TAHUN 1986 Diberangus Penguasa...Tahun 2016 Dimatikan Pengusaha... !
Dihentikannya penerbitan harian Sinar Harapan per 1 Januari 2016, bisa saja dicatat sebagai sebuah aksi dan gejala kontra produktif. Sebuah tanda sedang terjadi pembelokan atas agenda penegakan demokrasi melalui pers.
Pasalnya harian ini dimatikan oleh pemodal melalui perencanaan yang baik, terbuka dan terstruktur. Selain itu sinyal yang diberikan pemodal dalam mematikan
Sinar Harapan, mengesankan 'tanpa rasa bersalah' dan tanpa penyesalan sama sekali.
Pemodal tidak memperlihatkan sikap yang mencerminkan adanya semacam komitmen kuat terhadap pertumbuhan pers dan demokrasi. Keputusan mematikan alat perjuangan demokrasi, semuanya murni dilakukan atas hitung-hitungan bisnis secara umum.
Seolah-olah selama 15 tahun, pemodal sudah berusaha maksimlal. Melakukan berbagai cara, terobosan bisnis dalam rangka menyelamatkan suratkabar ini. Tapi karena terus merugi, akhirnya harus penerbitan harus dihentikan.
Padahal, sejatinya bisa dibilang tak ada kebijakan fundamental atau terobosan bisnis dari manajemen yag mencerminkan kepedulian yang tinggi atas nasib suratkabar tersebut.
Suratkabar itu di tangan konglomerat, justru dibiarkan - terserah mau menuju kemana.
Begitu banyak atau tidak sedikit produk milik pemodal yang memerlukan media promosi. Tapi selama 15 tahun,
Sinar Harapan sebagai anak perusahan, tak pernah mendapat sisihan dana promosi.
Tak satupun produk dari pemilik modal yang dipromosikan lewat "Sinar Harapan". Bahkan iklan panggilan untuk rapat pemegang saham dari perusahaan yang masuk grup, yang ukuran dan biayanya relatif kecil, tak pernah muncul di "Sinar Harapan".
Dalam hal manajemen, terjadi kesenjangan antara pengelolah
Sinar Harapan dan investor. Seolah-olah
Sinar Harapan tak menerima kucuran dana dari Gajah Tunggal Grup. Juga ada sikap ambigiu dari investor yaitu tidak berani atau malu melakukan "declare" secara terbuka. Bahwa Gajah Tunggal juga terlibat dalam bisnis media atau pemilik saham mayoritas dari harian
Sinar Harapan.
Barangkali alasan pemodal yang secara implisit mengatakan bahwa selama kurang lebih 15 tahun pengelolaan harian tersebut tidak terlihat adanya harapan, cukup masuk akal dan bisa diterima.
Atau selama kurun waktu itu, tak kurang dari Rp 100 miliar telah habis percuma untuk mendanai
Sinar Harapan, bisa diterima. Tapi jika pemodal, yang dikenal sebagai bagian dari pemilik kelompok usaha yang hampir tak terlindas oleh krisis, tidak seharusnya menghentikan penerbitan secara keseluruhan.
Misalnya bisa saja hanya produk cetaknya saja yang dihentikan. Sementara edisi berbentuk
online terus dilanjutkan. Sehingga sejarah
Sinar Harapan sebagai sebuah media yang punya peran besar dalam melakukan kontrol sosial selama rezim baru, tidak mati secara tak beradab. Dan media online biaya operasinya jauh lebih murah.
Sebab diakui atau tidak, dengan status sebagai pemilik media, pemodal ini pun meraup citra tertentu. Cukup banyak yang mengetahui, pemodal merupakan salah satu obligor Bantuan Likwiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dari segi neraca, pemodal boleh jadi mengalami kerugian tidak kurang dari Rp. 100,- milyar. Tetapi kerugian itu tak ada artinya jika dibandingkan dengan benefit yang dinikmati pemodal melalui kucuran dana BLBI.
