Kejaksaan hingga kini belum merampungkan kasus dugaan korupsi dalam alih lahan 80 hektare di Medan. Padahal, empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2013 lalu. Ada tersangka yang hingga kini belum diperiksa.
Mereka yakni bekas Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan M Thoriq, bekas Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN Kota Medan Edison, bekas Kepala Dinas Pendapatan Kota Medan Syahrul Harahadap dan Gunawan dari pihak swasta.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Setia Untung Arimuladi mengungkapkan Kejaksaan Agung memonitor kasus yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara ini.
"Dugaan awal kasus tersebut memang terdapat unsur tindak pidana korupsi," katanya.
Kejaksaan, menurut dia, masih perlu meminta keterangan dari berbagai pihak untuk mendalami kasus ini.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Arminsyah dan Direktur Penyidikan Pidsus ketika dikonfirmasi, tak bersedia berkomentar mengenai penuntasan perkara ini.
Kasus ini bermula ketika BPN Kota Medan pada 2011 mengubah lahan kosong di Kelurahan Tanjung Rejo, Kecamatan Medan Sunggal dan Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Selayang menjadi lahan pertanian. Permohonan itu diajukan 12 orang yang mengaku pemilik lahan.
Pilian Tampubolon pemegang Sertipikat Hak Milik (SHM) atas 4.884 seluas 16.920 m2, Sabaruhum Tambunan SHM 4885 seluas 9.028 m2, Aswin SHM 4886 seluas 16.930 m2, Abdi Yanto Hulu SESHM 4887 seluas 19.997 m2, dan Sudarni Br Samosir SH. Padahal, mereka bukanlah warga setempat.
BPN juga menerbitkan SHM atas nama Mainuddin Jaya untuk lahan seluas 9.823 m2, Talisa Telambanua seluas 3.059 m2, Tajuddin seluas 15.638 m2, Johannes Daniel Chan seluas 19.737 m2, Iwan seluas 11.586 m2, Sabar Rusmanto seluas 11.356 m2, dan Eddy Tanoto seluas 8.943 m2.
Kejaksaan menemukan kejangÂgalan dalam alih lahan ini. Sesuai ketentuan, kewenangan memÂberikan hak tanah permukiman atau rumah tempat tinggal di atas 2.000 m2 ada pada kanwil pertaÂnahan dan jika di atas 5.000 m2 merupakan wewenang Kepala Badan Pertanahan Nasional RI.
Alih lahan ini diurus Gunawan. BPN Medan lalu membuat menerbitkan SSPD BPHTB (Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) tanpa ada SPPT Pajak Bumi dan Bangunan. Padahal, bukti setoran pembayaran PBB ini menjadi persyaratan dalam permohonan hak atas tanah.
Kejaksaan mengendus keterliÂbatan oknum di Dinas Pendapaan Daerah (Dispenda) untuk memuÂluskan proses ini. Dispenda tidak melakukan penelitian kebenaran informasi yang tercantum dalam SSPD BPHTB serta kelengkapan dokumen pendukungnya.
Pada 14 September 2012, Kejati Sumut menaikkan status kasus ini ke penyidikan. "Telah ditemukan adanya bukti permuÂlaan yang cukup terjadinya tinÂdak pidana korupsi dalam kasus ini," kata Kasipenkum Kejati Chandra Purnama.
Kejati Sumut telah berulang kali memanggil Thoriq untuk diperiksa. Namun dia tak datang. Belakang diketahui dia juga menjadi tersangka kasus alih lahan yang diusut Kejati Jawa Tengah berdasarkan surat perintah penyidikan nomor 15/N.2/Fd.1/04/2013.
Kejati Sumut meminta bantuan Kejati Jateng untuk menghadirÂkan Thoriq lewat surat bernomor B 103/N.2.5/Fd.1/04/2013 terÂtanggal 26 April 2013. Namun tersangka sakit. Selain itu, Kejati Jateng juga telah melimpahkan berkas Thoriq ke Pengadilan Tipikor Semarang untuk menÂjalani persidangan.
Kilas Balik
Tanah Diserobot, Kirim Surat ke Presiden dan Kapolri
Kepolisian Daerah Sumatera Utara turut mengusut kasus alih lahan 80 hektare di Medan. Penyidikan dilakukan setelah mendapat laporan dari PT Bumi Mansyur Medan (BMP) yang diserobot lahannya.
Hasil uji laboratorium foÂrensik menyimpulkan adanya pemalsuan dokumen yang diÂpakai sejumlah orang untuk mengajukan permohonan alih lahan ke BPN Kota Medan. Alih lahan itu termasuk tanah seluas 20 hektare milik PT BMP.
Dua belas orang yang mengajukan permohonan alih lahan itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Mereka yakni Pilian Tampubolon, Sabaruhum Tambunan, Aswin, Abdi Yanto Hulu, Sudarni Br Samosir SH, Mainuddin Jaya, Talisa Telambanua, Tajuddin, Johannes Daniel Chan, Iwan, Sabar Rusmanto, dan Eddy Tanoto.
Direktur Utama PT BMP, Marthin Sembiring berharap kepolisian bisa segera menunÂtaskan kasus penyerobotan laÂhan perusahaannya. "Kami juga sudah mengirimkan surat keÂpada Presiden RI Joko Widodo memohon penyelesaikan kasus ini," katanya.
Martin mencurigai ada mafia tanah yang memalsukan tanda tangan pihak kelurahan setempat dalam mengajukan permohonan alih lahan. Ia heran BPN bisa meloloskan permohonan dengan dokumen palsu.
"Yang anehnya lagi, mereka dalam waktu seminggu suÂdah memiliki sertifikat melalui proses panitia pemeriksaan tanah Kantor Badan Pertanahan setemÂpat," katanya.
"Muncul sertipikat baru yang diakui milik orang lain yakni Gunawan," katanya. Gunawan telah ditetapkan sebagai terÂsangka oleh kejaksaan dalam kasus korupsi alih lahan ini.
Selain menyerobot lahan PT BMP, sertipikat baru itu juga menguasai 60 hektar lahan miÂlik warga lainnya. Sertipikat itu kemudian dipecah atas nama para tersangka. Yakni Pilian Tampubolon pemegang Sertipikat Hak Milik (SHM) atas 4.884 seluas 16.920 m2, Sabaruhum Tambunan SHM 4885 seluas 9.028 m2, Aswin SHM 4886 seluas 16.930 m2, Abdi Yanto Hulu SESHM 4887 selÂuas 19.997 m2, dan Sudarni Br Samosir SH.
Sertipikat juga diterbitkan untuk Mainuddin Jaya atas lahan seluas 9.823 m2, Talisa Telambanua seluas 3.059 m2, Tajuddin seluas 15.638 m2, Johannes Daniel Chan seluas 19.737 m2, Iwan seluas 11.586 m2, Sabar Rusmanto seluas 11.356 m2, dan Eddy Tanoto seluas 8.943 m2.
Kuasa hukum PT BMP Zakaria Bangun mengatakan pihaknya mengirim surat ke presiden meÂminta keadilan. "Para tersangka masih bebas. Kami mohon keaÂdilan agar kasus ini segera ditunÂtaskan," harapnya.
Selain ke presiden, surat permohonan bernomor surat 014/EXT/BP/VI/2015 terÂtanggal 15 Juni 2015 juga diÂlayangkan ke Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tembusannya kepada Kapolri, Kejagung, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN. ***