Sidang kasus suap Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri dan istrinya, Suzana Budi Antoni kepada Akil Mochtar selaku hakim MK, mulai digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin.
Dalam sidang tersebut, suaÂmi-istri itu didakwa menyuap Akil sebesar Rp 10 miliar dan 500.000 dolar AS. "Pemberian itu untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kabupaten Empat Lawang," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Rini Triningsih.
Selain itu, jaksa menjelaskan bahwa Budi bersama istrinya selama Juni sampai Juli 2013, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu pada 2013, menyuap Akil melalui Muhtar Ependy. Muhtar adalah kawan Akil.
Jaksa memaparkan, uang itu diberikan guna memanipulasi persidangan sengketa Pilkada Empat Lawang yang akan berguÂlir di MK. Saat itu, Budi Antoni dalam posisi kalah di Pilkada Empat Lawang 2013.
Berdasarkan hasil penghitunÂgan suara dalam pilkada tersebut, KPU Kabupaten Empat Lawang menetapkan Joncik Muhammad dan Ali Halimi sebagai pasangan calon terpilih bupati dan wakil bupati Empat Lawang periode 2013-2018.
"Terhadap penetapan hasil Pilkada Kabupaten Empat Lawang tersebut, terdakwa selaku bupati incumbent tidak meneriÂma hasilnya," ucap JPU Rini.
Setelah itu, sambung jaksa, Budi dan istri pergi ke Jakarta untuk berkonsultasi dengan pengacara. Lalu diputuskan, Budi akan mengajukan gugatan ke MK.
Setelah sidang pertama, terdakwa dihubungi Muhtar Ependy yang mengaku sebagai konsultan pilkada dan mempuÂnyai hubungan dekat dengan Akil Mochtar. "Selanjutnya, pada 26 Juni 2013, terdakwa mengadakan pertemuan dengan Muhtar Ependy di Food Court Mall Kelapa Gading Jakarta," tandas Rini.
Kemudian, tutur jaksa, pada akhir Juni 2013, sebelum sidang pembacaan putusan sela, Muhtar dihubungi Akil yang menanÂyakan imbalan dari terdakwa. Permintaan Akil Mochtar terseÂbut kemudian disampaikan keÂpada terdakwa, bahwa Akil meminta 10 mpek-mpek.
"Yang maksudnya adalah Rp 10 miliar," tandas Rini.
Selanjutnya, Muhtar meminta agar Budi Antoni menyetorkan uang itu ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalbar cabang Jakarta. Budi lalu meminta sang istri, Suzana untuk menyetorkan uang permintaan Akil.
Beberapa hari kemudian, saat proses sidang berjalan, Akil kembali meminta Rp 5 miliar melalui Muhtar. Budi Antoni pun menyetujui permintaan Akil dan kembali meminta istrinya untuk mengantarkan uang sebesar 500 ribu dolar AS ke BPD Kalbar cabang Jakarta.
"Pada 31 Juli 2013, panel hakim MK yang diketuai Akil Mochtar memutus perkara perÂmohonan keberatan atas haÂsil Pilkada Kabupaten Empat Lawang sesuai permohonan yang diajukan terdakwa," tandasnya.
Selain didakwa menyuap Akil, Budi dan istrinya juga didakwa memberikan keterangan palsu ketika diperiksa sebagai sakÂsi dalam sidang korupsi dan pencucian uang terdakwa Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Atas tindakannya, Budi Antoni dan istri diancam pidana dalam Pasal 13 dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.
KPK menetapkan Budi dan istri sebagai tersangka pada Juli 2015. Penetapan tersangka tersebut, didapatkan dari hasil pengembangan kasus suap Akil Mochtar.
Kilas Balik
Budi Antoni dan Istri Mengaku Tidak Pernah Setor Duit ke Akil
Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan istri, Suzanna, kompak mengklaim tak pernah menyetor ke Akil Mochtar untuk memenangkan gugatannya di Mahkamah Konstitusi.
