PADA masa awal kekuasaan orde baru, bangsa Indonesia kala itu bersuka cita dengan janji pemimpinnya kala itu tentang kebebasan dan keterbukaan dalam berpendapat. Bangsa ini pada saat itu menyambut dengan gembira pemerintahan presiden Soeharto yang diharapkan dapat memberikan perubahan atas keterpurukan yang dialami pada masa pemeritahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan dalam segala aspek, yakni aspek ekonomi, politik,sosial, budaya dan juga terkait dengan psikologi rakyat.
Rakyat indonesia mulai bangkit merangkak menuju taraf stabil dengan langkah sedikit demi sedikit, bahkan prestasi yang sangat membanggakan adalah dalam aspek perekonomian yang saat itu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Namun, hal yang tragis dan sangat memprihatinkan adalah kebebasan pers di Indonesia. Dunia pers justru sebaliknya, wilayah pers mendapat tekanan dari pemerintah pada saat itu. Berbagai ancaman tegas dari pemerintah ketika menerbitkan berita-berita miring terkait dengan pemerintahan. Disinilah dunia pers pada saat itu kehilangan kebebasannya. Hidup dalam tekanan dan kungkungan penguasa yang otoriter.
Pasca perubahan UUD 1945, kehidupan Indonesia yang semakin demokratis. Hal ini dibuktikan dengan adanya jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembatasan kekuasaan. Untuk jaminan hak asasi manusia (HAM) bentuk aturannya dibuat secara jelas dan detail. Sementara untuk pembatasan kekuasaan dilakukan dengan penerapan check and balances sistem.
Kebebasan pers atau media massa menjadi salah satu ciri penerapan sistem demokratis. Dalam UUD 1945 Pasal 28 UUD 1994 pun sudah jelas dinyatakan secara tegas bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoeh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Melihat fenomena yang terjadi di lapangan, apalagi menjelang Pemilu entah yang sifatnya pemilihan pejabat daerah atau pun presiden, pers memiliki peran penting dalam proses politik yang ada di Indonesia khususnya. Di Indonesia, meskipun rezim otoritarian pada masa orde baru sudah hancur yang tergantikan dengan demokrasi pada era reformasi ini, tapi struktur oligarki tetap berdiri kokoh. Oligarki adalah politik pertahanan kekuasaan yang dilakukan oleh kaum elit.Adanya perubahan sistem politik yang dengan hal ini melalui pemilihan langsung, membuat para kaum oligarki melakukan jurus jitu dengan konsolidasi untuk tetap menjadi pemangku kebijakan yang ada di negeri ini.
Banyak cara yang bisa digalakkan untuk bisa mempertahankan apa yang menjadi kepentingannya. Salah satunya adalah melirik dunia pers atau media massa yang menjadi sasarannya. Lewat media massa opini publik akan terbangun. Dan lewat opini publik inilah sebuah kebijakan dapat dikendalikan dan di arahkan oleh kaum oligarki. Penguasaan pers akan memperlancar kaum oligarki untuk dapat mempengaruhi publik.
Jeffrey Winters menyebutkan oligarki di Indonesia sekitar 43 ribu atau 0,02 persen, kekayaan mereka adalah 25 persen dari GDP. Orang yang paling kaya di Indonesia jauh lebih kaya dibandingkan dengan Singapura, Thailand dan Malasyia. Yang paling terlihat saat ini adalah oligarki dalam sektor politik di negara ini.
Sejumlah media massa pada era reformasi kini disinyalir berafiliasi kuat dengan pemodal yang juga kini sedang berkuasa.
Kepemilikan media berpusat pada segelintir pengusaha kaya di Indonesia, khususnya di Jakarta. Sinyalemen adanya praktek politik oligarki dalam penguasaan media massa bertambah kuat dan terlihat ketika beberapa pemilik media ternyata juga berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu.
Dalam massa kampanye pemilihan presiden lalu, keberpihakan media massa diperlihatkan secara nyaris telanjang. Keberpihakan itu muncul melalui iklan capres. Iklan capres yang sering ditayangkan di media massa adalah pemilik modalnya menjadi pendukungnya. Dan tidak heran juga jika tanyangan yang ditampilkan penuh dengan keberpihakan. Independensi pers dipertanyakan. Objektivitas dunia pers menjadi gugatan karena dinilai tidak sesuai dengan perannya sebagai sarana untuk memberikan informasi yang seobjektif mungkin agar tidak terjadi ketimpangan informasi antara rakyat dan pemerintahan.jadi semakin jelas bahwa kondisi pers kini sudah kehilangan idealismenya.
Secara fakta, menghentikan oligarki yang sudah terlanjur ada di negeri ini sangat sulit. Tidak semudah membalikkan kedua tangan. Hal yang sangat mungkin adalah meredam pengaruh oligarki tersebut agar tidak semakin meluas implikasinya. Masyarakat sipil adalah salah satu agen of change untuk melawan kaum oligarki ini. Masyarakat sipil yang memiliki kesadaran penuh akan hak dan kewajiban serta memiliki visi bersama. Simpul dari masyarakat sipil ini salah satunya adalah mahasiswa sebagai objek yang bisa digunakan.
Dengan latar belakang pendidikan yang cukup dan dengan pembekalan akses informasi yang lebih luas mahasiswa dapat berperan dalam pencegahan proses oligarki di negeri ini. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat juga dengan berjejaring dengan LSM dan KPI untuk mengawal agar tercipta pers yang demokrasi. Oligarki di negeri ini dapat diredam jika semua mampu menangkap peluang untuk membentuk masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya, sadar untuk memperoleh informasi yang benar dan layak bagi hak-hak asasi manusia.
Eka Selsabila Firdausi
Kader IMM Ciputat
Mahasiswa UIN Jakarta (Perbankan Syariah dan Hukum)