KPK telah merampungkan penyidikan kasus suap sengketa Pilkada Lebak, Banten, untuk tersangka bekas Calon Bupati dan Wakil Bupati Lebak, Amir Hamzah dan Kasmin. Berkas perkara dua tersangka ini, segera dilimpahkan ke tahap dua, alias penuntutan.
"Per hari ini, Pak Amir dan Pak Kasmin berkasnya sudah P21. Berarti penahanan sudah dilimpahkan ke jaksa penuntut dan persidangan kemungkiÂnan besar di Jakarta dalam 20 hari ke depan," kata kuasa huÂkum Amir dan Kasmin, Posma Sabam Manahan di Gedung KPK, kemarin.
Menurut Posma, dua kliennya itu juga sudah menandatangani berita acara pelimpahan berkas.
Posma berharap, saksi-saksi yang nantinya dihadirkan dapat menyampaikan keterangan seÂcara jujur dan tidak memberatÂkan kliennya.
"Siapa berbuat apa jadi jelas," ujarnya.
Posma lantas memaparkan, beberapa pihak yang sudah dijeÂbloskan terkait kasus ini, yakni bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, bekas Ketua MK Akil Mochtar dan adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, bakal diminta memÂberikan kesaksian di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Lebih lanjut, Posma berharap majelis hakim yang nanti meÂnyidangkan kasus ini, dapat berÂsikap objektif. Terlebih, menuÂrutnya, berdasarkan fakta sidang terhadap Atut, Akil dan Wawan, kedua kliennya itu disebut hanya ikut serta.
"Jelas semua, siapa berbuat apa. Ini penyertaan. Tuduhannya ikut serta, Pasal 55 ayat 1 KUHP. Kalau penyertaan, kita lihat di mana peran penyertaannya. Kita harap obyektif," belanya.
Sementara itu, Kasmin yang keluar dari ruang penyidikan diÂdampingi Posma, enggan bicara banyak soal perkaranya yang akan masuk tahap persidangan. Pria yang telah mengenakan seÂragam tahanan oranye ini, hanya mengatakan dirinya sehat selama ditahan. Kemudian, dia bergegas masuk mobil tahanan.
Pelimpahan berkas tersebut dibenarkan Pelaksana Harian (Plh) Biro Humas KPK Yuyuk Andriarti Iskak. "Selanjutnya jaksa penuntut umum akan melimpahkan perkara ini ke Pengadilan Tipikor Jakarta," katanya.
Perkara ini merupakan pengembangan penyidikan kasus suap sengketa pilkada yang menÂjerat Akil Mochtar. Dalam kasus ini, KPK juga menjerat Atut dan Wawan sebagai tersangka. Wawan dan Atut didakwa memÂberikan uang Rp 1 miliar keÂpada Ketua MK saat itu, Akil Mochtar, melalui pengacara Susi Tur Andayani.
Uang itu diberikan untuk meÂmengaruhi Akil dalam memutus permohonan keberatan hasil Pilkada Lebak yang diajukan pasangan Calon Bupati Lebak Amir Hamzah dan Kasmin.
Dalam Pilkada Lebak, Amir-Kasmin kalah suara melawan pasangan Iti Oktavia Jayabaya-Ade Sumardi. Atas kekalahan itu, Amir mengajukan keberatan hasil Pilkada Lebak ke MK. Adapun Susi merupakan kuasa hukum Amir-Kasmin saat itu.
Dalam dakwaan KPK terhÂadap Wawan disebutkan, Wawan diminta Atut untuk menyediakan dana Rp 3 miliar sesuai permintÂaan Akil. Namun, Wawan hanya bersedia memberikan Rp 1 milÂiar. Susi kemudian mendatangi Gedung MK di Jakarta, setelah menerima uang dari Wawan melalui staf Wawan bernama Ahmad Farid Asyari.
Setelah itu, sidang pleno MK memutuskan membatalkan keputusan KPU Lebak tentang hasil penghitungan perolehan suara Bupati dan Wakil Bupati Lebak, dan memerintahkan KPU Lebak melaksanakan pemungÂutan suara ulang.
