foto: patrarizky syahputra/rm
JAKARTA sebagai kawasan dengan tingkat pengamanan nomor wahid di Indonesia, ternyata tidak bisa terbebas dari ancaman terorisme. Tragedi bom Sarinah patut menjadi pukulan keras bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia. Terutama bagi para pihak yang memiliki kewajiban menjaga keamanan dan ketertiban negara. Betapapun demikian, pihak bersangkutan tak perlu terlalu resah karena masyarakat justru menertawakan aksi terorime yang menelan 7 korban tewas tersebut.
Buktinya, banyak humor dan plesetan yang bermunculan di media sosial sebagai bentuk respon masyarakat. Seolah-olah aksi teror tersebut bukannya menebar ancaman dan ketakutan tapi justru menjadi bahan dagelan. Sorotan mata masyarakat justru tertuju kepada aksi Jamal si tukang sate yang tak bergeming saat ledakan bom menggaung lantang. Masyarakat dibuat salut sekaligus tertawa oleh pengakuan Jamal yang mengatakan, takut dagangannya dicuri orang bila ditinggal lari menyelamatkan diri.
Fakta-fakta unik berikutnya muncul beriringan dengan tingginya gelombang respon nitizen terhadap aksi Jamal. Sosok polisi ganteng yang tampil gagah dan fashionable saat penyergapan teroris, menjadi daya hibur berikutnya.. Selanjutnya, nitizen dihibur lagi dengan beredarnya foto seorang tentara yang membeli kacang saat kondisi di lapangan sedang tegang. Kok ya sempet-sempetnya gitu loh, pak tentara !?
Masyarakat seolah-olah larut ke dalam dagelan-dagelan yang tersaji di media sosial tersebut. Sehingga masyarakat lupa untuk mengkritisi dan mengoreksi para aparat yang seharusnya bertanggung jawab atas tragedi ini. Dalam konteks ini, Badan Intelegen Nasional (BIN) patut diberi sorotan khusus.
Benar memang, BIN bukan satu-satunya lembaga yang bertugas sebagai penjaga keamanan dan ketertiban negara, tetapi ada juga Polri dan TNI. Sehingga jika kita berbicara tragedi Sarinah, maka kita tidak bisa melepaskan peran ketiga instansi tersebut. Akan tetapi, BIN lebih memiliki peran krusial dibanding Polri dan TNI, sebab Polri dan TNI lebih bertugas sebagai eksekutor semata. Sebelum Polri dan TNI bergerak, tentu keduanya harus memperoleh informasi yang valid serta perintah dari BIN.
Sutiyoso dan BINSutiyoso selaku kepala BIN mengaku kecolongan atas terjadinya tragedi Sarinah. Ia memaparkan betapa sulitnya mendeteksi teroris. Ini disebabkan waktu dan tempat aksi sering kali berubah-ubah. Sehingga BIN sering kali kesulitan menentukan akurasi kejadian. Sutiyoso pun menambahkan bahwa kinerja BIN masih dibatasi oleh Undang-undang intelegen yang kurang memadai. Seringkali BIN mengalami dilema hukum saat menjalankan tugasnya, karena Undang-undang intelegen sering kali dibenturkan oleh persoalan HAM dan kebebasan.
Belum genap setahun memimpin BIN, Sutiyoso terhitung sudah kecolongan 3 kali. Pertama, peristiwa pembakaran kios dan mushollah yang terjadi di Tolikara Papua saat perayaan Idul Fitri bulan Juli 2015 silam. Kecolongan yang kedua, masih dengan motif yang sama, yakni pembakaran Gereja yang terjadi di Aceh pada bulan Oktober 2015. Sementara itu, tragedi Sarinah menyusul jadi yang ketiga. Dari ketiga peristiwa ini, pengakuan Sutiyoso tak pernah jauh berbeda. Selalu saja berkutat dengan alasan kesulitan mendeteksi teroris dan Undang-undang yang tidak memadai.
Semestinya, Sutiyoso mampu menganalisa kekurangan dari kesalahan yang pernah terjadi sebelumnya. Bukanlah hal yang rasional, jika harus kecolongan sampai 3 kali. Tentu Ini namanya teledor. Bagaimana tidak, Sutioyoso selalu mengaku bahwa BIN telah mengetahui potensi sebelum peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Logikanya, Jika memang sudah tahu potensinya, maka seharusnya semua insiden bisa dibaca lalu digagalkan, tapi nyatanya tidak. Oleh karena itu Sutiyoso layak dinilai teledor.
Penguatan BIN KitaKita bisa menggunakan analogi imam shalat jamaah untuk menanggapi permasalahan ini. Seorang imam dalam shalat jamaah merupakan pemimpin bagi para makmumnya. Imam memiliki tanggung jawab institusional untuk mengawal shalat jamaah hingga selesai. Tetapi harus diakui, imam juga manusia sehingga ada kemungkinan melakukan kesalahan dan keteledoran. Misalkan, jika imam tidak tahan dengan sakit perut yang dialaminya di tengah-tengah shalat, lalu ia kentut. Maka imam sudah dinyatakan batal dan tidak layak menjadi pemimpin. Akan tetapi masih ada tanggung jawab institusional yang melekat dalam dirinya, yakni shalat jamaah harus tetap dilanjutkan sampai selesai.
Dalam keadaan demikian, Imam tak perlu resah karena mekanisme hukum sudah tersaji untuk mengatasi masalah semacam ini. Imam cukup mengundurkan diri saja, lalu digantikan dengan imam lain yang sebelumnya berstatus makmum. Tentunya, imam pengganti tersebut harus "punya wudhu" sebagai prasyarat konstitusional. Dengan demikian tanggung jawab institusional bisa dilanjutkan. Justru keliru, jika harus mempertahankan seorang imam yang sudah tak layak untuk terus memimpin shalat jamaah.
Hal ini berlaku pula dalam merespon keteledoran Sutiyoso sebagai kepala BIN. Kita tak perlu ragu untuk menyerukan penggantian kepala BIN demi menjaga marwah badan intelegen Indonesia. Jika pemimpinnya teledor, maka lakukan pergantian sesuai mekanisme hukum yang berlaku. Sikap pembelaan terhadap BIN, bukan berarti melakukan pembelaan terhadap kepala atau personal di dalamnya. Justru keliru, jika kita melakukan personalisasi terhadap suatu lembaga. BIN terlalu sakral jika harus direpresentasikan dengan individu bernama Sutiyoso.
Dorongan untuk pemakzulan Sutiyoso bukan berarti upaya pelemahan BIN. Tapi sebaliknya, memaksakan seorang imam yang tidak layak memimpin akibat sebuah keteledoran justru akan merusak BIN secara institusional. Hal demikian harus disadari oleh masyarakat luas. Kita sebagai masyarakat yang menginginkan kondisi hidup yang aman dan tentram, jangan terlena oleh dagelan-dagelan yang tak jelas dari mana asalnya. Lalu melupakan kenyataan bahwa Sutiyoso tak mampu mengemban amanah institusional sebagai pimpinan intelegen Indonesia. [***]
Penulis adalah Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat, Muflih Hidayat