Selama mendanai
Sinar Harapan, pemodal tidak memanfaatkan media tersebut untuk kebutuhan perlindungan sebagai obligor BLBI. Namun di antara kalangan terbatas, relatif cukup banyak elit yang mengetahui bahwa keputusan investor mengakusisi "Sinar Harapan" dilatar belakangi hitung-hitungan politis.
Bisa saja Sinar Harapan disimpan dan sewaktu-waktu digunakan oleh pemodal sebagai alat pencitraan, kounter dan antisipasi. Kebetulan, masalah obligor BLBI sudah senyap isunya. Sjamsul Nursalim yang juga merupakan pengguna fasiltas BLBI, sudah memperoleh pemutihan. Praktis sudah berada pada posisi di atas angin.
Singkatnya tidak lagi memerlukan media atau status sebagai pemilik media.
Oleh sebab itu, keputusan investor yang mematikan
Sinar Harapan memunculkan spekulasi. Bahwa dengan cara itu, pemodal secara tidak langsung telah melakukan apa yang disebut "habis manis sepah dibuang".
Spekulasi itu perlu diangkat. Penghentian penerbitan Sinar Harapan itu pantas dikritisi.
Sebab sebetulnya keterlibatan grup Gajah Tunggal dalam mendanai penerbitan kembali
Sinar Harapan, tidak muncul tanpa alasan. Tidak pula tanpa agenda dan latar belakang politik serta psikologis.
Sebagaimana dituturkan HG Rorimpandey di tahun 2001, manakala pak Rorim mengajak saya untuk bergabung.
Secara resmi antara dia sebagai salah seorang pendiri
Sinar Harapan di tahun 1960-an dengan investor Gajah Tunggal, ada semacam kepentingan bersama (mutual interest). Kepentingan ini tidak diucapkan. Tapi kesamaannya kurang lebih begini.
Grup Gajah Tunggal yang merupakan salah satu obligor BLBI, ingin punya media. Tujuannya apa, itu merupakan persoalan tersendiri.
Sementara Pak Rorim yang ingin agar
Sinar Harapan bisa diterbitkan kembali, tapi tak memiliki dana perlu pemodal.
Nah keduanya sama saling membutuhkan. Kesamaan di atas itulah yang menjadikan tercapainya kesepakatan antara Pak Rorim dengan wakil Gajah Tunggal.
Kepentingan Pak Rorim, hanya satu; siapapun pemodalnya, nanti saja dibicarakan. Yang penting rasa sakit hatinya yang begitu tinggi terhadap rezim Orde Baru yang membereidel "Sinar Harapan" pada tahun 1986, bisa terobati atau terkompensasi.
"Sekalipun hari ini terbit dan besok langsung tidak bisa terbit, saya sudah puas. Saya sudah tua dan sudah tak menyesal untuk mati. Karena itu saya minta kamu bantu saya", kata pak Rorim pada satu pertemuan kami berdua di kediamannya. Saat itu usinya 79 tahun.
Dengan konglomerat Sjamsul Nursalim, pemilik Gajah Tunggal, Pak Rorim mengaku tidak kenal. Tetapi dia tak mempersoalkannya. Dia butuh pebisnis yang benar-benar punya dana.
Pak Rorim mendengar, di tahun 2001 itu, Sjamsul Nursalim memperoleh dana BLBI sebanyak kisaran belasan triliun rupiah atau lebih. Jadi apalah artinya dana satu milyar rupiah per bulan untuk pembiayaan
Sinar Harapan.
Sebagai salah seorang bekas tentara yang pernah berjuang melawan penjajah Belanda dan Jepang, di bumi Siliwangi, pak Rorim terpaksa bersikap realistis. Sekaligus sadar akan resiko dari kerja sama baru ini.
