PEMILIHAN Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di seluruh wilayah se-Indonesia akan dilaksanakan, Desember 2015 nanti. Strategi dan taktik yang dirancang oleh masing-masing calon pun sudah nampak terlihat, intrik politik sudah bertebaran, dan perang pun dimulai.
Perang politik di arena Pilkada merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa dihindari, mengingat kemenangan adalah harga mutlak yang harus terbayar tanpa negoisasi.
Tak peduli benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek, dan konstitusional atau inkonstitusional cara yang ditempuh, yang terpenting atas semuanya adalah 'bau' kemenangan harus segera tercium dekat dan terlihat di depan kelopak mata.
Kenyataan seperti itu tentu senada dengan apa yang pernah dikehendaki oleh Machiavelli. Dia yang pertama kali mendiskusikan fenomena sosial politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum.
Bagi Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik.
Itulah sekilas gambaran dasar tentang realitas politik yang sedang kita hadapi saat ini. Atas nama 'kuasa' mereka halalkan segala cara, tak mengenal etika, moral ataupun agama.
Politik adalah cara atau jalan untuk mendapatkan dan mempertahankan sesuatu, termasuk kekuasaan. Namun pertanyaannya adalah apakah dapat dikatakan sesuatu itu benar jika ditempuh dengan cara atau jalan yang salah? Tentu jawabannya tidak!
Kesalehan Politik
Tujuan yang benar tentu harus ditempuh dengan jalan dan cara yang benar pula. Mana mungkin tujuan seseorang dapat dikatakan benar jika sekiranya jalan yang dilalui bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran. Namun demikian, rupanya dalam dunia politik, upaya untuk mendapatkan kekuasaan tak jarang dilakukan dengan cara-cara yang salah, bahkan inkonstitusional menurut perundang-undangan yang berlaku.
Banyak sekali contoh kasus yang terjadi di lapangan, seperti politik uang (
money politic), kampanye hitam (
black campaign), menggunakan isu-isu SARA, mengintimidasi pemilih, menghilangkan hak pilih orang lain, penggelembungan suara, berkampanye dengan menggunakan fasilitas negara, dan lain sebagainya. Meskipun dilarang, kesemuanya itu kerap kali dilakukan oleh para politisi untuk memuluskan jalannya demi mencapai kemenangan dan kekuasaan.
Perlu untuk ditegaskan, bahwa sesungguhnya politik pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram. Politik adalah suatu hal yang sangat mulia, sebagai alat untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil makmur yang diridhai Tuhan yang Maha Esa. Di situlah dibutuhkan kesadaran individu untuk mengembalikan politik kepada fitrah asalnya. Individu-individu yang sadar itulah yang memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kesalehan politik†sebagai salah satu upaya antitesa dari kenyataan politik yang pada saat ini sedang terjadi.
Niat yang baik (titik awal) dan tujuan yang mulia (titik akhir) tentunya harus dihubungkan dengan jalan atau cara yang benar (tali penghubung), dan di situlah urgensi kesalehan politik harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan.
Kesalehan politik merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan oleh para calon pemimpin, khususnya calon Bupati, Walikota, dan Gubernur yang akan bertarung di perhelatan Pilkada serentak nanti.
Pesan untuk para kompetitor yang akan berlaga di Pilkada serentak nanti: pertama, gunakanlah jalan dan cara yang benar sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan secara utuh dan menyeluruh; dan kedua, jauhilah tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar tersebut. Semoga Allah yang Maha Kasih memberkati jalan perjuangan kalian. Semoga [***]
Penulis adalah Ramdhany, Ketua Umum HMI Cabang Ciputat