TIDAK mudah melahirkan Fikih Kebhinnekaan. Para ulama sekaliber imam maÂzhab pun mencurahkan seÂluruh hidupnya untuk melaÂhirkan karyanya. Itupun mereka menyadari dengan bahasa tawadhu mereka, masih jauh dari kesempurÂnaan. Itulah sebabnya merÂeka menolak mazhabnya menjadi mazhab negÂara. Mazhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi', dan Hambali) menjajadi mazhab rezim negara seteÂlah mereka wafat. Mereka tidak pernah beramÂbisi apalagi bangga jika karyanya dijadikan maÂzhab negara. Mungkin berbeda dengan ulama/ muslim scholar kontemporer yang bangga jika pendapatnya diakomodir oleh rezim negara. Mereka bangga dengan berbagai award.
Untuk melahirkan gagasan besar, monumenÂtal, dan strategis ini maka kini sudah saatnya para pihak untuk duduk bersama membicaraÂkan masalaha ini. Bisa dimulai oleh pemerinÂtah dalam hal ini Kementerian Agama dengan kekuatan UIN, IAIN, STAIN, dan PTAI yang berÂnaung di bawah KOPERTAIS. Bisa juga dimuÂlai oleh MUI yang memiliki kekuatan simpul dari lebih dari 60 Ormas Islam. Bisa juga dimulai oleh ormas-ormas lain seperti ICMI dll, untuk mengajak para pihak untuk membicarakan fikih masa depan Indonesia yang serba rumit. MiniÂmal pangkalan pendaratannya sudah dibuat dan kelak akan dilanjutkan atau disempurnaÂkan oleh generasi baru umat yang akan datang. Mumpung saat ini masih hidup para pelaku seÂjarah pembentuk karakter Indonesia, sebaiknya mereka difasilitasi untuk memberikan potensi intelektual yang mereka miliki sebagai persemÂbahan terakhir bagi bangsanya.
Dengan menyadari betapa berat tugas ini maka memang diperlukan semacam konsorÂsiom yang melibatkan para pihak untuk meruÂmuskan Fikih Kebhinnekaan ini. Boleh jadi angÂgota timnya bukan hanya ahli fikih tetapi juga dari kelompok disiplin ilmu yang relevan dilibatÂkan dalam upaya melahirkan kitan fikih yang lebih konperhensif. Kalau perlu di dalam konsorÂsium dilibatkan juga kelompok agama lain, unÂtuk mengikuti secara internal (from within) bahÂwa fikih itu sesungguhnya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaannya. Jika kita berÂbicara manusia dan kemanusiaan di situ tidak ada warna menonjor, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qyr'an: Walaqad karramna bani Adam (Allah memuliakan anak cucu Adam). Siapapun merasa anak-cucu Adam, apapun jenis kelaÂmun, etnik, warna kulit, kewarganegaraan, terÂmasuk agamanya, wajib hukumnya untuk dimÂuliakan. Baik di masa hidup maupun setelah mereka wafat.
Tanpa konsorsium rasanya sulit diwujudkan. Jika Muhammadiyah atau NU yang mendrfatÂkannya belum apa-apa sudah saling menolak. Tetapi jika konsorsium tentu pendekatannya lebih obyektif. Kalau perlu yang terlibat di daÂlam konsorsium itu bukan saja lintas mazhab, kepercayaan, dan aliran, instansi, tetapi juga lintas generasi. Kehadiran generasi muda yang segar dan mungkin mazhab dan aliran belum tersruktur di alam bawah sadar mereka perlu juga dilibatkan.
Mungkin gagasan ini bisa dianggap terlalu utops atau mungkin absud tetapi paling tidak penulis ingin mengingatkan kita semua bahwa konsorsium ideal di masa depan tidak akan seÂbaik jika konsorsium itu dibuat sekarang, karÂena sekalilagi, masih hidup para senior dan orang tua kita yang ketulusan dan keikhlasanÂnya tidak diragukan.
