JOHN Milne, Atase Pers Kedubes Australia di Jakarta, pada tahun 1990-an awal, menelpon untuk menanyakan tentang Fadli Zon. Saat itu saya menjadi wartawan "Media Indonesia".
Setelah dijawab, tidak kenal, diplomat Australia itu minta bertemu berdua, kemudian menjelaskan data tentang Fadli Zon yang ada di perpustakaannya.
Cukup terkejut mendengar informasi tentang pemuda Fadli Zon yang antara lain menyebutnya sebagai wartawan. Tahun itu jumlah media terhitung belum banyak dan anak muda yang mau terjun dalam dunia jurnalistik, terbilang masih sedikit. Wartawan di Jakarta masih saling kenal.
Kebebasan pers masih sangat terbatas. Surat kabar, majalah harus punya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). SIUPP sulit sekali diperoleh tapi setelah didapat, mudah sekali dibatalkan oleh Departemen Penerangan. Deppen yang saat itu dipimpin Harmoko dalam konteks ditakuti, pengaruhnya mungkin mirip KPK seperti saat ini. Sebuah momok. Kehidupan media dan awaknya, beresiko tinggi.
Faktor ini menjadi salah satu penyebab mengapa pada era itu tidak banyak yang tertarik menjadi jurnalis. Saat itu belum ada portal berita apalagi sosial media dan
citizen journalism..
Karena tidak mau dianggap oleh John Milne terlalu minim info tentang siapa saja wajah baru yang terjun ke dunia kewartawanan, saya tidak bertanya balik, di media mana Fadli Zon bekerja? Hingga beberapa tahun kami tidak pernah bertemu di lapangan, tempat peliputan. Sehingga saya tidak pernah tahu, di media mana Fadli Zon berkiprah.
Setelah waktu yang cukup lama, John Milne pun sudah kembali ke Canberra, kami kemudian berkenalan. Persisnya kapan, sudah tak ingat. Tapi perkenalan itu bukan karena disengaja. Hanya kebetulan.
Saat itu saya bersama Taufiq Kiemas (almarhum) dari PDIP. Taufiq yang berasal dari Sumatera Selatan tapi juga berdarah Minang cukup tertarik melihat potensi Fadli Zon menjadi gubernur Sumatera Barat, mewakili PDIP. TK ingin melobinya.
Pertama kali bertemu, seolah kami sudah saling kenal. Fadli Zon memanggil saya abang. Kami bertukar nomor
hape. Sejauh yang saya ingat, Zon pernah mengirim pesan singkat berantai ke nomor
hape saya. Itu terjadi ketika ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di Pemilu 2014.
Semenjak pertanyaan John Milne itu, secara diam-diam, saya coba perhatikan sepak terjangnya. Sebab diplomat Australia tersebut memuji kecerdasan pemuda asal Sumatera Barat ini, satu hal yang belum pernah saya dengar dari diplomat asing.
Informasi tentang Fadli Zon sekitar 20 tahun lalu ini menyentakkan pikiran manakala Oktober 2014 politisi Gerindra ini terpilih menjadi wakil ketua DPR-RI.
Zon pun semenjak itu makin sering terlihat di media, duduk atau jalan bersama dengan Ketua DPR RI Setyo Novanto. Dia mendadak menjadi elit politik Indonesia. Partainya kalah suara di Pemilu Legislatif, tapi bisa menggeser kursi yang seharusnya menjadi hak partai pemenang Pemilu.
Terlepas dari keterpilihannya bersama pimpinan DPR-RI lainnya - melalui proses pemilihan yang mengangkangi tradisi di DPR-RI selama ini, tetapi saya mengakui apa yang disebutkan diplomat Australia itu.
Senang melihat Fadli Zon. Dia termasuk politisi yang bisa disebut "punya tongkrongan". Ia memiliki profil, wajah yang enak diajak bicara. Caranya berbicara pun terlihat cerdas dan berani. Di luar modal informasi dari diplomat Australia tadi, ketertarikan mengamati sepak terjang Fadli Zon menguat, manakala ia menjadi orang yang dipercaya oleh Prabowo Subianto.
Jenderal Prabowo, mantan Danjen Kopassus, Pangkostrad dan anak mantu Presiden Soeharto -sebagai seorang militer, pasti punya alasan kuat mengapa dia merekrut orang sipil seperti Fadli Zon.