Budi mengaku tak pernah ditelepon Muhtar Effendy, yang disebut-sebut sebagai makelar suap Akil, untuk menyiapkan Rp 10 miliar dan 500 ribu dolar AS buat Akil.
Senada dengan suaminya, Suzanna kukuh mengaku tak pernah mengantar duit itu ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalimantan Barat cabang Jakarta.
"Pernah lapor atau menceriÂtakan kekalahan Anda dalam proses pilkada kepada Muhtar Effendy?" tanya jaksa KPK Pulung Rinandoro kepada Budi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 24 Maret 2014. "Tak pernah," jawab Budi.
"Pernah menyuruh istri ke BPD Kalbar cabang Jakarta?" tanya Pulung lagi. "Tak pernah," sergah Budi.
Adapun istri Budi, Suzanna yang ditanyai hal serupa oleh jaksa Ely Kusumastuty, juga menjawab tak pernah disuruh suaminya pergi ke BPD Kalbar Cabang Jakarta pada Juli 2013. Dia juga mengaku tak kenal dengan Iwan Sutaryadi, Wakil Kepala Cabang bank itu, yang di surat dakwaan Akil menerima uang dari Suzanna.
Atas kesaksian dua saksi itu, hakim anggota Gosen Butarbutar lantas menanyai jaksa, apakah mereka menyimpan rekaman CCTV BPD Kalbar Cabang Jakarta pada 8 Juli 2013. Jaksa Pulung mengaku punya, tetapi rekaÂman itu belum dipilah-pilah.
Menurut Pulung usai sidang, rekaman itu akan diputar pada sidang saat mendengar kesakÂsian Muhtar Effendy. "Biarkan dulu mereka bersaksi. Nanti rekamannya kami sodorkan," kata Pulung.
Bantahan pasutri tersebut, berbeda dengan pengakuan Iwan Sutaryadi bahwa Muhtar Effendi, orang yang disebut sebagai tangankanan Akil Mochtar, pernah menitipkan duit puluhan miliar rupiah kepada BPD Kalbar lewat dirinya. Penitipan itu terjadi pada Mei dan Juli 2013.
"Rupiah sekitar Rp 12 miliar, dan dolar Amerika Serikat nilainya sekitar Rp 3 miliar," kata Iwan saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 24 Maret 2014.
Sepengetahuan Iwan, duit itu dititipkan Muhtar pada 16 Mei 2013. Uang itu tak langsung disetor ke rekening Muhtar di BPD Kalbar, karena saat itu suÂdah lewat jam kantor. Keesokan harinya, Iwan mendapat perintah dari Muhtar untuk tak menyetor uang itu dulu, padahal Muhtar sudah membuka rekening di BPD Kalbar sejak 10 Mei 2013.
"Pak Muhtar sampaikan ke saya, uangnya jangan disetor ke rekening dulu," kata Iwan.
Menurut Iwan, penitipan itu bukan yang terakhir. Pada 8 Juli 2013, kata Iwan, Muhtar kembali menitipkan uang sekitar Rp 10 miliar. Namun saat itu bukan Muhtar yang membawa uangnya, melainkan seorang lelaki dan seorang perempuan yang sebelumnya tak pernah dia kenal. "Setelah itu ada penitipan kembali. Tapi dalam bentuk US dolar. Waktu itu 150 ribu dan 350 ribu dolar AS," kata Iwan.
Dalam surat dakwaan Akil disebutkan, pada suatu hari di bulan Juli 2013, Budi menyuruh Suzanna mengantar duit sekitar Rp 10 miliar ke BPD Kalbar cabang Jakarta bersama Muhtar. Duit itu lantas diterima oleh Iwan, bersama dua anak buahnya, Risna dan Rika, untuk disimpan di brankas bank.
Beberapa hari kemudian, Suzanna dan Muhtar kembali menitipkan 500 ribu dolar AS keIwan. Kepada penyidik, Iwan, Risna, dan Rika mengakui Muhtar memang pernah meniÂtipkan duit itu, yang totalnya Rp 15 miliar. Setelah ditunjukÂkan sebuah potret perempuan, Rika, Risna, dan Iwan yakin bahwa perempuan yang berÂsama Muhtar itu tak lain adalah Suzanna.