Bekerja sama dengan konglomerat yang bermasalah dalam BLBI, sama saja dengan dia berkolusi dengan pengusaha hitam.
Kemungkinan
Sinar Harapan tak akan bisa kembali seperti jati dirinya di tahun 1980-an, sangat besar. Yang penting bisa hidup atau terbit.
"Ah saya tak peduli itu siapa pemodalnya. Dari dulu saya tidak mau jadi pahlawan. Karena konotasi pahlawan, kita mati dulu baru diakui jadi pahlawan. Bagi saya gelar pahlawan, tak ada artinya kalau kita sudah mati. Itu sebabnya dari dulu saya tidak ingin 'Sinar Harapan' mati", ujar Pak Rorim.
Pak Rorim sadar menyerahkan semua pendanaan operasional
Sinar Harapan, kepada konglomerat yang usahanya di bisnis waralaba "Sogo", merupakan pilihan yang cukup berat.
Namun pilihan berat itu terpaksa ditempuhnya. Sebagai junior yang merasa dibesarkannya di
Sinar Harapan, selama pembicaraan saya lebih banyak mendengar.
Namun setelah penutupan
Sinar Harapan, terjadi, pembicaraan dengan almarhum lebih dari 10 tahun lalu itu, terngiang kembali.
Saya menduga, kalau saja pak Rorim masih hidup, keputusan mematikan "Sinar Harapan" dengan cara seperti kemarin, akan membuat temper emosinya naik secara mendadak.
Jiwa bekas pejuangnya akan muncul. Dia pasti lawan keputusan itu.
Tapi kini pendiri
Sinar Harapan itu sudah terbaring di kuburan Pondok Rangon, Jakarta Timur. Tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Pak Rorim meninggal 15 Nopember 2002 dalam usia 80 tahun. Sama dengan isterinya Tante Dongkie Pieters yang juga meninggal dalam usia yang sama, kurang dari dua bulan lalu.
Sebulan lalu ketika mendengar rencana menghentikan penerbitan, saya hubungi pak HBL Mantiri, Letjen (purnawirarawan) TNI Angkatan Darat.
Di tahun 2001 - 2003, saya pernah ditugaskan pak Rorim dan pemodal menjadi wakilnya.
Pak Mantiri, bekas Pangdam Udayana, Kasum ABRI dan Dubes RI untuk Singapura, sebagai Pemimpin Umum, merupakan atasan saya langsung.
Namun usaha berbicara dengan pak Mantiri selalu gagal. Sejak itu saya bertekad tak akan menulis soal kematian
Sinar Harapan.
Tapi wartawan senior Noeh Hatumena, antara lain menulis di sebuah media dengan penilaian bahwa
Sinar Harapan dikenal sebagai harian yang cukup berani di eranya. Dan menurut mantan Kepala Biro LKBN
Antara di Canberra, Australia ini, "Sinar Harapan" merupakan media yang pernah mencapai masa jayanya.
Inilah yang melatar belakangi saya merubah tekad. Sebab di masa jayanya dan pemberitaan
Sinar Harapan terkenal berani, saya hadir di sana.
Jadi saya hanya ingin mengingatkan sejarah dan mengungkapkan keprihatinan atas keputusan investor.
Lagi pula, yang prihatin atas penutupan, ternyata termasuk mereka yang bukan eks
Sinar Harapan.
Di harian itulah saya ditempa para senior termasuk almarhum pak Rorim.
Darah wartawan saya, mungkin menjadi lebih kental ketimbang darah kelelakian saya, akibat gemblengan wartawan gaya
Sinar Harapan. Berani mengambil resiko dan profesi wartawan merupakan pilihan. Bukan tempat beravonturir.
Iklan harian ini yang dulu berbunyi "Tiada Hari Tanpa Sinar Harapan", merupakan salah satu iklan paling terkenal dan sering ditiru.
Kini
Sinar Harapan sudah tiada.....
[***]
Penulis adalah jurnalis senior.