Apa yang membuat kecocokan mereka? Nampaknya terletak pada latar belakang pendidikan dan agama. Dua-duanya pernah sekolah di London sehingga fasih berbahasa Inggris. Dan Islam, agama yang mereka berdua anut, melengkapi keluasan visi berdua bagaimana berpolitik di Indonesa, negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Kepercayaan Prabowo terhadap Fadli Zon pasti berproses. Prabowo telah memberinya berbagai ujian. Tanda bahwa Fadli Zon memang sangat dipercaya Prabowo, terlihat pada peranannya dalam sebuah kasus. Sebuah kasus yang melibatkan Hasjim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto.
Hasjim pada satu ketika "dituduh" menjadi penadah dari sejumlah barang antik milik Keraton. Peran Hasjim sebagai penadah nyaris menyebabkan dia terperangkap dalam aksi tindak kriminal. Hasjim yang saat itu dikatakan lebih banyak berada di luar negeri, sulit ditemui media.
Wartawan pun terus mengejar keberadaan Hasjim. Keluarga Prabowo akhirnya menunjuk Fadli Zon sebagai jurubicara. Berbagai pertanyaan kritis dan sinis dari wartawan tentang kasus itu, berhasil dijawab secara profesional dan terukur oleh Fadli Zon. Fadli memerankan peran Jubir Keluarga Prabowo dengan baik. Akhirnya kasusnya Hasjim tenggelam, larut dan hilang ditelan waktu. Citra Hasjim dan kakaknya, tidak rusak.
Belakangan, Fadli Zon termasuk politisi Senayan yang paling banyak bicara. Mirip seorang jurubicara (jubir). Hanya saja, caranya menjadi Jubir, sangat berbeda dengan tempo hari. Sewaktu menjurubicarai keluarga Prabowo, terkesan lebih tenang dan simpatik. Kalau saat ini, Fadli Zon seperti sangat sensitif, curiga kepada yang bertanya apalagi yang mengeritik.
Zon besar di politik karena Gerindra. Tapi belakangan, Zon agak jarang tampil dekat dengan bendera Gerindra. Bahkan dengan Prabowo Subianto yang merupakan pendiri Partai Gerindra, Zon pun jarang terlihat bersama.
Sewaktu nama calon Gubernur DKI Jaya dimunculkan oleh Partai Gerindera, yang mencuat pertama kali Sandiaga Uno. Bukan nama Fadli Zon. Berbagai spekulasi muncul atas perubahan ini. Inikah penyebab Fadli Zon gampang emosi? Atau apakah Zon sedang frustrasi dengan kedudukan politiknya sekarang? Apakah Zon merapat ke Setyo Novanto karena Novanto lebih kaya dari Prabowo? Apakah Zon sedang berpikir untuk loncat pagar dari Gerindra ke partai Pohon Beringin?
Pendeknya, penampilan Fadli Zon belakangan ini yang lebih banyak berada di sekitar politisi Golkar, Setyo Novanto, menjadi sebuah tanda tanda besar. Konon, ketika Fadli Zon berkunjung ke Amerika Serikat bersama Ketua DPR-RI Setyo Novanto, Oktober baru lalu, hal itu sebetulnya bertentangan dengan kebijakan Prabowo. Bahwa anggota Gerindra dilarang ke luar negeri.
Semenjak ke Amerika Serikat, duet Fadli Zon dan Setyo Novanto pun menjadi sorotan. Pasca diketahui bahwa keduanya mengadakan pertemuan dengan Donald Trumph di New York, berbagai sorotan mengemuka. Pertemuan mereka, kontroversil dan dianggap oleh sementara kalangan merendahkan martabat bangsa.
Novanto dan Zon dianggap sudah mencatut nama Indonesia. Seolah-olah Indonesia mendukung Trumph, politisi Partai Republik untuk menjadi calon Presiden Amerika Serikat. Seakan-akan keduanya berhak mengklaim sebagai wakil rakyat Indonesia.
Karena dianggap mencatut nama Indonesia, Zon dan Novanto pun dituntut mundur dari jabatan pimpinan DPR-RI.