Akil didakwa menerima Rp 15 miliar melalui Muhtar untuk memenangkan gugatan Budi.
Berharap Akan Muncul Efek JeraTrimedya Panjaitan, Anggota Komisi III DPR
Politisi PDIP Trimedya Panjaitan mengatakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus jeli dalam melihat unsur pidana yang diduga diÂlakukan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan istrinya, Suzzana Budi Antoni.
Menurutnya, kejelian itu diperlukan guna menyusun tuntutan secara proporsional. Bahkan, dia berharap agar huÂkuman maksimal dapat diberiÂkan kepada kepala daerah jika terbukti memenangkan pilkada dengan cara suap.
"JPU harus bisa membuktiÂkan dugaan suapnya. Jika terÂbukti, maka berikan hukuman maksimal agar setiap kepala daerah yang menyuap menjadi takut," sebut Anggota Komisi IIIini.
Kata dia, semua fakta persidangan yang mengarah kepada dugaan, pengurusan sengketa pilkada di MK ada korupsinya, harus dirumuskan dalam surat tuntutan secara terstruktur.
"Tujuannya, agar hakim bisa menjatuhkan vonis yang setimpal. Sehingga, kasus ini pun bisa terus dikembangkan dan tidak berhenti pada Akil Mochtar," imbuhnya.
Ditambahkan pria yang akrab disapa Trimed ini, banyaknya suami istri yang terlibat suap menjadi pertanda bahwa koÂrupsi tidak hanya menjamah lingkungan legistalif, eksekutif dan yudikatif. "Tapi sudah masuk ranah rumah tangga."
Hal itu otomatis membuat iklim praktik korupsi menjadi seÂmakin parah. Lantaran suami isÂtri yang menjabat sebagai kepala daerah dan anggota DPRD, bekerja sama untuk korupsi.
"Oleh sebab itu harus ada hukuman maksimal, agar efek jeranya terlihat. Jangan hukuman yang berat dijatuhkan kepada masyarakat kelas bawah saja."
Kasus Akil Menjadi Ajang Introspeksi DiriBoyamin Saiman, Koordinator MAKIKoordinator LSM Masyarakat Antikorupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, sudah melihat indikasi suap dan kejanggalan di Mahkamah Konstitusi (MK) sejak lembaga itu mulai menangani sengketa pemilihan kepala daerah.
"Sejak itu ada semacam virus suap yang mulai mereÂbak, walaupun secara kategori belum sampai stadium empat," kata Boyamin.
Boyamin menegaskan, seÂharusnya operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Ketua MK, menjadi ajang introspeksi diri. Pimpinan MK, kata dia, jangan resisten terhadap kritik, berani melakuÂkan audit internal, serta memÂberikan sanksi tegas terhadap pihak yang terbukti bersalah.
Kendati demikian, Boyamin menambahkan, publik harus tetap menerapkan azas praduga tak bersalah sebelum ada putuÂsan pengadilan.
Namun, jika ada indikasi korupsi di dalam sengketa Pilkada Empat Lawang, Boyamin meminta JPU untuk mengusutÂnya sampai tuntas. Bahkan, jika ada dugaan korupsi di daerah lain juga perlu dikembangkan. Termasuk, apakah ada peran hakim MK lainnya.
"Pengusutan kasus ini harus secara tuntas, sebab tak mungÂkin bekerja sendiri," katanya.
Diingatkan, KPK agar terus mengungkap pihak lain yang terlibat kasus suap sengketa pilkada di MK. Kata Boyamin, KPK harus bisa mengungkap siapa saja pemberi suap keÂpada Akil.
Lebih lanjut, Boyamin berÂharap, dengan diusutnya kasus sengketa pilkada, KPK bisa membongkar apakah ada maÂfia peradilan di MK. Apalagi, sejumlah sengketa pilkada yang ditangani Akil diduga bermasalah. "Harus sampai tuntas, karena itu sangat merugikan masyarakat di daerah tersebut," tutupnya. ***