. Kasus dugaan lembaga pembiayaan fiktif Koperasi Cipaganti telah menjalani persidangan selama lebih kurang tiga bulan, dengan memeriksa 58 saksi, sembilan ahli, saksi meringankan, serta mendengar tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Dalam sidang yang digelar Pengadilan Negeri Bandung, Jhon SE Panggabean selaku penasihat hukum terdakwa I, II, dan III membacakan pledoi pada Selasa (30/6).
Dalam pledoi tersebut kuasa hukum menyoroti dan menyatakan bahwa kasus yang membelit kliennya selaku pengurus Koperasi Cipaganti berdasarkan fakta dan saksi yang diperdengarkan di muka pengadilan jelas terbukti merupakan kasus perdata, bukan tindak pidana.
Menurut Jhon, eksepsi yang dibacakan penasihat hukum dalam persidangan sebelumnya jelas juga sudah mengatakan bahwa kasus itu masuk ranah perdata. Namun, dalam putusan putusan sela, majelis hakim mengatakan kasus ini masuk perdata atau pidana akan diputuskan bersama-sama setelah memeriksa pokok perkara.
"Kami menghormati tuntutan yang diajukan JPU. Tetapi menyayangkan karena tuntutan tersebut tidak didasarkan pada fakta yang ada. Pertama, bahwa kasus Cipaganti adalah kasus wanprestasi atau perdata," kata Jhon dalam keterangannya kepada redaksi, Rabu (1/7).
Selain itu, tuntutan JPU tentang pasal 46 Undang-Undang Perbankan yang menyatakan penghimpun dana dari masyarakat harus memiliki izin dari Bank Indonesia adalah keliru karena berlaku azas lex spesialis derogat let generalis atau aturan khusus yang mengenyampingkan aturan umum.
Berdasarkan hal tersebut maka izin usaha Koperasi Karya Guna Persada bukanlah dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 46 ayat 1 UU Nomor 10/1998 tentang Perbankan tetapi di dalam pasal 3 ayat 3 PP Nomor 9/1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh koperasi sebagaimana dimaksud dengan ayat 1 dan ayat 2 berlaku sebagai izin usaha.
"Berdasarkan hal tersebut tidak ada dasar menyatakan Koperasi Cipaganti melanggar Undang-Undang Perbankan," beber Jhon.
Dia juga menyatakan bahwa sejak awal kliennya tidak ada niat untuk melakukan penipuan atau penggelapan.
"Lagi pula tidak ada dasar untuk mengatakan klien kami melakukan penipuan, karena dalam melakukan kerja sama dengan mitra selaku investor, klien kami transparan baik mengenai brosur maupun rencana kerja sama dengan pihak ketiga didasarkan oleh fakta yang ada. Apalagi sebelumnya penyelesaian perdata sudah berjalan dibuktikan adanya perdamaian," jelas Jhon.
Sehingga apa yang didakwakan itu dari fakta yang ada perkara ini murni perdata.
Bahwa dakwan jaksa yang mengatakan, dana mitra dipergunakan oleh terdakwa I Andianto Setiabudi sebesar Rp 4.315.000.000, terdakwa II Yulia Sri Rezeki sebesar Rp 710.391.855.000, terdakwa III Yulinda Rp 1.175.000.000, dan Rp 893.000.000 adalah tanpa didasari bukti karena faktanya para terdakwa sama sekali tidak pernah memakai dana tersebut apalagi secara pribadi. Hasil audit investigasi yang dilakukan juga menunjukkan tidak ada dana tersebut mengalir kepada ketiga terdakwa.
"Klien kami tidak ada niat menipu. Perlu juga diketahui bahwa klien kami sudah lama memulai bisnis hingga kemudian Cipaganti Group bisa besar menjadi holding perusahan tak pernah ada penipuan di sana," ujar Jhon.
Maka penasihat hukum terdakwa I, II, dan III dengan jelas menyatakan bahwa tuntutan JPU yang menuntut dengan pidana penjara masing-masing 20 tahun dan denda Rp 200 miliar adalah diduga berdasarkan atas emosional dan tak didasarkan hati nurani serta fakta.
"Karena itu, kami hanya berharap pada majelis hakim akan memutus perkara ini dengan nurani dan seadil-adilnya. Harapan kami tak terpengaruh oleh opini publik, tetapi semata-mata memutus dari kaca mata hukum dan nurani Hakim yang adil," jelas Jhon.
[rus]