TIDAK semua orang Indonesia selalu memiliki rasa bangga terhadap ke-Indonesian-nya. Bahkan tidak jarang orang Indonesia yang hanya tinggal beberapa waktu di negara lain - terutama yang masuk kategori negara maju, rasa bangganya terhadap Indonesia, luntur, turun drastis maupun hilang seluruhnya. Ujung-ujungnya malu mengaku orang Indonesia termasuk malu mengaku tahu tentang Indonesia.
Yang lebih memprihatinkan lagi ada warga yang lahir, tumbuh, besar dan bisa menjadi warga yang bermartabat di Indonesia, tetapi hanya karena faktor pengaruh asing, bisa berubah sikap dan mentalnya. Menjadi warga yang tidak segan-segannya mempermalukan dan menghukum Indonesia.
Yang terakhir ini bisa dilabelkan atau dikaitkan dengan orang-orang Indonesia yang baru-baru ini mengadili Indonesia melalui International People's Tribunal (IPT 1965) di Den Haag, Belanda.
Atau mereka yang menikah dengan anak bangsa lain, melihat Indonesia yang kebetulan saat ini masih menghadapi banyak krisis, lantas mengadopsi pandangan negatif atau sinis terhadap negara yang merdeka 70 tahun lalu ini.
Tidak demikian dengan wanita separuh baya Halida Ilahude Leclerc. Dia tidak malu menyebut sebagai orang Indonesia, keturunan Indonesia ataupun manusia yang sangat cinta pada Indonesia.
Sebelum menikah dengan pria Prancis, lebih dari 20 tahun lalu, Halida sudah menetap di Paris. Separuh dari usianya digunakan hidup di Prancis. Kendati demikian hal itu tak membuatnya lebih Prancis dibanding dengan orang Prancis sendiri.
Rasa cintanya pada Indonesia, justru semakin mengental. Bahkan Halida tidak segan-segan memuji Soeharto, Presiden yang memimpin Indonesia selama 32 tahun (1966-1998). Sebab bagi dia sekalipun Soeharto memiliki kelemahan, tapi hal-hal positif yang dia buat bagi bangsa Indonesia, tak boleh dilupakan.
Wartawati televisi Prancis "Arte" ini sangat bangga terhadap Indonesia. Dan salah satu kebanggaan itu dia wujudkan dengan cara tetap bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.
Dia juga tetap optimis Indonesia akan menjadi salah satu negara industri, negara maju.
Halida sependapat dengan prediksi sejumlah ekonom Barat yang menyebut, pada tahun 2030, Indonesia akan menduduki posisi nomor 6 dalam status negara industri.
Halida mengaku keyakinannya atas masa depan Indonesia bertambah bukan hanya karena dipengaruhi oleh penilaian para ahli. Tetapi hal itu diperkuat dengan temuannya di lapangan.
Sebagai wartawan, Halida sudah berkeliling Indonesia. Dia tidak melihat Indonesia dari kacamata Jakarta apalagi politisi yang beroposisi dengan pemerintah.
Dia mencoba melihat Indonesia dari kaca mata positif sekalipun sikap kritis tetap dia pelihara.
"Banyak tempat di Indonesia, sudah saya kunjungi. Potensinya luar biasa. Bukan hanya sumber daya alam tapi manusianya, sangat luar biasa. Persoalannya, Indonesia sendiri tidak tahu potensi tersebut bahkan tempat yang potensil itu, mereka tidak tahu," kata Halida, Sabtu kemarin di Hotel Ambara, Jakarta Selatan.
Saat ini posisi Indonesia belum jelas rankingnya. Sekalipun masuk dalam Kelompok 20 (G-20 atau Group of 20), tetapi tidak otomatis ranking Indonesia berada dalam lingkup itu. Bisa saja Indonesia bahkan berada di luar urutan ke-20, jika persyaratan sebuah negara Industri yang dijadikan ukuran.
Hingga sekarang hanya ada 7 negara yang disebut-sebut sebagai negara industri. Dan dari ketujuh negara itu hanya Jepang yang dari wilayah Asia. Selebihnya dari benua Amerika (Kanada dan Amerika Serikat), Eropa (Jerman, Inggris, Prancis dan Itali). Ke-7 negara inilah yang dijuluki G-7 dan menjadi penentu berbagai kebijakan industri serta perdagangan dunia.
Pekan ini Halida bersama krunya dari Paris berada di Indonesia untuk pembuatan sebuah program yang diberi judul "L'Indonesie est Le Giant Invisible" atau "Indonesia Raksasa Yang Tak Terlihat". Program yang akan ditayangkan di televisi yang separuh sahamnya, milik pemerintah Prancis.
Untuk itu Halida dkk melakukan serangkaian wawancara dengan sejumlah nara sumber dan pengambilan gambar.
Televisi "Arte" tutur Halida biasanya lebih mengutamakan liputan-liputan bergenre budaya. Untuk itu Halida dan krunya sudah menelorkan sejumlah liputan tentang kehidupan masyarakat Indonesia - yang rata-rata berada di lokasi yang terisolir.
Namun rapat redaksi media broadcasting "Arte" baru-baru ini memutuskan, perlu ada liputan khusus tentang Indonesia. Temanya agak keluar dari seni dan budaya, ada unsur politiknya.
