Berita

rizal ramli/net

Bisnis

Rizal Ramli: Rencana Pengenaan Pajak Progresif Impor CPO Bentuk Arogansi Prancis

RABU, 03 FEBRUARI 2016 | 21:37 WIB

Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli menyatakan bahwa rencana pengenaan pajak progresif untuk semua produk berbasis minyak kelapa sawit oleh Prancis sebagai kebijakan anti crude palm oil (CPO) yang tidak masuk akal.

"Rencana kebijakan itu menunjukkan kecongkakan luar biasa dan sangat tidak reasonable. Kalau Prancis tetap memaksa akan menerapkan pajak progresif terhadap impor CPO tersebut bisa membahayakan hubungan kedua negara yang telah terjalin sangat baik dan bersahabat sejak kemerdekaan Indonesia," ungkapnya di Jakarta, Rabu (3/2).

Rizal Ramli menjelaskan, rencana penetapan pajak tersebut terdapat dalam rancangan amandemen Undang-Undang Nomor 367 tentang Keanekaragaman Hayati yang diputuskan senat Prancis pada 21 Januari. Dalam RUU ditempelkan pajak progresif untuk produksi sawit yang mulai berlaku pada 2017. Dengan rincian pajak sebesar 300 Euro per ton pada 2017, 500 Euro per ton tahun 2018, dan 700 Euro per ton untuk 2019 . Pajak itu naik lagi menjadi 900 Euro per ton pada 2020. Setelahnya, pajak akan ditetapkan oleh Kementerian Keuangan Prancis.


Sedangkan, khusus minyak kelapa sawit yang digunakan untuk produk makanan, RUU menetapkan adanya tambahan bea masuk sebesar 3,8 persen. Untuk minyak kernel yang digunakan untuk produk makanan bea masuknya 4,6 persen.

"Anehnya, pajak itu tidak ditetapkan pada biji rapa, bunga matahari, dan kedelai atau minyak nabati yang diproduksi di Prancis," katanya.

Rizal Ramli yang juga Dewan Pengarah Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) menyatakan amandemen pajak CPO oleh Prancis menunjukkan langkah diskriminatif terhadap produk Indonesia sebagai produsen terbesar sawit. Saat ini, pajak impor CPO di Prancis sebesar 103 Euro per ton.  Dengan kenaikan pajak 300 Euro atau sekitar USD 430 per ton maka dapat dipastikan bakal mematikan petani sawit dan produsen CPO Indonesia.

"Sikap sangat tidak bersahabat dari Prancis yang berlebihan itu jelas dan dengan sengaja beritikad mematikan industri sawit Indonesia. Rencana tersebut akan mematikan sumber kehidupan dua juta petani kecil sawit Indonesia dengan area lahan kurang dari 2 ha, dan 400.000 petani kecil sawit Malaysia. Industri sawit kita memperkerjakan 16 juta orang dan menghasilkan ekspor senilai USD 19 miliar," jelas penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) itu.

Menurut Rizal Ramli, rencana pengenaan pajak progresif terhadap impor CPO juga bertentangan dengan prinsip dasar rakyat Prancis yaitu kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan, khususnya aspek persamaan dan persaudaraan. Dengan prinsip dasar tersebut, pada hakikatnya Prancis sangat memperhatikan aspek humanisme dan kesejahteraan, termasuk kesejahteraan dan aspek kemanusiaan rakyat negara berkembang.

"Kebijakan tersebut juga bertentangan dengan Amsterdam Declarationin in Support of a Fully Sustainable Palm Oil Supply Chain by 2020. Deklarasi ini ditandatangani di Amsterdam pada 7 Desember 2015 oleh wakil-wakil dari Denmark, Jerman, Belanda, Inggris, dan Prancis sendiri," katanya.

Karenanya, pemerintah Indonesia menilai kebijakan yang sangat tidak bersahabat itu melanggar ketentuan World Trade Organization (WTO) dan General Agrement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1994, yang menyatakan undang-undang suatu negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap impor produk sejenis.

Padahal, Indonesia sendiri telah bekerja keras untuk melaksanakan standar berdasarkan pertimbangan ekologi dalam mengelola industri sawit yang dituangkan dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Rizal Ramli memastikan, dengan menaikkan pajak progresif CPO, Prancis bermaksud memasukkan hasilnya ke social security rakyat Prancis. Sebabnya, Indonesia menganggap upaya tersebut tidak adil, diskriminatif, dan ironis karena mewajibkan dua juta petani kecil sawit Indonesia harus mensubsidi social security Prancis.

"Indonesia minta kearifan pemerintah dan parlemen Prancis untuk menghentikan proses amandemen Undang-Undang Nomor 367 tersebut. Pertimbangan ekologi dan lingkungan hidup tidak boleh digunakan sebagai alat kebijakan proteksionis yang diskriminatif dan tidak fair," tegasnya. [wah] 

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya