Berita

DEREK MANANGKA

Mengapa Dubes AS ke Papua Disorot dan Dicurigai?

SENIN, 18 JANUARI 2016 | 10:18 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

KUNJUNGAN seorang Duta Besar negara sahabat ke sebuah wilayah di Indonesia, sebetulnya hal yang lumrah. Sehingga tak perlu disorot dan dicurigai. Tapi hal yang berbeda terjadi pada Dubes AS untuk Indonesia, Robert Blake.

Ketika kemarin, Minggu 17 Januari 2016 Blake diketahui melakukan kunjungan selama seminggu ke Papua, berbagai reaksi pun bermunculan. Baik dari kalangan profesional, pemerhati sosial politik maupun ibu rumah tangga.

Budi Setiawan yang pernah bekerja untuk Radio Singapura dan Voice of America termasuk yang bereaksi cepat dan spontan. Budi menulis kunjungan Blake ke Papua penting untuk dipantau.

"Karena jika kita lengah, Papua bisa jadi bola liar, seperti manuver dia (Robert Blake) di Sri Lanka".

"Dubes ini", kata Budi melanjutkan, yang membikin Sri Lanka kelabakan sampai sekarang.

Ketika Blake sebagai Dubes AS di Sri Lanka, saat itulah Komisi HAM PBB memasukan pemerintahan Sri Lanka sebagai pelanggar berat HAM (Hak Azasi Manusia).

"Presiden Sri Lanka akhirnya mengambil jarak dengan AS. Tapi kemarin di Pemilu Sri Lanka presiden itu tumbang secara mengejutkan", tulis Budi Setiawan.

"Harap diingat Dubes Blake adalah diplomat pertama yang mengaitkan Prabowo Subianto dan HAM", tambah Budi Setiawan, pernyataan mana menandakan diplomat ini tak segan-segan "mencampuri" urusan Indonesia. Sesuatu yang dalam hubungan diplomasi, dianggap melanggar etika.

Setelah Budi, menyusul warga Papua lainnya, seorang mantan wartawan "Metro TV". Sebelum diplomat AS dan rombongannya tiba di Papua, Ricky Ca Dayoh wartawan senior yang kini menetap di Papua itu menngingatkan, "masalah Papua, tinggal menunggu waktu...",

Ricky yang kini menjadi penduduk Jayapura, ibukota provinsi Papua melanjutkan : "Simpatisan cukup banyak mulai dari NGO sampai lembaga resmi di separuh dunia. Jadi tidak usah kaget dengan tim Amrik yang ke Papua. Tanpa mereka datang, juga sudah cukup banyak laporan yang masuk ke PBB dan lembaga-lembaga pemantau Papua yang lebih akurat....yang pasti Amrik itu mau action.", Ricky menegaskan.

Penilaian wartawan senior ini, mengingatkan saya pada sebuah pernyataan dari Arifin Siregar, bekas Dubes RI untuk Amerika Serikat.

Saya lupa persisnya kapan dan dalam kesempatan apa. Tetapi pernyataan bekas Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Perdagangan di era Orde Baru itu cukup membekas.

Pada intinya Arifin Siregar melihat semua laporan dari para misionaris Kristen dan Katolik yang berada di Papua, jauh lebih dipercaya oleh Washington, ketimbang yang berasal dari sumber lain.

Jadi masih menurut Ricky Dayoh sebaiknya yang harus kita pikirkan bagaimana agar tidak semua keputusan tentang Papua diambil dan berpusat di Jakarta saja.

Sementara Siti Rachmah, seorang ibu rumah tangga dari Surabaya mengajak agar bangsa Indonesia merapatkan barisan, kuatkan rasa nasionalisme dan singkirkan dulu segala perbedaan.

"Kredibilitas bangsa sedang dipertaruhkan.... waspadalah bangsa ku tercinta..." tulis Siti Rachmah di laman komentar akun ini.

Yah, kunjungan Dubes Robert Blake ke Papua itu pantas memancing kecurigaan. Sebab kunjungan ini terjadi ketika di Jakarta ada debat panas tentang Papua.

Soal Papua sudah terjadi di era pemerintahan sebelum Joko Widodo. Di era pemerintahan SBY sejumlah pemuka warga Papua pernah menemui Presiden RI yang ke-6 tersebut di Istana Cikeas, kediaman pribadi SBY.

Tujuan mereka menyampaikan tiga hal. Yaitu persoalan, mengeluh dan solusi agar Papua tidak lepas dari NKRI.

Pertemuan itu akhirnya berbuah dibentuknya sebuah lembaga yang khusus menangani persoalan Papua. Kantor pusat lembaga inipun di Papua. Bukan lagi di tanah Jawa. Lembaganya dipimpin seorang Jenderal bintang dua dari TNI AD. Tapi nyatanya lembaga itu tidak pernah beroperasi hingga SBY lengser di bulan Oktobetr 2014. Konon penyebabnya, ketiadaan dana.

Di awal tahun 2015, saat Joko Widodo belum setengah tahun bertugas sebagai Presiden, Gubernur Papua Lukas Enembe secara terbuka menyatakan tidak akan pernah mau menyambut atau menerima kunjungan Presiden RI yang ke-7 tersebut. Padahal Joko Widodo justru sudah melontarkan gagasan akan membangun Kantor Kepresidenan di Papua. Tujuannya agar rakyat Papua bisa merasakan kedekatannya dengan pusat pengambil keputusan nasional. Tapi gagasan Presiden Joko Widodo seolah tak punya magnitude bagi Gubernur Papua.

