Air mata Yola tumpah saat berjumpa suaminya, Alvian Elvis Peti. Kerinduan begitu dalam, membuat Yola amat emosional saat bertemu orang yang dicintainya itu.
"Saya bersyukur sekali kepada Tuhan, karena suami telah kemÂbali dan berkumpul bersama keluarga," ujar Yola dengan raut bahagia.
Pertemuan nan mengharukan itu terjadi di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Jakarta, Senin (2/5).
Alvian merupakan salah satu dari 10 anak buah kapal (ABK) kapal tugboat Brahma 12, yang dibebaskan kelompok Abu Sayyaf di Filipina.
Tidak sendirian, Alvian berÂsama dengan Peter Tonsen Barahama, Julian Philip, Mahmud, Surian Syah, Surianto, Wawan Saputra, Bayu Oktavianto, Rinaldi dan Wendi Raknadia. Para sandera ini disambut Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi sebelum diserahkan kepada keluarganya masing-masing.
Anak semata wayang Alvian dan Yola pun menghadiri acara ini. Pelukan dan ciuman hangat didaratkan sang ayah kepada anak yang baru berumur dua tahun itu. Dengan kembalinya Alvian bersama keluarga, Yola mengucapkan banyak terima kasih Menlu dan perusahaan yang telah ikut campur dalam pembebasan suaminya.
"Berkat kasih dan karunianya, serta bantuan banyak pihak, suami saya bisa berkumpul kembali," ucap Yola.
Tak lupa, Yola selalu berdoa bersama keluarga besarnya demi keselamatan suaminya selama dalam penyanderaan kelomÂpok ekstrimis Abu Sayyaf di Filipina.
Sementara, Kapten Kapal Brahma 12 Peter Tonsen menÂceritakan kondisi selama dalam penyanderaan. Dia menuturkan, selama lebih dari satu bulan disandera, dirinya tidak mendaÂpatkan penyiksaan sama sekali dari militan Abu Sayyaf. Namun, mereka hidup di hutan yang konÂdisinya memprihatinkan.
"Tidur beralas daun kelapa. Makan dikasih, tapi cuma sekali sehari. Kalau tak ada operasi militer Filipina, kadang dua kali sehari," ujar Peter.
Menurut Peter semua sandera kesulitan mandi. Mereka hanya menanti air hujan, baru bisa membersihkan badan dan menÂcuci baju yang mereka kenakan. "Kadang dua minggu tak ada hujan, jadi tak mandi. Buang air kecil dan besar bisa, tapi dikawal ketat," kenangnya.
Selain itu, selama penyanÂderaan, lokasinya pindah-pinÂdah untuk menghindari tentara Filipina. "Kita tak tahu lokasinya karena kalau pindah pasti malam hari," katanya.
Tidak hanya lokasi, Peter juga tidak mengenali para pelaku penyanderaan. "Muka mereka ditutup masker," ucap pria yang mengenakan kemeja putih ini.
Peter memastikan, kelompok yang menyanderanya merupakan ekstrimis Abu Sayyaf. "Sebelum dibawa ke pulau, mereka bilang Abu Sayyaf," ceritanya.
Sebelum dibebaskan kelomÂpok ekstrimis, Peter mengaku diantar menggunakan perahu selama beberapa jam dari pulau tempat penyandera saat malam tiba. Setelah menaiki perahu, selanjutnya menumpang truk menuju kediaman Gubernur Sulu, Filipina. "Di tempat guÂbernur, kami disambut baik dan diberi makan," ujarnya.
Pria berjenggot ini bersyukur bisa dibebaskan dan berterima kasih banyak kepada perusaÂhaan, pemerintah Indonesia, pemerintah Filipina, dan semua pihak yang ikut membantu pemÂbebasan dirinya dan sembilan anak buahnya.
"Ini cobaan, tapi kami bersyuÂkur bisa bebas," tutupnya.
Pengalaman sama diceritakan ABK lainnya, Wawan Saputra. Dia mengatakan, kelompok Abu Sayyaf memperlakukan seluruh ABK dengan baik. Bahkan, keÂbutuhan makan sehari-hari tidak lupa selalu diberikan.
"Apa yang mereka makan, kaÂmi makan juga. Tapi, tidak tentu setiap harinya," ujar Juru Mudi kapal tugboat Brahma 12 ini.
Selama lebih dari sebulan disandera, Wawan diberi makan nasi dan buah-buahan di tengah hutan. Namun, dia tidak tahu lokasi hutan itu. "Makannya seperti mangga, nasi, gitu saja," sebutnya.
Pria yang mengenakan pakaianputih ini memastikan, tidak ada kekerasan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf. "Kekerasan fisik tidak ada sama sekali," ucapnya.
Selama dalam penyanderaan, Wawan pernah sekali bicara dengansalah satu sandera yang juga berasal dari Indonesia. "Karena sama-sama dari Indonesia," sebut dia.
Lebih lanjut, kata Wawan, para ABK yang disandera terus dijaga, sehingga tidak ada waktu sedikit pun untuk kabur dari tempat tersebut. "Satu sandera, dijaga satu sampai dua orang," kata dia.
Para sandera juga mengenakan pakaian loreng dilengkapi laraspanjang layaknya tentara. "Kadang penyandera tidur berganÂtian, bahkan tidak tidur karenamenjaga kami," ujarnya.
Tidak jauh beda, Mualim I atau Chief Office Kapal Brahma 12, Julian Philip menyebut, para sandera mengikuti pola makan peÂnyandera. "Kalau mereka makan dua kali, kita dua kali," ujarnya.
Terpisah, Wakil Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, Bambang Dwi memasÂtikan bahwa 10 ABK Brahma 12 dalam keadaan sehat dan sangat prima. "Tidak ada trauma yang kita dapatkan dari pemeriksaan," ujar Bambang di RSPAD Jakarta.
Menurut Bambang, kondisi psikis para ABK juga semakin membaik setelah mereka menÂdengarkan orang Indonesia berÂcakap di sekitar mereka. "Saat dengar suara orang Indonesia dan nasi goreng, psikis mereka langsung sehat," ucapnya.
Bambang menjelaskan, konÂdisi seluruh ABK ini diperiksa pada Senin dini hari (2/5), pukul 01.00 WIB. Pemeriksaan dilakuÂkan tiga tahap, yaitu pemeriksaan fisik, penunjang, dan pemerikÂsaan jiwa hingga selesai Senin siang. Pemeriksaan dimulai dari tahap fisik oleh tim dokter spesialis, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang.
"Pemeriksaan diakhiri dengan pendalaman atau konsultasi denÂgan dokter spesialis," jelasnya.
Sedangkan, Kepala Kepolisian Jolo, Filipina, Junpikar Sitin mengatakan, 10 WNI itu dibeÂbaskan pada Minggu tengah hari (1/5). Lebih lanjut, kata dia, beberapa orang tak dikenal mengantar mereka ke kediaman Gubernur Abdusakur Tan Jnr di Pulau Jolo di tengah hujan lebat. Setelah diantar ke depan kediaÂman Gubernur Sulu, lanjut dia, mereka lantas dibawa masuk dan disuguhi makanan.
Sejauh ini, belum diketahui alasan pembebasan para sandera itu. Namun, disebut-sebut, uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp 14 miliar, sudah dibayarkan kepada pihak Abu Sayyaf. ***