DALAM konferensi pers hasil rapat koordinasi terbatas, pada 21 September 2015, tentang pembahasan Blok Masela yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli, disimpulkan bahwa perlu telaah dan analisis yang lebih komprehensif terkait pengembangan Floating LNG Plant atau on shore LNG Plant dengan mempertimbangkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan dampak ekonomi terhadap masyarakat sekitar.
Catatan lainnya terkait pengembangan On Shore LNG Plant adalah bahwa perlu investasi instalasi pipa sejauh 600 km, namun dengan tambahan biaya investasi ini akan didapat dampak ekonomi yang lebih besar terhadap pengembangan Kepulauan Aru serta potensi TKDN yang relatif tinggi.
Kesimpulan ini kemudian memunculkan bantahan dari Kepala SKK MIGAS, Amien Sunaryadi, seperti yang dikutip dari situs media nasional. Menurut Amien, berdasarkan kajian SKK Migas, metode produksi dengan FLNG ini hanya membutuhkan biaya US$ 14,8 miliar. Rinciannya, pengembangan sumur membutuhkan biaya US$ 1,5 miliar, sistem produksi bawah laut US$ 1,4 miliar, pembuatan kapal dan fasilitas FLNG sebesar US$ 11,5 miliar, dan biaya logistik US$ 0,4 miliar.
Sedangkan jika produksi berada di wilayah lepas pantai, investasinya bisa mencapai US$ 19,3 miliar. Meski tak perlu membuat kapal, biaya membengkak karena harus membangun kilang LNG senilai US$ 9,9 miliar; pemasangan pipa US$ 1,2 miliar; serta kapal penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan sebesar US$ 4,8 miliar. Dengan skema FLNG ini, biaya operasional per tahun lebih murah, hanya sekitar US$ 304 juta. Sebaliknya, jika operasional berlangsung di darat, biaya mencapai US$ 356 juta. Kajian ini, kata Amien, sudah dilakukan antara SKK Migas dan Inpex sejak September tahun lalu. Persetujuan SKK Migas keluar bersamaan dengan rekomendasi penambahan kapasitas kilang gas LNG dari 2,5 juta metrik ton per tahun menjadi 7,5 juta metrik ton per tahun. Produksi diperkirakan mulai 2024.
Penjelasan Kepala SKK Migas ini terkesan mengarahkan pilihan pada teknologi FLNG Plant dengan data yang terlalu sumir dan menimbulkan banyak pertanyaan, seperti;
pertama, fasilitas lain untuk Onshore-LNG (kapal penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan sebesar US$ 4,8 miliar) terlalu mahal. Perlu detail breakdow-nya apakah pengolahan ini hanya separator gas dan kondensat atau fasilitas lainnya, sebab kalau untuk Floating Production, Storage dan Off Loading (FPSO) sebagai gambaran VLCC kapasitas 2 juta barel diperkirakan hanya USD 120 juta dan mengingat fungsinya hanya sebagai storage bisa dipergunakan kapal bekas yang harganya berkisar USD 25-30 juta.
Kedua, komponen LNG Plant untuk Onshore nilainya tidak masuk akal, sebagai perbandingan Proyek LNG Tangguh Train 1 dengan kapasitas 3,8 MTPA nilainya USD 2,74 miliar, untuk Blok Masela dengan kapasitas 7,5 MTPA tentunya kisarannya tidak lebih dua kali yaitu USD 5,44 miliar jika dikonversi ke harga sekarang sekitar USD 6 miliar-an. Sedangkan untuk Floating LNG untuk lapangan Prelude dekat dengan lapangan Masela (Shell Australia dan INPEX) yang diharapkan beroperasi 2017 dengan kapasitas kurang dari setengah rencana Blok Masela diperkirakan harganya sekitar USD 10,8 miliar. Artinya untuk kapasitas dua kali Prelude paling tidak dibutuhkan USD 20 juta. Secara logika sangat tidak mungkin konstruksi dilaut dan di darat nilainya hanya selisih USD 1,6 miliar seperti keterangan Kepala SKK Migas.
