Wacana pencabutan Surat Keputusan Bersama (SKB) dan Peraturan Bersama Menteri (PBM) yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah harus disikapi dengan ekstra hati-hati.
Sebab, dari pencermatan selama kurun waktu 8 (delapan) tahun tersakhir ini, kelemahan utama SKB dan PBM itu bukan pada substansinya, tapi pada pelaksanaannya.
"Kenapa tidak terlaksana dengan baik, antara lain karena tidak ada sanksi hukum bagi yang melanggar," jelas Komisioner Komnas HAM, DR. Maneger Nasution, (Selasa, 23/6).
Diakuinya, dari perspektif hukum, SKB atau PBM itu sebenarnya tidak termasuk dalam hirarkis perundang-undangan. Dengan demikian, demi hukum, PBM itu harus naik kelas menjadi undang-undang.
"Ini penting agar negara dipaksa hadir memenuhi dan melindungi hak-hak dasar dan konstitusional warga negara, khususnya hak beragama," ungkap Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat ini.
Sebelum PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 2006 dan No.8 Tahun 2006 dijadikan Undang-Undang, isi dari PBM tersebut harus lebih komprehensif. Di samping mengatur rumah ibadah, juga berisi soal definisi dan pengadministrasian agama, kode etik penyiaran agama, dan soal sanksi.
Menurutnya, semua elemen masyarakat, terutama tokoh lintas agama dan lainnya harus dilibatkan, bahkan mereka harus menjadi subjek, dalam pembentukan PBM menjadi UU.
"Pelibatan mereka itu mulai dari perumusan daftar isian masalah (DIM), penyusunan naskah akademik, sampai pada penyusunan pasal-pasal," tandas Wakil Ketua Umum Dewan Harian Nasional Fokal IMM ini. [zul]