PIDATO Megawati Soekarnoputri, sangat inspiring, smart, brilian, obyektif, realistis, tegas dan visionir. Tapi sayangnya pidato yang begitu kuat ini dinodai oleh kader-kader PDIP sendiri.
Terlihat di televisi, sebagian besar audience lebih asyik dengan HPnya, dibanding khusuk mendengarkan arahan pimpinannya.
Demikian tulis Budhius Ma'aruf di wall WA saya, Minggu 10 Januari 2016 sekitar pukul 11.25 WIB.
Pesan mantan produser
RCTI ini cukup menarik. Sebab Budhius termasuk salah satu wartawan Indonesia yang tidak menganggap Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI yang punya kelebihan.
Kini setelah berubah profesi, menjadi pengelola bisnis perdagangan valuta asing, ia memuji putri Proklamator itu.
Tidak berarti Budhius tak suka secara pribadi ataupun ideologinya Megawati. Tetapi begitulah dia. Terhadap siapa saja yang dia lihat ada hal yang perlu dia soroti, pria asal Minang ini selalu berkata apa adanya.
Sebagai salah satu contoh sikapnya tentang politisi Gerindera, Fadli Zon.
Budhius menganggap Zon-lah yang antara lain merusak citra pendiri Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Zon di mata dia merupakan politisi yang membentengi Prabowo dari segala informasi yang sepatutnya diketahui mantan Danjen Kopassus itu.
Budhius sendiri pernah menjadi calon anggota legislatif dari Gerindra pada tahun 2009. Budhius juga sama dengan Zon berdarah Minang. Keduanya sama-sama sarjana politik lulusan Universitas Indonesia.
Tapi berbagai kesamaannya dengan Fadli Zon tak membuatnya tak kritis terhadap Wakil Ketua DPR-RI ini.
Sebaliknya sekalipun tidak memiliki respektasi khusus terhadap Megawati selaku wanita pertama Indonesia yang menjadi Presiden RI, namun Budhius tidak serta merta bias.
Dan sikap apa adanya seperti ini dia nyatakan terbuka kepada siapa saja tanpa basa-basi. Bagi Budhius, Fadli Zon tidak pantas menjadi pimpinan DPR-RI.
Pesan WA menjadi lebih menarik lagi, karena dia ingin agar siang atau sore itu kami segera ketemu. Berbagai alasan saya berikan, tapi Budhius tetap ngotot. Seakan-akan dia punya hadiah tahun baru yang istimewa atau membawa sebuah kabar politik yang super penting.
Seolah-olah saya ini merupakan orang penting di PDIP. Dan dia berharap kalau pesannya itu saya, pasti didengar oleh Megawati atau petinggi lainnya.
Saat Budhius mengirim WA, saya sedang dalam perjalanan ke hotel Fairmont, Senayan, untuk makan siang keluarga. Putera saya Alvrie yang bekerja sebagai Chef di hotel baru itu bersama isterinya Marina Quiros sudah memesan meja untuk 6 orang.
Budhius ngotot seusai makan siang, kami bertemu. Akhirnya kami sepakat bertemu sekitar pukul 16:00 di FX Plaza Senayan. "Ngupi-ngupi", istilahnya.
Setelah pertemuan sekitar 3 jam, saya mencatat, sekalipun Budhius tidak lagi bertugas sebagai wartawan, tetapi informasinya berbagai hal justru lebih lengkap. Dalam berbagai isu, dia lebih informatif. Analisanya pun demikian. Bahkan terkesan sangat baru dan dalam.
Rupanya, menjadi analis perdagangan valuta asing, dia harus memiliki informasi yang menyeluruh. Dia tidak boleh punya keberpihakan. Informasi pasar, tidak boleh diplintir.
Semua informasi miliknya akan menjadi bahan kajiannya dalam melihat bagaimana perkembangan nilai mata uang asing yang diperdagangkannya di dunia.
Atas dasar itu Budhius memberikan saran kepada client-nya kapan harus membeli atau menjual. Mata uang yang diperdagangkannya sebatas mata uang utama : Poundsterling (Inggeris), Euro, Dolar Amerika, Yen Jepang dan Dolar Australia.
Budhius hidup dari informasi dan kajian yang obyektif.
Untuk memantau semua informasi itu, Budhius secara teratur melakukannya di sebuah "deal room" yang terletak di Kawasan Industri, Jababeka, Kerawang, Jawa Barat.
Di "deal room" tersebut terpasang 12 buah laptop dan 6 buah saluran televisi: asing dan lokal. Dia bekerja dari Senin sampai Jumat antara pukul 21.00 sampai pukul 09.00 keesokan harinya. Jam kerjanya disesuaikan dengan pembukaan perdagangan bursa di Wall Street, New York, Amerika Serikat. Dimana New York dan Jakarta terdapat selisih waktu 12 jam. Jakarta lebih awal.
Saya baru sadar, sebagai pengelolah bisnis valuta asing, latar belakang profesi wartawan dan punya minat serta perhatian terhadap dunia politik, menjadi modalnya yang kuat. Budhius di mata saya berubah dari seorang wartawan yang sebatas melaporkan fakta, menjadi seorang analis yang andal dan kredibel.