Atas keputusan itu, Amir menghubungi Atut dan mengucapkan terimakasih. Seusai pembacaan putusan, Susi menghubungi Akil untuk menyerahÂkan uang. Namun, saat itu Akil mengatakan masih menjalani sidang untuk sengketa Pilkada Jawa Timur.
Susi akhirnya membawa kemÂbali uang tersebut dan menyimÂpannya di rumah orangtuanya di Jakarta. Belum sempat uang itu diserahkan kepada Akil, Susi keburu dibekuk tim penyelidik KPK.
Kilas Balik
Hasil dari Pengembangan Perkara Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah
KPK menetapkan bekas Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Lebak, Amir Hamzah (AH) dan Kasmin (K) sebagai tersangka. Mereka diduga menyuap untuk memenangi sengketa Pilkada Kabupaten Lebak di Mahkamah Konstitusi (MK).
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, status AH dan K ditÂingkatkan menjadi tersangka pada 22 September 2014. Penyidikan tersebut merupakan pengemÂbangan dari perkara sebelumnya yang melibatkan bekas Ketua MK Akil Mochtar, Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut Chosiyah, dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
"Setelah KPK melakukan pengembangan perkara, penyÂidik menemukan bukti permuÂlaan yang cukup, yang kemudian disimpulkan telah terjadi dugaan korupsi dengan tersangka AH dan K," kata Johan, Kamis (25/9/2014).
Selaku Calon Bupati dan Wakil Bupati Lebak yang mengajukan permohonan sengketa Pilkada ke MK, Amir dan Kasmin ditetapÂkan KPK sebagai tersangka pemberi suap.
Apabila mengacu rumusan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor, Amir dan Kasmin diduga memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud unÂtuk mempengaruhi putusan. Atas perbuatan itu, keduanya diancam pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta.
Jika mengacu rumusan Pasal 13, Amir dan Kasmin diduga memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri. Ancaman pidana maksimal dalam pasal ini adalah tiga tahun penjara dan denda Rp 150 juta.
Menurut Johan, perkara ini tidak akan berhenti sampai pada penetapan Amir dan Kasmin sebagai tersangka. Penyidik masih melakukan pengembangan. Sepanjang ditemukan dua alat bukti permulaan yang cukup, tidak tertutup kemungkinan ada tersangka lain.
Di putusan hakim kasus terpiÂdana Atut, Wawan serta advokat Susi Tur Handayani, majelis hakim sudah menyebut peranan Amir dan Kasmin. Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Lebak ini, merupakan pemoÂhon sengketa Pilkada Lebak. Keduanya pernah melakukan perÂtemuan dengan Atut dan Wawan untuk membicarakan soal penanganan sengketa Pilkada Lebak di MK yang berujung suap ke Akil Mochtar, Ketua MK.
Majelis hakim bahkan menyebut Amir menunjuk Susi sebagai kuasa hukumnya, karena Susi diketahui memiliki kedekatan dengan Akil selaku hakim MK maupun Ketua Majelis Panel yang memeriksa perkara sengketa Pilkada Lebak. Amir juga mengetahui adanya permintaan uang sebesar Rp 3 miliar dari Akil melalui Susi.
Mengingat tidak memiliki uang sebesar itu, Amir disarankan Susi meminta dukungan kepada Atut. Setelah itu, Amir, Kasmin, Susi, dan Wawan yang merupakan adik Atut, melakukan pertemuan untuk membicarakan pengurusan sengketa Pilkada Lebak. Wawan yang awalnya menolak, akhirnya bersedia membantu dana Rp 1 miliar.
Namun, usai pembacaan putusan, Wawan mengatakan tidak ada niatan untuk membantu pengurusan perkara Amir-Kasmin di MK. Apalagi, Amir danKasmin bukan siapa-siapa Wawan. Ia menganggap pihak yang memiliki inisiatif dan kepentingan adalah Amir dan Susi. Ia juga menilai bantuan itu diminta secara paksa.
