Berita

ilustrasi/net

Publika

Metafora Mafia "Papa Minta Saham"

SENIN, 14 DESEMBER 2015 | 00:46 WIB

FENOMENA malak "papa minta saham" sontak buat Negara hebohnya luar biasa. Seperti kongres homo sapiens di atas kereta millenium, Ketua DPR Setya Novanto (SN) yang ditenggarai sebagai juru kusir pertemuan dengan kedua pesohor, Muhammad Reza Chalid (MRC) dan Maroef Sjamsoeddin (MS) berlinang perhatian.

Trio pesohor ini tampaknya mendapatkan terpaan cercaan berlapis, pekan minus pujian berkat infotaimen amatiran dari MKD 'Mahkamah Konco Dewe' istilah (Gus Solah-Salahuddin Wahid). MKD memvestivalisasi kasus ini hingga sedemikian gaduh hingga tak dapat di pungkiri menembus perhatian khalayak sampai ke level membosankan. Peristiwa politik gaduh ini tidak saja buat Setya Novanto cs kenyang kritik. Tetapi lebih dari pada itu, betapa negara ini berhasil di buatnya kacau.

Setidaknya keadaan ini nampaknya membuktikan secara nyata betapa tradisi politik melulu saling merecoki, mengangkangi dan juga saling memback-up satu sama lain antar gank terus berlangsung intim di lingkaran elite politik republik ini. Skandal "papa minta saham" secara metafora mencermikan model pengelolaan politik yang mempraktekkan politik yang lebih banyak menjual-beli ancaman akibat saling dendam. Disini kekuasaan bukannya menyajikan kebajikan (value) tetapi justru dominan mempertontonkan kejadian yang mencengangkan.


Pemandangan di atas adalah sebuah metafora yang menggambarkan betapa bangsa ini masih lekat dengan berbagai aktivitas jahat dari para mafia. Suatu mentalitas pragmatis dari para eksekutor belum bergeser  kendatipun peradaban dunia semakin melaju. Sikap tunarasa orang-orang di pusaran kekuasaan yang hingga akhirnya merembes pada distorsifnya moralitas institusi negara, mereduksi makna pejabat publik menjadi sangat dangkal bagi kehidupan khalayak penerima efek buruk.

Andai MKD Terhormat

Bangsa atau setidaknya lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang  di hormati, barangkali tak mengalami musim politik paceklik moral atau pancaroba budaya malu jika keluhuran amanah yang 'mulia' hakim MKD dapat  menghaluskan politik yang saling melindungi kejahatan tersebut.Tetapi harapan khalayak itu urung, dinodai tindakan beberapa punggawa MKD yang awalnya terkesan heroik seolah-olah mimbar etika serius disajikan. Yang mulia palsu, bobrok karena terseret dalam aksi kubu versus kubu yang saling melindungi dan memback-up antara pelapor versi pemalak skandal "papa minta saham".

Suka atau tidak, topik yang mencerminkan sikap "tak mulia" hakim MKD ini sudah terlanjur di pasar bebaskan yang kian  mendidih di lingkungan khalayak publik. Menjadi isu yang sangat potensial untuk di kelola bagi banyak kelompok kepentingan di republik ini, yang kemudian berusaha ikut mendompleng untuk mencapai kepentingannya masing-masing. Di sinilah design panggung politik metafisik, penunggang-penunggang gelap (split personality) memainkan perannya cerdik.

Lain dari pada itu, yang mulia hakim MKD jelas panen kritik dari segala khalayak jika melanjutkan ketidak etisan menempatkan diri maupun memutuskan kasus. Tidak hanya social movement gaduh yang ditimbulkan sebagai efek buruk, sidang etik bancakan MKD sekaligus akan merusak banyak momentum yang tercatat bernas dalam Nawacita rezim Jokowi-JK. Jika demikian terjadi, fatamorgana kebangsaan hakim MKD menjadi sangat naif, ilusif dan sumir.

Apa yang hendak di harapakan dari MKD? Metodologi hukum menjadi panglima, itu rumus sederhana yang akhirnya dapat di andalkan untuk melunturkan hiporbolisme gagap para hakim MKD. Rumus yang bisa membongkar struktur serta sistem bahkan kultur mafia dalam bernegara yang selama ini bercokol. Semua pesohor tidak boleh ada yang sok di atas hukum, maka masyarakat akan mendukung dan mengapreasiasi langkah Kejaksaan, Kepolisian dan KPK yang melakukan terobosan hukum untuk pembersihan penjahat atau mafia yang sembunyi diinstansi manapun. Clear and clean tidak ada politisasi, dan dramatisasi ala MKD.

Ranjau-Ranjau Mafia

Perspektif mafia di paparkan secara ciamik dan panjang dalam sub prolog Suryadi Culla dalam buku Negara Mafia, Laude Ida (2010). Ilustrasi ringkas yang menarik tentang kehidupan mafia dalam prolognya Culla, di katakannya bahwa secara sederhana tergambar melalui sosok Al-Capane, seorang bos mafia di Chicago, Amerika Serikat tahun 1930-an. Sosok pria yang tampil rapih, namun siapa yang menduga dia adalah gembong kejahatan. Dia digambarkan sebagai sosok yang bisa tampil bersahabat di muka publik, namun di balik semua apa yang terlihat Capane merupakan seorang pelaku tindakan kriminal dengan bermotif macam-macam.

