Berita

Adhie M Massardi

Pipanisasi Darat Masela Dihantam Ekonom Neolib Generasi Kedua

MINGGU, 24 JANUARI 2016 | 06:38 WIB | OLEH: ADHIE M. MASSARDI

Tidak (boleh) ada pilihan lain bagi pemerintahan Joko Widodo untuk sistem eksplorasi gas alam cair (LNG) Lapangan Abadi Blok Masela, di kawasan Kepulauan Maluku, kecuali dengan pola pipanisasi (onshore).

Skema ini selain mudah dikontrol, akan menciptakan multiplier effect terhadap perekonomian di lingkungan sekitar. Karena  akan menciptakan kawasan (kota) industri seperti Balikpapan dan Bontang. Dan langkah ini sesuai dengan perintah Konstitusi.

Dalam Pasal 33 ayat (3) konstitusi UUD 1945, jelas-jelas dinyatakan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."


Di masa lalu, duet arsitek ekonomi Orde Baru (Soeharto) Widjojo Nitisastro-Ali Wardhana memang menafsirkan kata "dikuasai" dalam Pasal 33 itu "tidak harus dimiliki" dalam pengertian "mengontrol eksplorasinya". Makanya PT Freeport Indonesia, perusahaan asing (AS) pertama yang menikmati hasil penafsiran Pasal 33 versi begawan ekonomi neo-leberal (neolib) ini, sejak 1967 sangat leluasa menambang dan menjadikan cadangan emas besar di Papua itu, sebagai aset perusahaan yang sahamnya bisa dilego di pasar modal internasional.

Penafsiran Pasal 33 secara liar itu terus dikembangkan oleh ekonom neolib generasi kedua seperti Boediono, Sri Mulyani, Kuntoro Mangkusubroto, dan diikuti oleh generasi ketiga seperti Sudirman Said, Rhenald Khasali, Chatib & Faisal Basri Cs.

Maka tak heran bila lebih dari 70% kekayaan alam kita (energi, sumber daya mineral) dimiliki dan dikontrol oleh asing. Negara (bangsa Indonesia) hanya mendapat remah-remahnya, itu pun sisa dari yang dikorup para pejabat pemerintah yang main mata dengan pemodal asing.

Kini saatnya kita mengembalikan kedaulatan bangsa, dengan mengelola negeri ini menurut konstitusi UUD 1945. Mengontrol pengelolaan gas Blok Masela adalah simbol kembalinya kadaulatan bangsa. Karena mengikuti keinginan pihak asing untuk memakai pola LNG Terapung, selain tidak akan memberikan dampak apa-apa bagi masyarakat sekitar, juga melepas kontrol sepenuhnya kepada mereka akan LNG yang mereka eksplorasi, sebagaimana kilang-kilang minyak lepas pantai yang juga tak bisa dikontrol berapa yang mereka sedot dan jual di pasar dunia.

Akibat pembiaran panafsiran liar Pasal 33 oleh Widjojo Cs, dilanjut Boediono Cs dan kini Sudirman Said-Faisal Basri dkk, selama lebih dari setengah abad kekayaan alam kita (hutan, minyak, batubara, gas, perkebunan) dikuras bangsa lain secara tak terkontrol. Rakyat mendapatkan kerusakan lingkungan dan limbah beracunnya. Maka penafsiran Pasal 33 model Orde Baru itu harus dikubur dalam-dalam.

Kini semuanya terpulang kepada pemerintahan Joko Widodo. Apakah mau menjalankan perintah konstitusi (UUD 1945) atau tetap mengikuti kehendak pihak asing demi "mengamankan investor" luar negeri.

Padahal kekayaan alam yang terkandung di atas dan di bawah bumi Indonesia bukan milik pemerintah, apalagi milik Joko Widodo. Semua itu milik seluruh rakyat Indonesia.

Sedangkan modal yang dikeluarkan oleh perusahaan (asing) untuk mengeksplorasi/mengeksploitasi kekayaam alam kita, bukanlah jenis investasi yang sungguh-sungguh bisa menunjang perekonomian nasional melainkan untuk perusahaan yang memperoleh konsesi itu sendiri. Berbeda dengan investasi di sektor industri manufaktur, dll. [***]

Penulis adalah Senior Fellow Indonesia Resources Studies (Iress), Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI), Koord. Gerakan Indonesia Bersih (GIB)

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

Kapolda Metro Buka UKW: Lawan Hoaks, Jaga Jakarta

Selasa, 16 Desember 2025 | 22:11

Aktivis 98 Gandeng PB IDI Salurkan Donasi untuk Korban Banjir Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:53

BPK Bongkar Pemborosan Rp12,59 Triliun di Pupuk Indonesia, Penegak Hukum Diminta Usut

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:51

Legislator PDIP: Cerita Revolusi Tidak Hanya Tentang Peluru dan Mesiu

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:40

Mobil Mitra SPPG Kini Hanya Boleh Sampai Luar Pagar Sekolah

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:22

Jangan Jadikan Bencana Alam Ajang Rivalitas dan Bullying Politik

Selasa, 16 Desember 2025 | 21:19

Prabowo Janji Tuntaskan Trans Papua hingga Hadirkan 2.500 SPPG

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Trio RRT Harus Berani Masuk Penjara sebagai Risiko Perjuangan

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:54

Yaqut Cholil Qoumas Bungkam Usai 8,5 Jam Dicecar KPK

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:47

Prabowo Prediksi Indonesia Duduki Ekonomi ke-4 Dunia dalam 15 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:45

Selengkapnya