Dia menilai, pidato Megawati yang demikian bagus di saat peringatan HUT ke-43 PDIP, merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa. Sebab Megawati tidak sekadar berpidato - memenuhi kebutuhan seremonial, melainkan menyampaikan berbagai gagasan baru. Seperti peringatan agar Indonesia harus memiliki GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang dulu diadopsi dan diperkenalkan rezim Orde Baru. Atau Indonesia meniru apa yang baik yang diterapkan oleh pemerintahan sosialis-komunis RRC atau Tiongkok.
Megawati juga mengingatkan tentang pentingnya sebuah persiapan kepempimpinan nasional yang tidak boleh serta merta melakukan perubahan kebijakan. Ada semacam tuntutan agar siapa pun yang menjadi Presiden di periode berikutnya, dia wajib meneruskan apa yang sudah baik yang telah diletakan oleh pendahulunya.
Tidak boleh terjadi, ganti Presiden, ganti kebijakan sama dengan kebiasaan di Kementerian.
Tentang kepresidenan Joko Widodo, Budhius menilai berangkat dari peta situasi politik saat ini, bekas Walikota Solo ini terus menguat. Dia tidak melihat Wapres JK bisa mendikte apalagi pihak luar.
Jokowi punya prinsip dan kepribadian yang belum tentu dipahami orang. Dia menyimpulkan belum muncul figur kuat saat ini yang bisa mengalahkannya di Pilpres 2019 mendatang.
Oleb sebab itu siapapun yang maju, harus memperhitungkan semua kekuatan dan keunggulan Jokowi, tutur Budhius.
Lantas dimana letak keunggulan Jokowi ? Budhius melihat antara lain soal terobosan yang sering tidak diperhitungkan oleh lawan politik, bahkan termasuk mereka yang menjadi kepercayaan Presiden ke-7 RI tersebut.
Kerja sama dengan Google dengan pennggunaan Google Balon, kata Budhius, jangan dianggap remeh.
Dengan Google Balon semua wilayah Indonesia bakal punya fasilitas internet. Sebab di balon tersebut tersedia sejumlah "wi fi" yang bisa memfasilitasi semua wilayah yang tidak terjangkau internet.
Sehingga siapapun yang punya smartphone, bisa menggunakan internet secara cepat dan lancar.
Konsekwensinya hal ini akan mengubah budaya kerja dan visi bangsa yang tidak lagi terkotak-kotakan oleh sekat informasi. Arus informasi tidak lagi dijalankan oleh media-media main stream. Para pembohong informasi, akan ketahuan kedok mereka.
Apa yang dilakukan Jokowi seperti menyambut atau memberikan fasiltas terhadap sesuatu yang diperlukan publik.
Saat ini publik tidak bisa lagi hidup tanpa HP dan internet. Smartphone sudah menggantikan seluruh peran media-media main stream. Media sosial : facebook, twitter, skype dsb, semua menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Google balon memfasilitasinya secara cerdik dan tepat sementara Jokowi-lah yang menjadi pembuka visi atas hal ini.
"Saya yakin Jokowi masih sulit dikalahkan oleh siapapun. Bahkan Prabowo sebetulnya sudah tamat. Dengan keluarnya sejumlah partai dari KMP yang dipimpin Prabowo, itu sudah merupakan pertanda, magnitudenya sudah hilang. Yang menantang Jokowi harus punya terobosan dan paradigma baru", ujar Budhius.
Karena analisanya menurut hemat saya memiliki hal-hal yang tidak sempat terjangkau oleh saya, sayapun sengaja tidak melakukan interupsi apalagi mendebat. Dia jauh lebih muda usia. Tapi dia lebih punya kelebihan dari saya yang lebih tua.
Saya hanya melemparkan pendapat tentang PDIP. Dimana partai ini sekalipun secara resmi meraih suara terbanyak dalam Pilpres 2014, tetapi tidak bisa menikmati kemenangan ataupun kekuasaan.
Bahkan usaha PDIP mau menjadi Partai Penguasa seperti era SBY atau Soeharto, hanya menjadi bahan mainan politik. Kalau tidak disindir yah dizolimi. Jokowi tidak diidentikkan sebagai kader PDIP.
Ini semua tercermin dari istilah-istilah "petugas partai" bagi Jokowi atau "yang berkuasa itu Presiden bukan mantan Presiden". Maksudnya yang berkuasa Jokowi dan bukan Megawati. Semuanya merupakan pleseten.
Dan situasi "menang tapi tak berkuasa ini", seperti mengulang Pemilu 1999.
Di Pemilu Reformasi itu, PDIP yang meraih suara lebih banyak. Tapi yang jadi Presiden justru Abdurrahman Wahid, tokoh NU.
Yang jadi Ketua DPR-RI Akbar Tanjung dari Golkar. PDIP atau Megawati hanya menjadi Wakil Presiden.
Dalam Pemilu Legislatif 2004, kembali PDIP di bawah Megawati sebagai Ketua Umum, meraih suara lebih banyak dibanding Partai Demokrat. Tapi ketika Pemilu Presiden, Demokrat yang hanya meraih 7 persen suara di Pemilu Legislatif, justru menjadi Partai Penguasa.
PDIP sempat menjadi Partai Penguasa antara 2001 - 2004.Tapi itu karena Megawati sebagai Wapres menggantikan Abdurrahman Wahid yang dilengeserkan MPR-RI. *****