Berita

vladimir putin/net

Rusia Baru Bersama Putin

KAMIS, 03 SEPTEMBER 2015 | 07:46 WIB | OLEH: MUHAMMAD TAKDIR

PRESIDEN Rusia, Vladimir Putin tampil heroik ketika menyatakan dalam suatu kesempatan bahwa negaranya siap melakukan transaksi dagang dengan menggunakan mata uang kedua pihak. Bukan mata uang dolar AS yang selama ini menjadi alat transaksi utama.

Setelah disisihkan dari liga G7 dan pergaulan pemodal kapitalis Barat, Putin tidak pernah rikuh mengambil sikap antagonis vis-a-vis kepentingan AS maupun Eropa. Rusia disisihkan karena Moskow petantang-petenteng menganeksasi Krimea dari Ukraina tahun lalu. Aksi itu yang membuatnya didiskualifikasi dalam G7 dan menjadikan AS maupun Eropa membatasi diri menggauli Rusia.

Meskipun demikian, tetap sulit membayangkan bahwa aliansi AS-UE akan maju tanpa Rusia dan mampu menyusun langkah-langkah responsif baru terhadap potensi krisis ekonomi yang diperkirakan makin meluas menyusul penyesuaian mata uang Tiongkok.


Siapapun protagonis di Washington atau Brussel yang menyebut Rusia pesakitan, harus lebih berhati-hati menggiring sentimen negatif vis-a-vis Rusia. Selain karena Putin bukan tipe pemimpin yang mudah digertak, Moskow relatif lebih punya segalanya untuk survive daripada seluruh notorious figure yang telah dirontokkan Washington.

Moskow telah mendemonstrasikan kemampuan itu pada saat parade Victory Day di Lapangan Merah tahun ini. Istilahnya, telah muncul "the new Russia" yang lebih galak dan bukan "the Afghanistan Russia".

Jika Rusia mencari teman dengan menggalang Iran, Indonesia atau siapapun, itu karena Moskow tidak ingin hubungannya dengan negara-negara lain dijadikan forum untuk membahas problematika Rusia. Melakukan hal itu secara langsung kepada Rusia dengan mengkritisi problematika Moskow memang patut dipertimbangkan mendalam. Karena para "old Europe combo" seperti Italia, Jerman, Inggris dan Perancis tidak boleh melupakan kontribusi Rusia ketika membantu membebaskan benua itu dari cengkeraman nightmare NAZI.

Oleh karena itu, membikin friendish trap bagi Rusia di OSCE, DK-PBB, ataupun G7 hanya akan membuat Moskow teralienasi dan mengentalkan sikap Rusia yang lebih agitatif.

Memilah transedensi persoalan Russia effect dalam konteks benturan kepentingan dan prestige dengan major players lainnya perlu diletakkan dalam konstruksi yang lebih rasional. Bagaimanapun tanpa Rusia, para pemain kunci global itu bisa ketinggalan banyak momentum dalam membantu mendorong resolusi-resolusi krisis internasional. Apalagi Moskow di bawah Putin dianggap mampu melakukan manuver-manuver kolaboratif bersama dengan Tiongkok, misalnya yang terbukti bisa mempermalukan Washington.

Bersama Beijing dan anggota BRICS lainnya, Moskow mampu mendorong pembentukan New Development Bank (NDB), termasuk gagasan Tiongkok yang meluncurkan  Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Menariknya, gagasan AIIB bahkan berhasil menarik satu persatu aliansi anggota yang selama ini cenderung menjauhi Rusia seperti  Inggris, Perancis, Jerman dan Italia.

Kebutuhan melihat Rusia sebagai demokrasi liberal jauh lebih berarti daripada mendiktenya secara bermusuhan. Kita tidak dapat lagi seenaknya mengenakan singlehanded devise rule terhadap negara seperti Rusia. Karena mereka juga punya pemain yang sama impresifnya dengan G7 misalnya, seperti BRICS dan Shanghai Cooperation Organization.

Intinya, formula Bush "us versus them" atau "West against the rest" tidak pernah efektif menyelesaikan masalah global. Dalam konteks persaingan pada tataran manapun, tak ada negara yang rela atau mau dijadikan subordinasi dari superioritas sebuah ideologi politik tertentu.

Yang bisa kita petik dari eksperimentasi Rusia adalah pentingnya memiliki pemimpin yang kuat secara karakter, pemikiran, visi, orientasi serta konsistensi dalam melindungi kepentingan bangsa dan negaranya.

Dalam pergaulan dunia yang sangat kompleks saat ini, tak ada makan siang yang gratis. Masing-masing negara muncul dengan kepentingan masing-masing.

Mempertahankan kepentingan pun dapat dilakukan dengan cara memanipulasi kepentingan yang lain guna melindungi prioritas kepentingan nasional yang lebih strategis

Penulis adalah analis-kolumnis situasi internasional dan domestik. Saat ini sedang menetap di Jenewa. Bisa dihubungi pada akun Twitter @emteaedhir.

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

UPDATE

Laksdya Erwin Tinjau Distribusi Bantuan di Aceh Tamiang

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:55

Jembatan Merah Putih

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:40

Kongres Perempuan 1928 Landasan Spirit Menuju Keadilan Gender

Selasa, 23 Desember 2025 | 03:13

Menko AHY Lepas Bantuan Kemanusiaan Lewat KRI Semarang-594

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:55

Membeli Damai dan Menjual Perang

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:32

Komdigi Gandeng TNI Pulihkan Infrastruktur Komunikasi di Aceh

Selasa, 23 Desember 2025 | 02:08

Rocky Gerung: Kita Minta Presiden Prabowo Menjadi Leader, Bukan Dealer

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:45

DPRD Minta Pemkot Bogor Komitmen Tingkatkan Mutu Pendidikan

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:27

Kebijakan Mualem Pakai Hati Nurani Banjir Pujian Warganet

Selasa, 23 Desember 2025 | 01:09

Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD Bikin Pemerintahan Stabil

Selasa, 23 Desember 2025 | 00:54

Selengkapnya