Tidak mudah melahirkan Fikih Kebhinnekaan. Para ulama sekaliber imam maÂzhab pun mencurahkan seÂluruh hidupnya untuk melaÂhirkan karyanya. Itupun mereka menyadari dengan bahasa tawadhu mereka, masih jauh dari kesempurÂnaan. Itulah sebabnya merÂeka menolak mazhabnya menjadi mazhab negÂara. Mazhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi', dan Hambali) menjajadi mazhab rezim negara seteÂlah mereka wafat. Mereka tidak pernah beramÂbisi apalagi bangga jika karyanya dijadikan maÂzhab negara. Mungkin berbeda dengan ulama/ muslim scholar kontemporer yang bangga jika pendapatnya diakomodir oleh rezim negara. Mereka bangga dengan berbagai award.
Untuk melahirkan gagasan besar, monumenÂtal, dan strategis ini maka kini sudah saatnya para pihak untuk duduk bersama membicaraÂkan masalaha ini. Bisa dimulai oleh pemerinÂtah dalam hal ini Kementerian Agama dengan kekuatan UIN, IAIN, STAIN, dan PTAI yang berÂnaung di bawah KOPERTAIS. Bisa juga dimuÂlai oleh MUI yang memiliki kekuatan simpul dari lebih dari 60 Ormas Islam. Bisa juga dimulai oleh ormas-ormas lain seperti ICMI dll, untuk mengajak para pihak untuk membicarakan fikih masa depan Indonesia yang serba rumit. MiniÂmal pangkalan pendaratannya sudah dibuat dan kelak akan dilanjutkan atau disempurnaÂkan oleh generasi baru umat yang akan datang. Mumpung saat ini masih hidup para pelaku seÂjarah pembentuk karakter Indonesia, sebaiknya mereka difasilitasi untuk memberikan potensi intelektual yang mereka miliki sebagai persemÂbahan terakhir bagi bangsanya.
Dengan menyadari betapa berat tugas ini maka memang diperlukan semacam konsorÂsiom yang melibatkan para pihak untuk meruÂmuskan Fikih Kebhinnekaan ini. Boleh jadi angÂgota timnya bukan hanya ahli fikih tetapi juga dari kelompok disiplin ilmu yang relevan dilibatÂkan dalam upaya melahirkan kitan fikih yang lebih konperhensif. Kalau perlu di dalam konsorÂsium dilibatkan juga kelompok agama lain, unÂtuk mengikuti secara internal (from within) bahÂwa fikih itu sesungguhnya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaannya. Jika kita berÂbicara manusia dan kemanusiaan di situ tidak ada warna menonjor, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qyr'an: Walaqad karramna bani Adam (Allah memuliakan anak cucu Adam). Siapapun merasa anak-cucu Adam, apapun jenis kelaÂmun, etnik, warna kulit, kewarganegaraan, terÂmasuk agamanya, wajib hukumnya untuk dimÂuliakan. Baik di masa hidup maupun setelah mereka wafat.
Tanpa konsorsium rasanya sulit diwujudkan. Jika Muhammadiyah atau NU yang mendrfatÂkannya belum apa-apa sudah saling menolak. Tetapi jika konsorsium tentu pendekatannya lebih obyektif. Kalau perlu yang terlibat di daÂlam konsorsium itu bukan saja lintas mazhab, kepercayaan, dan aliran, instansi, tetapi juga lintas generasi. Kehadiran generasi muda yang segar dan mungkin mazhab dan aliran belum tersruktur di alam bawah sadar mereka perlu juga dilibatkan.
Mungkin gagasan ini bisa dianggap terlalu utops atau mungkin absud tetapi paling tidak penulis ingin mengingatkan kita semua bahwa konsorsium ideal di masa depan tidak akan seÂbaik jika konsorsium itu dibuat sekarang, karÂena sekalilagi, masih hidup para senior dan orang tua kita yang ketulusan dan keikhlasanÂnya tidak diragukan. ***