa lebih. Kamu kalau bikin ruang tulisannya kaya mau membatik siapa yang baca? Maksimum cuma 6 kata. Kalau yang dipilih yang cepat lebih gampang, tentu orang pakai Bahasa Inggris lebih pendek," kata Ahok dalam acara lokakarya 'Penggunaan Bahasa Indonesia di Ruang Publik' yang diadakan di Balaikota DKI Jakarta, Jumat, 27 Mei 2016. Dia juga menjelaskan, efek penerapan Bahasa Indonesia dalam segi bisnis tidak efektif. Menurutnya, penggunaan Bahasa Inggris secara citra lebih memiliki nilai jual. Ahok pun mencontohkan kata apartemen dengan rumah susun untuk menggambarkan gedung atau bangunan bertingkat yang disewakan.
"Di undang-undang kita gunakan istilah rumah susun. Kita enggak kenal istilah apartemen. Nah, kira-kira kalau kamu punya perusahaan pengembang, membangun rumah susun tinggi, akan lebih menarik mana, misal ada nama Rumah Susun Budi atau Riverview Apartemen? Kira-kira harganya lebih mahal mana?" ungkap Ahok.
Menurutnya, undang-undang harus memiliki aturan yang berlaku secara luas dan umum, karena ada beberapa hal tertentu tidak bisa menggunakan Bahasa Indonesia. Ahok meminta perwakilan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang hadir dalam lokakarya itu menimbang segi pragmatis penggunaan bahasa.
"Itu satu persoalan bagaimana menegakkan undang-undang. Undang-undang juga bukannya berarti menjadikan kita pikirannya sempit," jelasnya.
Dia menilai, lokakarya ini menjadi fasilitas paling tepat untuk mengkaji penegakan undang-undang tersebut. Terlepas dari dusta atau benar, berita tersebut menarik disimak melalui berbagai sisi pandang. Dipandang dari sisi mazhab pragmatisme dan utilitarianisme yang mengutamakan tujuan maka senantiasa bersemangat menghalalkan cara demi mencapai tujuan, jelas pendapat Pak Gub Jakarta sangat tepat dan benar. Apalagi jika dikaitkan dengan tujuan dasar penjualan yakni menjual produk sebanyak mungkin dengan cara seeefektif-efisien mungkin, penggunaan bahasa bangsa asing pada masyarakat yang menjunjung tinggi harkat dan martabat bahasa asing ketimbang bahasa bangsa diri sendiri memang sangat tepat dan benar.
Bagi para pelaku bisnis yang mengutamakan profit di atas segala-galanya, justru etika dan moral merupakan kendala yang paling menghambat. Bagi mereka yang berbisnis membangun infra struktur jelas bahwa proses musyawarah-mufakat dengan rakyat yang akan digusur merupakan pemborosan waktu, energi dan biaya. Bahkan mereka yang memang memberhalakan duit di atas segala-galanya pasti tidak akan segan menjual segala-galanya termasuk bangsa dan negara demi memperoleh duit sebanyak mungkin.
Kaum pragmatis lazimnya hanya membaca buku Adam Smith yang berjudul Wealth of Nations tanpa sadar bahwa Adam Smith masih menulis sebuah buku lain yang tidak kalah penting dibaca yaitu The Theory of Moral Sentiments. Buku tentang sentimen moral ini mengingatkan kita semua bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan tanpa kendali etika dan moral justru akan merusak peradaban umat manusia!
Gubernur Jakarta sangat benar dalam hasrat menjual rumah susun dengan nama apartemen sebab konsumen apartemen di Jakarta memang masyarakat kelas menengah ke atas yang mayoritas merasa lebih keren menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa bangsa sendiri. Bahkan kini sudah tampil generasi muda bangsa Indonesia yang merasa bangga tidak mampu berbahasa Indonesia akibat sekolah di sekolah internasional yang lebih mengutamakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia.
Berbahasa Indonesia dianggap ndeso, kampungan, terbelakang, tidak bergengsi, kuper. Kondisi peradaban Indonesia memang beda dibanding dengan Jerman dan Jepang . Masyarakat Jerman dan Jepang meski atau justru akibat negaranya kalah di Perang Dunia II, memiliki semangat kebanggaan nasional menggebu-gebu maka lebih bangga menggunakan bahasa bangsa mereka masing-masing ketimbang bahasa Inggris. Perancis lebih ekstrem dalam hal kebanggaan menggunakan bahasa bangsa mereka sendiri sampai mendirikan lembaga kementerian bahasa Perancis yang bertugas memperkokoh kubu-kubu benteng pertahanan dan ketahanan nasional bangsa Perancis dalam menggunakan bahasa bangsa mereka sendiri. Menteri Pendidikan Perancis sempat dihujat habis-habisan akibat berani menyarankan penggunaan bahasa Inggris di lembaga-lembaga pendidikan tinggi ilmu manajemen.
Tetapi memang lain padang lain belalang, maka lain Indonesia lain Perancis. Tampaknya, sebagian warga Indonesia termasuk Gubernur Jakarta memang tidak terlalu peduli terhadap apa yang disebut sebagai kebanggaan nasional apalagi sekadar kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sesuai semangat Satu Bahasa, Bahasa Indonesia yang diikrarkan oleh para perintis kemerdekaan bangsa Indonesia pada Sumpah Pemuda 1928.
Namun masih ada secercah harapan bagi bahasa Indonesia datang dari Jawa Tengah. Lain Gubernur Jakarta, lain Gubernur Jateng. Sementara Gubernur Jakarta menyarankan agar pemerintah menggunakan bahasa asing sebab dianggap oleh Pak Gub Jakarta sebagai lebih efektif dan efisien ketimbang bahasa Indonesia, ternyata Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, malah melawan kebijakan pemerintah yang telah menggugurkan peraturan yang mewajibkan pekerja asing bisa berbahasa Indonesia. Dengan gagah-berani, Gubernur Jateng nekat tetap menerapkan peraturan daerah bahwa pekerja asing yang bekerja di jawa Tengah hukumnya wajib untuk mampu dan mau berbahasa Indonesia.
Tampaknya Pak Gub Jateng memang memiliki semangat kebanggaan nasional yang lebih menggelora ketimbang semangat menjual daerahnya ke investor asing.
*Penulis adalah pemrakarsa Gerakan Kebanggaan Nasional