Budayawan Mohammad Sobary mengecam para wakil rakyat di DPR yang mempersoalkan kretek sebagai warisan budaya.
Seperti diketahui, pasal 37 RUU Kebudayaan menyebutkan adanya perlindungan kretek sebagai warisan budaya. Sejumlah politisi DPR, terutama dari Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional mengecam hal ini. Padahal RUU itu sendiri merupakan inisiatif DPR. Sobary menilai, penolakan itu menunjukkan wakil rakyat itu tak paham kebudayaan.
"Bagaimana paham kebudayaan kalua mereka tidak mau tahu terhadap persoalan rakyat yang terinjak-injak," kata Sobary di Jakarta.
Ia mengingatkan, kretek bukan sekadar rokok. Mantan wartawan ini lantas mengutip Mark Hanusz, penulis buku
Kretek:The Culture and Heritage of Indinesia Clove Cigarettes. "Tulis Mark, kretek itu bukan rokok, bukan pula cerutu. Meski sama-sama berbahan baku tembakau, namun kretek juga mengandung bahan baku lain yang tidak dimiliki oleh rokok jenis manapun yakni cengkeh," terangnya.
Sekedar info, bunga cengkeh sudah sejak lama jadi komoditas perdagangan penting. Cengkeh pula yang membuat Nusantara diincar dan dikuasai penjajah. Sebagai tanaman endemik bernilai ekonomi tinggi dan menjadi bagian hidup mashyarakat, cengkeh turut membentuk bangunan budaya Indonesia.
Sobary mengingatkan, ada kelompok tertentu di masyarakat yang merasa paling tahu tentang persoalan rokok. Mereka ini begitu menggebu-gebu ingin mengubah hidup ratusan ribu petani tembakau yang terlibat dalam industri kretek.
"Mereka ini sok tahu. Padahal mereka yang tidak pernah mencium bau tanah. Tak pernah ikut bergelut dengan masalah keseharian petani tapi dengan gampang mengatakan, petani tembakau bisa beralih ke produk pertanian lain," kecamnya.
Tak hanya itu, lanjut dia, ada kepentingan asing yang kasat mata untuk menelan bisnis kretek dalam negeri yang besar. Berbeda dengan para penjajah yang langsung mencaplok lahan dan menguasainya. Kepentingan asing ini, kata dia, mempengaruhi aturan untuk dibuat pemerintah berdasarkan kepentingan mereka
.[wid]