Pernyatan penolakan ini dikeluarkan Gubernur Papua dengan alasan, siapapun yang menjadi Presiden RI, kebijakan mereka tentang Papua tidak mengubah kehidupan rakyat Papua menjadi lebih baik.

Substansi atau pesan moral dari pernyataan ini ditafsirkan bahwa pemimpin Papua sudah tidak memiliki rasa respek pada pemerintah Jakarta. Mereka tidak melihat perbedaan agenda antara Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Memang tidak diucapkan, tetapi pernyataan Gubernur Papua itu ada yang mengartikan, begitulah cara warga Papua menyindir pemimpin Indonesia yang berasal dari etnik Jawa. Orang Jawa tidak paham persoalan warga Papua.

Kunjungan Dubes Blake ini juga terjadi pada saat PT Freeport baru saja menawarkan sebagian sahamnya kepada pemerintah Indonesia. Tawaran bernilai sekitar Rp. 21,- triliun itu, mau tak mau - dalam situasi seperti sekarang menjadi seperti "pusing kepala berbi".

Harus ditanggapi, sementara pada saat tawaran itu diluncurkan, di Jakarta terjadi serangan teroris di Sarinah, Thamrin, Jakarta.

Hal ini memicu kecurigaan, seolah persoalan mendesak yang dihadapi Indonesia, mulai dari Freeport, terorisme dan agenda Amerika di Papua, terjadi karena adanya semacam skenario. Atau ada satu paket politik sensitif yang harus dihadapi Indonesia.

Selain itu di tengah suasana "pusing kepala berbi" tersebut, para anggota Kabinet pemerintahan Joko Widodo masih terbelah soal perlu tidaknya perpanjangan kontrak karya PT Freeport.

PT Freeport merupakan salah satu perusahaan asing yang sudah beroperasi di Indonesia sejak 1967.

Presiden Joko Widodo sendiri sudah berkali-kali menyatakan akan membangun infrastruktur Papua. Tujuannya untuk membuktikan, Jakarta tidak hanya mengeruk kekayaan bumi Papua. Tapi juga mengembalikannya dalam bentuk pembangunan.

Akan tetapi semua pihak tahu, termasuk pemerintah Amerika Serikat bahwa kemampuan Indonesia membangun infrastruktur Papua, sangat terkendala oleh keterbatasan dana.

Kalau akhirnya Indonesia mau dana cepat, harus meminjam. Dan lembaga yang mudah memberi pinjaman cepat adalah Bank Dunia dan IMF, dua lembaga keuangan internasional yang berpusat di Washington.

Ironisnya, kedua lembaga itu dikontrol oleh Amerika Serikat.

Jadi pinjaman itu dilakukan, ketergantungan Indonesia pada Amerika semakin menjadi-jadi.

Disandingkan dengan persoalan Papua, posisi tawar Indonesia terhadap Amerika termasuk Freeport, menjadi lebih lemah.

Jadi ada nuansa yang berproses, kedatangan rombongan diplomat AS ke Papua ini, tidak dalam konteks positif ataupun mau membantu Indonesia.

Dubes Blake melakukan kunjungan yang momentumnya tepat bagi Washington, tetapi berpotensi melemahkan wibawa Jakarta.

Kalimat singkatnya adalah : memperkeruh suasana namun menimbulkan empati untuk Amerika. Sebaliknya menciptakan anti-pati bagi pemerintahan Indonesia sehingga kepercayaan warga Papua bagi pemerintah pusat akan terus tergerus.

Dubes Blake juga dicurigai ingin menggali informasi dan pendapat dari penduduk Papua. Apakah rakyat Papua merasa nyaman dengan situasi yang dihadapi mereka selama ini ?

Kecurigaan itu muncul sebab dalam agendanya, Robert Blake dan rombongan, tidak hanya bertemu dengan para pejabat tinggi daerah setempat. Blake juga bertemu dengan sejumlah aktifis.

Dan biasanya para aktifis merupakan pihak yang bisa digolongkan dengan mereka yang tidak begitu senang dengan cara Jakarta atau konsep pemerintah pusat mengurus dan menangani Papua.

Kunjungan Dubes AS ini juga wajar dicurigai sebab sudah menjadi semacam tradisi, bahwa Washington selalu menerapkan kebijaksanaan standar ganda.
Lain yang diucapkan dan beda dengan tindakan.

Pada satu sisi Washington mengakui Papua sebagai bagian dari NKRI. Washington akan selalu menyatakan tidak mendukung setiap gerakan separatis dan seterusnya.

Tetapi di sisi lain, antara ucapan dan perbuatannya, saling bertentangan.

Pada akhirnya diam-diam muncul kecurigaan bahwa bahwa Amerika Serikat sedang atau bakal "mengobok-obok" Indonesia lewat persoalan Papua.

Dan kunjungan Dubes Blake ini merupakan bagian awal dari sebuah skenario besar.[***]

*penulis merupakan jurnalis senior.

Populer

UPDATE

Selengkapnya