Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban membantu pemulihan psikososial korban kejahatan seperti tindak pidana perdagangan orang. Langkah ini diharapkan bisa mengembalikan fungsi sosial mereka secara normal.
"Bagi korban TPPO dapat diberikan pendampingan berbasis non-komunitas," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (13/11).
Sewendawai menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara pada "2nd Behavioural Sciences Conference of the Europol Network for Psycho-Social Issues in WP" bertemakan "Supporting the Cycle of Protection: Admission, Monitoring and Transition in WP Programs" selaam dua hari, 11-12 November lalu, di Sarajevo, Bosnia Herzegovina.
Semendawai menuturkan, untuk pendampingan berbasis non-komunitas bagi korban perdagangan manusia berupa konseling, spiritual dan keterampilan. Sejauh ini, LPSK membantu korban kejahatan secara medis dan rehabilitasi psikologis, serta pemulihan psikososial.
Pemberian rehabilitasi psikososial ini, jelas Semendawai, untuk membantu korban meringankan, melindungi dan melindungi kondisi fisik, psikologis sosial dan spiritual. Sedangkan bantuan anak korban kekerasan seksual berupa melanjutkan pendidikan, korban terorisme mendapatkan pendidikan bagi anak korban, kepemilikan rumah dan pemberian modal usaha.
Korban kasus berbasis agama mendapatkan pilihan pindah tempat kerja sesuai yang diinginkan.
"Ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan kementerian atau lembaga terkait," ujar Semendawai.
Guna menjalankan program bantuan psikososial, LPSK bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. Selain itu, LPSK membuat nota kesepahaman dengan Kementerian Sosial untuk pemulihan sosial bagi korban kejahatan.
Semendawai menerangkan, program bantuan terhadap korban kejahatan berdasarkan UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan UU 31/2014. Peraturan itu mengatur saksi dan korban bisa mendapatkan perlindungan, bantuan, restitusi dan kompensasi.
[wid]