Liputan terakhir yang diproduksi Halida dkk, tentang kehidupan salah satu suku di dekat Merauke, Papua. Suku ini menjadikan pohon setinggi 30 meter dari tanah, sebagai rumah tempat tinggal mereka. Yang dipresentasekan keaneka-ragaman gaya hidup dari sebuah negara yang berpendudulk 250 juta jiwa dan mendiami lebih dari 16.000 pulau serta memiliki zone waktu berbeda 3 jam.
Dengan penonjolan di atas, liputan kehidupan seperti Zaman Batu itu tidak menimbulkan perspektif yang negatif tentang Indonesia.
Banyak hal menarik yang dipetik Halida dari perjalanan ke Papua. Masyarakat Papua yang jauh dari pusat kekuasaan, memiliki banyak sikap dan filosofi hidup yang positif. Seperti gotong royong, keramah-tamahan, ketulusan, kehidupan bersahaja dan penggunaan bahasa.
Semuanya, jika diceritakan memang sangat panjang. Dan cerita-cerita positif itulah yang diangkat oleh stasiun televisi "Arte".
Sebagai orang yang masih fasih berbahasa Indonesia, Halida mengaku sangat tersentuh ketika menemukan anak suku bangsa di tengah pedalaman. Mereka sangat fasih berbahasa Indonesia. Padahal untuk bersekolah dan belajar bahasa ada yang cuma 4 bulan dalam satu tahun. Halida mengaku kagum dengan kenyataan tersebut.
Dia bandingkan Swiss, sebuah negara di Eropa yang luasnya sangat kecil dibanding Indonesia. Sudah kecil tidak memiliki bahasa nasional, bahasa pemersatu.
Di kota Jenewa, orang Swiss berbahasa Prancis. Di kota Bern berbahasa Jerman. Ketika orang dari kedua kota itu bertemu, sekalipun sama-sama orang Swiss, mereka tidak bisa menggunakan Bahasa Jerman atau Prancis, melainkan Bahasa Inggris. Jadi tidak ada bahasa nasional dan bahasa nasional sebagai pemersatu.
Bandingkan Indonesia yang ribuan kali lipat besar dan luasnya dengan Swiss. Sampai di ujung manapun, orang Indonesia tetap bisa berbahasa Indonesia.
"Di sini saya melihat betapa besar pengaruh positifnya Proklamator Indonesia, Presiden Soekarno. Proklamator itu yang mengobarkan semangat agar bangsa Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu," ujarnya.
Bagi Halida, kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Papua, memang memiliki sejumlah hal yang tidak sesuai dengan kebutuhan warga di sana. Inilah yang kemudian menimbulkan berbagai gesekan.
"Tidak semua rakyat Papua butuh mobil mewah, rumah bagus apalagi uang bermilyar-milyar rupiah. Yang mereka butuhkan hak-hak yang layak bagi mereka sehingga mereka bisa hidup sebagai manusia," katanya.
Ia memberi contoh pemukiman baru yang diberikan pemerintah kepada sebuah suku yang kehidupan mereka masih sangat tradisional. Mereka direlokasi dengan fasilitas rumah seperti gubuk, lebih bagus dari rumah asal. Mereka juga diberi tunjangan berupa mie instant. Tetapi lokasi pemukiman baru itu jauh dari tempat mereka mengambil air minum. Lalu bagaimana manusia hidup kalau tanpa air?
Warga pedalaman ini kemudian menjadi ketagihan makan mie instan. Tetapi plastik bungkusan mie instan itu kemudian menumpuk dan merusak lingkungan.
Dalam pembuatan film dokumenter di daerah pedalaman, Halida dkk mempekerjakan sekitar 20 orang warga Papua. Salah satu pekerjaan mereka memikul jenset. Perjalanan yang ditempuh ada yang berjalan kaki selama 6 jam dan naik speed boat selama 8 jam.
Dilihat dari beban kerja, para warga Papua tersebut pantas dibayar berjuta-juta rupiah. Tetapi jangankan uang satu juta, seratus ribu, juga tidak ada gunanya. Sebab uang itu tidak bisa mereka gunakan untuk berbelanja. Desa mereka jauh dari kota atau toko yang menjual barang yang harus dibayar dengan uang.
"Atas dasar informasi yang kami kumpulkan sebelum berangkat, kami hanya memberi mereka obat seperti yodium. Sebab obat itu sangat diperlukan di sana. Seringkali warga desa mengalami luka dan berhari-hari dibiarkan tanpa obat. Terjadi infeksi dan bisa berakibat fatal," tutur Halida.
Ketidakpemahaman terhadap masalah yang dihadapi bangsa Papua seperti ini, seharusnya diatasi.
Menyinggung tentang pemerintahan Joko Widodo, Halida menilai, kelemahannya memang banyak. Tapi tidak semua kelemahan itu disebabkan oleh Jokowi sendiri. Kelemahan itu juga antara lain dibawa atau berada di tangan orang-orang sekelilingnya.
Selain itu, ketika Jokowi memerintah, ia diwarisi oleh sejumlah persoalan berat hasil pemerintahan sebelumnya. Mulai dar SBY, Mega, Gus Dur dan Habibie.
Yang saya suka dari Jokowi, kata Halida, dia tidak memiliki karakter sebagai seorang koruptor. Dan mudah-mudahan Jokowi tidak tergiur menjadi seorang koruptor.
Kalimat terakhir yang secara tidak sengaja, kami ucapkan secara bersamaan.
[***]