Hiruk pikuk pencatutan nama Indonesia oleh Novanto dan Zon belum lagi reda seutuhnya, muncul tuduhan baru. Juga masih bertemakan pencatutan. Kali ini penyebabnya Menteri ESDM Sudirman Said. Said menuduh Novanto mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden RI. Nama pemimpin Indonesia dicatut ke pimpinan PT Freeport.
Novanto masih sesuai laporan Menteri Sudirman Said, meminta saham 20 persen kepada PT Freeport. Saham itu akan dibagi menjadi 11 persen untuk Presidan 9 persen untuk Wakil Presiden.
Heboh, karena laporan Sudirman Said disertai rekaman atau transkrip pembicaraan Novanto dan Dirut PT Freeport. Banyak yang terkejut dengan rekaman itu. Mungkin banyak yang tidak tahu, Marsekal purnawirawan Maroef Sjamsuddin, Dirut PT Freeport, seorang mantan Wakil Kepala BIN (Badan Intelejen Negara).
Yang cukup menggelikan dan kalau boleh menulis secara jujur adalah munculnya Fadli Zon dalam kasus pencatutan nama ini, telah mengubah jati dirinya. Zon sudah menjadi Jubirnya Setyo Novanto.
Sayangnya ia terlalu meledak-ledak. Berbeda 180 derajat ketika Zon menjadi jubirnya keluarga Prabowo. Selain itu sikap Fadli Zon dibanding Setyo Novanto sangat kontras. Novanto cukup tenang. Sekalipun dirinya dituding sebagai pencatut, dia masih bisa mengontrol cara bicaranya. Sebaliknya Fadli Zon seperti seorang yang "kebakaran jenggot", walaupun tak ada yang mengganggunya.
Zon yang konon tidak pernah disebut dalam surat pengaduan Menteri ESDM Sudirman Said, sangat ngotot. Ngocehnya, kata orang Jakarte,
ajubile. Seakan-akan justru dirinya yang disebut sebagai #papamintasaham#.
Manakala berdebat, Fadli Zon juga kurang suka mengedepankan tatakrama. Akibatnya profilnya yang positif - sebagai seorang intelektual lulusan universitas terpandang di Inggris, sirna seketika.
Cara Fadli Zon memotong pernyataan secara tidak beretika itu, menimbulkan kekhawatiran. Khawatir, kalau saja Fadli Zon memiliki kedudukan kekuasaan yang lebih tinggi, katakanlah menjadi Ketua DPR-RI, mungkin dia akan mem-by pass kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden.
Caranya berargumentasi mengingatkan sifat dan sikap orang otoriter. Sosok yang tidak mau pendapat orang lain yang digunakan atau didengarkan. Dalam tiga hari terakhir, Zon sedikitnya sudah tampil di dua media yang saling berseberangan;
TVOne dan
MetroTV.
Di Indonesia Lawyers Club
TVOne, Selasa malam 17 Nopember dan kesokan harinya di
Metro TV. Perbedaannya, kalau di
TVOne, Fadli Zon berhasil menguasai panggung dan membelokan topik, sementara di
Metro TV, dia kurang berhasil.
Ketidak berhasilannya mungkin dikarenakan -di ILC
TVOne, "media setting" untuk membela Setyo Novanto, lebih memungkinkan. Sementara kalau di
Metro TV, agak sulit karena Zon hanya sekedar tamu. Jika di ILC
TVOne, Karni Ilyas sebagai
host terlalu membiarkan Fadli Zon, di
Metro TV, tidak demikian. Najwa Shihab, perempuan yang ayahnya mantan Menteri Agama ini, justru sangat agresif dan provokatif. Host berdarah Bugis-Arab ini tajam mencecer Fadli Zon.
Beberapa kali Najwa memotong pembicaraan Fadli Zon, karena yang bersangkutan terus berbicara tanpa memberi kesempatan lawan debatnya. Ditambah lagi "tamu tarung" di
Metro TV, hadir seorang tukang debat dari Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Dominasi Fadli Zon pun agak berkurang.
Tapi apapun yang dilakukan Fadli Zon dalam membendung derasnya sorotan media terhadap kasus #papamintasaham# ini, ada pertanyaan sekaligus ungkapan yang berputar-putar.
"Novanto Yang Dituduh, Fadli Zon Yang Sewot". Ada apa?
[***]Penulis adalah jurnalis senior.