Tiga, keanehan lainnya, disebutkan bahwa biaya produksi per tahun lebih murah yang offshore dari pada onshore. Secara operasi tingkat kesulitan di laut lepas tentu lebih kompleks. Belum lagi d itengah gelombang tinggi di laut lepas tentu banyak permasalahan yang saat ini belum terlihat akan muncul, bagaimanapun FLNG secara teknologi belum teruji. Keempat, analisa TKDN dan value added Aru menjadi Kawasan Petrochemical Industry diabaikan. Kelima, dengan adanya kegiatan turunan dari kilang Onshore, sudah dapat dipastikan akan menyerap tenaga kerja lokal yang sangat banyak.
Strategi Kebijakan Energi NasionalSudah menjadi pengetahuan umum bahwa kita seringkali memperlakukan sumber daya alam semata-mata sebagai komoditi. Kita menggunakan sumber energi mahal (minyak) untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, sedangkan sumber energi murah (batubara dan gas) kita ekspor untuk mengejar devisa. Inilah yang sering kita kenal sebagai dikotomi dalam kebijakan energi kita, ekspor (raw) energi versus penggunaan energi untuk industri domestik .
Isu pokok lainnya adalah produksi (minyak dan gas) yang terus menurun, konsumsi energi yang terus naik, efisiensi rendah dan pola pengadaan yang kompleks. (Ariadi, "Jalan Kemandirian Energi Indonesia", 2013). Perubahan paradigma ini sudah menjadi keniscayaan. Paradigma bahwa Indonesia negara eksportir migas menjadi negara komsumen energi, yang akan membawa kebijakan yang berorientasi terhadap utilitas energi untuk pengembangan industri dalam negeri.
Strategi kebijakan energi nasional hendaknya diarahkan menjadi; satu, paradigma perolehan devisa dari ekspor sumber energi (batubara, minyak dan gas) harus diubah menjadi perolehan devisa dari produk akhir. Dua, pengutamaan hasil energi dari bumi Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Tiga, penggunaan keragaman sumber energi atau energi terbarukan di berbagai kawasan secara kreatif
Sesat Pikir Kebijakan Blok MaselaKesalahan pelaksanaan di lapangan dalam pemanfaatan energi ini tidak terlepas dari banyaknya kepentingan individual yang bermain-main pada level kebijakan. Kasus Blok Masela semakin mempertegas banyaknya kepentingan individu dan Multi National Corporation (MNC) yang mengalahkan kepentingan nasional.
Pemilihan Floating LNG Plant yang diusulkan Kementerian ESDM dan SKK Migas merupakan contoh nyata belum berpihaknya para pengambil keputusan di republik ini pada pemanfaatan sebesar-besarnya sumber daya alam kita untuk kesejahteraan sesuai dengan Nawacita dan juga merupakan amanat UUD 1945, sebagai sumber hukum tertinggi.
Analisa keuntungan dan kerugian yang semata-mata bersandarkan pada biaya jelas sesat pikir yang dapat membahayakan kelanjutan sebagai bangsa berdaulat. Kebijakan yang diambil dengan sekedar mengamini proposal Plan of Development (PoD) dari perusahan-perusahaan MNC semata, merupakan pengkhianatan nyata terhadap amanat pasal 33 UUD 1945.
Diperlukan kebijakan tegas dari pemimpin untuk mengawal kebijakan energi yang berpihak pada kepentingan nasional. Kebijakan energi ini hendaknya mengarah pada kemandirian energi nasional. Dengan pengawalan serius oleh pemerintahan baru, melalui pembenahan infrastruktur, pengaturan harga, pengawalan distribusi, dapat mewujudkan keadilan dan kemandirian energi bagi masyarakat menuju negara "Daulat Energi".
Lukman Hakim
Kompartemen Kebijakan Publik Komunitas Alumni Perguruan Tinggi,
Pengajar Kebijakan Publik