Pengadilan Daerah Belum Tentu Lebih Baik Muzakkir, Dosen UII
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Muzakkir menilai, kasus suap ini merupakan buntut dari lemahnya lembaga penegak demokrasi. Terutama lemahnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Dia pun curiga, persoalan yang berkaitan dengan sengÂketa pemilihan kepala daerah, terindikasi berhubungan dengan politik uang.
"Kasus MK itu ujung atau ekor dari lemahnya lembaga demokrasi kita. Bersumber dari lemahnya KPUD dan politik uang," sebutnya.
Muzakkir menilai, pilkada menjadi ajang pertaruhan uang bagi pasangan calon untuk maju memimpin daerahnya masing-masing.
"Pilkada kita harus memÂpertaruhkan uang, dan dengan segala cara harus mengembaÂlikan uangnya."
Kendati ada kasus suap di tuÂbuh MK soal sengketa pilkada, Muzakkir menilai, penanganan sengketa pilkada masih lebih baik ditangani MK ketimbang diserahkan kepada pengadilan umum di daerah.
Pasalnya, apabila sengketa pilkada diserahkan ke pengaÂdilan masing-masing daerah, maka akan lebih sulit mengaÂwasinya. Soalnya, peradilan sengketa pilkada akan digelar di berbagai tempat terpisah.
Dia pun khawatir penyeleÂsaian hasil pemilihan kepala daerah oleh pengadilan umÂum justru akan menimbulkan maraknya suap.
"Sengketa pilkada sebeÂnarnya adalah sengketa politik, apabila diserahkan ke daerah akan menimbulkan maraknya transaksi tawar menawar," bebernya.
Dia pun menilai, MK di bawah pimpinan baru akan siap menghadapi pilkada serenÂtak yang rencananya digelar pada 9 Desember nanti. Sebab, penyelesaian sengketa pilkada serentak akan lebih mudah dibanding pemilu legislatif.
"MK sudah cukup siap dalam menangani kasus-kasus pilkada serentak nanti, karena penyelesaiannya akan lebih mudah dibanding pemilu legisÂlatif lalu," menurutnya.
Minta JPU Jeli Melihat Fakta SidangRuhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi IIII DPR Ruhut Sitompul meminta jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK jeli dalam mengungkap kasus suap sengketa pemiliÂhan kepala daerah (pilkada) di wilayah lain.
Politisi Partai Demokrat ini menyebut, kejelian JPU sangat diperlukan dalam menggali fakta. Dengan begitu, katanya, bisa ditemukan adanya dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus tersebut.
Bahkan, menurutnya, tidak tertutup kemungkinan ada calon kepala daerah lain yang ikut bermain dengan Akil Mochtar selaku hakim MK.
"Kalau JPU jeli, maka akan terlihat siapa lagi yang diÂduga terlibat, karena sengketa pilkada itu diduga tidak hanya terjadi di Banten," sebutnya.
Oleh karena itu, dia meminta KPK mengusut, apakah ada campur tangan Akil dalam sengketa pilkada lain. Bahkan, tamÂbahnya, KPK perlu mengusut, apakah ada hakim MK lain yang ikut bermain. "Makanya perlu ditelusuri, apakah ada haÂkim konstitusi lain yang diduga terlibat," pintanya.
Ruhut pun meminta JPU menghadirkan bekas Gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah seÂbagai saksi dalam persidangan nanti. Sebab, menurutnya, atas kuasa Atut, Amir Hamzah dan Kasmin bisa berhubungan dengan Akil. "Supaya jelas dimana perannya masing-masing," jelas Ruhut.
Ditanya soal pilkada serentak yang akan datang, Ruhut berÂharap agar kejadian serupa tidak terulang. Sebab, menurutnya, hal tersebut sudah meresahÂkan banyak pihak, terutama masyarakat yang sudah menduÂkung pasangan calon yang seÂharusnya menjadi pemenang.
"Selain merugikan masyarakat, itu juga menciderai marwah MK yang seharusnya bersih dari praktik korupsi," tuntas Ruhut. ***