Masih menurut Culla, mafia dari penampilannya tidak tampak menurut aslinya. Dia dapat mengemas atau menutupi sosok dan perilakunya sehingga sedikit pun tidak terkesan sebagai pelaku kejahatan. Meskipun dia merupakan aktor dibalik sejumlah penipuan, perampokan, dan bahkan tindakan keji, namun di depan umum ia seringkali tampil bak seorang pahlawan.

Pada intinya, mafia dalam perspektif Culla bukanlah terminologi asing dalam kehidupan modern. Setidaknya banyak orang mengenal representasi simbolik apa yang di sebut mafia itu melalui dunia perfilman yang menggambarkan pelaku aktor dunia hitam. Istilah ini merujuk pada suatu jaringan kelompok terorganisir maupun yang belum terorganisir dengan modus berbagai prilaku sosial yang terkait dengan kejahatan dan pelanggaran hukum. Secara umum perbuatan kejahatan yang di lakukan oleh mereka seringkali tak terjamah oleh tindakan hukum, justru mendapatkan legalisasi hukum dan kekuasaan. Karena pengaruh kekuasaannya dapat mengontrol hampir semua perilaku apa saja hingga kini tetap di kenal sebagai sebuah organisasi kejahatan yang menjadi momok dunia.

Apa yang menjadi kegiatan para mafia tersebut? mereka melakukan berbagai kegiatan bisnis dan krimilitas yang merugikan negara dan masyarakat bangsanya. Antara lain pemerasan, pembajakan, dan sebagainya. Dalam mengelola berbagai kegiatan yang menyimpang itu, mereka tidak hanya bergerak secara ilegal, semi legal namun juga bahkan secara legal dengan perlindungan resmi negara.

Kini istilah mafia yang semula merujuk pada jaringan organisasi kejahatan itu, sudah berkembang menjadi istilah populer dan digunakan dalam pengertian luas terhadap berbagai aksi dan tindakan kejahatan yang merugikan negara. Terminologi mafia berkembang menjadi generik dan melekat pada setiap bentuk jaringan kejahatan apa saja. Selain dalam arti tindakan kejahatan (kriminal), pengertian lainya mafia juga merujuk pada persekongkolan diantara para hukum atau pejabat negara dan pemerintahan dalam pembuatan keputusan atau kebijakan publik, yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi kelompoknya atau dirinya sendiri.

Dalam konteks mafia penegak hukum itu khususnya, kamus besar bahasa Indonesia misalnya memberikan definisi tentang mafia yang ruang geraknya di peradilan, yaitu yang menguasai proses peradilan sehingga mereka dapat membebaskan terdakwa apabila terdakwa dapat menyediakan uang sesuai dengan jumlah yang di minta mereka.

Bila kita merujuk dari perspektif mafia seperti yang di ilustrasikan Suryadi Culla di atas. Maka pada pokoknya proses bernegara kita jangan sampai terjaring dalam jebakan ranjau mafia. Tools-nya agar terhindar dari ranjau tersebut adalah melalui kekuasan pemerintah sebagai manifestasi Exemplary Center tidak boleh mandul apalagi frustrasi dan khalayak yang mengandalkan frasa vox populi fox dei tidak lengah menata pilar-pilar negara dengan jembatan politik sebagai satu kesatuan bangunan system nilai (ethic).

Membangun peradaban Bangsa jangan sampai khalayak puas dengan sebatas lipsing yang di gadang-gadang oleh para mafia. Bencana politik, di depan mata jika jaringan diam-diam membentuk sel persekutuan yang siap merampas kekuasaan eksekutif yang di nilai 'mungkin' sudah mulai melemah (acting president) hanya berlaku simbolik dalam de jure menampilkan wajah. Padahal secara de facto pemegang kunci kekuatan ada pada mereka shadow governance (pemerintah bayangan) atau dengan bahasa lain yaitu mafia.

Kekhawatiran jangan sampai menunggu terjadi peristiwa besar yang berpotensi meluluhlantahkan sistem ketatanegraan kita, khawatir eksekutif kembali mengadopsi model pemerintahan di era 1950-an, yaitu membentuk jaringan politik atas nama hak preoregative yang berkonotasi merongrong atau bahkan mendikte prinsip trias politika. Ini lebih berbahaya, membuka jalan munculnya rezim yang represif dan otoriterianisme. [***]


Penulis adalah peneliti di Populis Institute, Mujamin Innce

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Kreditur Tak Boleh Cuci Tangan: OJK Perketat Aturan Penagihan Utang Pasca Tragedi Kalibata

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:15

Dolar Melemah di Tengah Data Tenaga Kerja AS yang Variatif

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00

Penghormatan 75 Tahun Pengabdian: Memori Kolektif Haji dalam Buku Pamungkas Ditjen PHU

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:48

Emas Menguat Didorong Data Pengangguran AS dan Prospek Pemangkasan Suku Bunga Fed

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:23

Bursa Eropa Tumbang Dihantam Data Ketenagakerjaan AS dan Kecemasan Global

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:01

Pembatasan Truk saat Nataru Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:46

Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:35

Lompatan Cara Belajar

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:22

Jakarta Hasilkan Bahan Bakar Alternatif dari RDF Plant Rorotan

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:11

Dedi Mulyadi Larang Angkot di Puncak Beroperasi selama Nataru

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:48

Selengkapnya