Kasus merintangi penyidikan untuk terdakwa Komisaris Utama PTBukit Jonggol Asri (BJA) Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng, memasuki babak baru.
Cahyadi dituntut hukuman penjara selama 6,5 tahun dan denda Rp 500 juta. Dengan keÂtentuan, apabila tidak sanggup membayar akan diganti kurungan badan selama 5 bulan.
"Meminta supaya Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan, terdakwa Kwee Cahyadi Kumala terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa," kata Ketua Tim Jaksa KPK Surya Nelli di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, kemarin.
Jaksa Nelli mengatakan, Cahyadi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena mempengaruhi saksi dalam penyidikan perkara atas nama Franciscus Xaverius Yohan Yap yang sudah divonis lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan setelah permohonan kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA).
Yohan, merupakan utusan Cahyadi, dalam memberikan uang suap kepada Bupati Bogor Rachmat Yasin guna menerbitkan surat rekomendasi tukar menukar kawasan hutan seluas 2.754 hektar atas nama PT BJA.
Disebutkan jaksa, Cahyadi membutuhkan surat rekomenÂdasi untuk melanjutkan pembanÂgunan kota mandiri atas nama PT BJAyang berada di bawah naungan Sentul City.
Atas dasar keinginannya itu, Cahyadi mengucurkan dana Rp 5 miliar kepada Yohan melaÂlui orang kepercayaannya, Robin Zulkarnaen agar diserahkan kepada Rachmat Yasin. Dengan maksud, supaya Rachmat Yasin menerbitkan surat Nomor: 522/624/ tanggal 29 April 2014 perihal rekomendasi tukar menuÂkar kawasan hutan.
Menurut jaksa Nelli, perbuaÂtan terdakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Terkait dakwaan merintangi penyidikan, versi jaksa, Cahyadi dianggap terbukti menyuruh penÂgacara Tantawi Jauhari Nasution meminta istri Yohan, Jo Shien Ni alias Nini selaku Direktur PT Multihouse Indonesia, agar meÂnyepakati Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan PT Brilliant Perdana Sakti (BPS) senilai Rp 4 miliar, sehingga seolah-olah uang tersebut merupakan transaksi jual beli dan tidak ada hubungan dengan penyuapan Rachmat Yasin.
"Sehingga, dapat mengaburkan keterlibatan terdakwa Cahyadi Kumala sebagai penanggung jawab dalam pemberian uang untuk Bupati Bogor Rachmat Yasin. Terdakwa merasa ketakutan karena ingin menghindari pemeriksaan KPK," ucap jaksa.
Selain itu, Cahyadi dianggap melakukan pemindahan dokuÂmen-dokumen yang berkaitan dengan proses pengurusan rekoÂmendasi tukar-menukar kawasan hutan dan dokumen lain terkait PT BJA yang ada di kantornya, Menara Sudirman, Kavling 60 ke sejumlah tempat seperti ke Sentul, Jagakarsa, Pulogadung dan tempat lain agar dokumen itu tidak dapat disita penyidik KPK.
Pemindahan itu dilakukan oleh karyawan Cahyadi, yaitu Teteung Rosita, Roselly Tjung, Dian Purwheny dan Tina Sugiro.
Atas dakwaan tersebut, Cahyadi diancam pidana dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam menjatuhkan tuntutan, jaksa mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa Cahyadi dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam rangÂka pencegahan dan pemberanÂtasan tindak pidana korupsi.
"Yang meringankan, karena terdakwa bersikap sopan selama persidangan, dan belum pernah dihukum," sebut jaksa Nelli.
Atas tuntutan itu, Cahyadi akan melayangkan nota pembeÂlaan (pledoi). Sidang akan dilanÂjutkan pada pekan depan dengan agenda pembacaan pledoi. "Saya serahkan kepada penasehat huÂkum," kata Cahyadi.
Kilas Balik
Suap Rp 5 Miliar Untuk Bupati Bogor Diantar Yohan Yap Secara Bertahap Komisaris Utama PT Bukit Jonggol Asri, Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng mengakui pernah mengirim uang senilai Rp 4 miliar kepada Yohan Yap (YY) dengan cara transfer melalui rekening PT Briliant Perdana Sakti.
Cahyadi mengatakan, dia pernah menyuruh anak buahÂnya, yakni Manager Keuangan PT Bara Rangga Wirasmuda, Rosselly Tjung alias Sherly Tjung untuk mentransfer uang tersebut kepada Yohan.
"Saya telepon Sherly supaya transfer uang Rp 4 miliar ke YY," kata Cahyadi dalam kesaksiannya saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/5).
Meski demikian, dia mengaku tidak mengetahui ketika Sherly kemudian mentransfer uang tersebut ke perusahaan milik Yohan, PT Multihouse Indonesia (MI). "Saya hanya perintahkan, yang urus semua Sherly," ujar Cahyadi.
Saat disinggung mengenai tujuan pemberian uang tersebut kepada Yohan, Cahyadi tidak menjawabnya. Dia hanya diam. Dia pun bersikeras, tidak perÂnah memberikan uang sebesar Rp 1 miliar kepada anak buahÂnya, Robin Zulkarnain, melalui Shirley Tjung.
Dalam dakwaan jaksa, setoran tersebut dikaitkan dengan kasus korupsi Bupati Bogor, Rachmat Yasin yang menerima hadian atau janji, dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara negara. Rachmat Yasin sudah divonis bersalah dan dihukum penjara selama 5 tahun 6 bulan dan denÂda sebesar Rp 300 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Menurut jaksa, uang Rp 4 miliar itu termasuk ke dalam Rp 5 miliar yang diberikan Cahyadi kepada Rachmat Yasin agar menerbitkan surat rekomendasi tukar menukar kawasan hutan di Kabupaten Bogor.
Namun, Cahyadi mengaku sedang dalam keadaan takut saat memberikan keterangan terkait uang Rp 1 miliar itu dalam penyidikan. Dia merasa takut lantaran menjalani pemeriksaan perdana usai dijemput paksa penyidik KPK.
"Saya membuat semua yang di BAP karena saya takut dihukum berat. Saya ngomong saja biar cepat, biar selesai," ujar dia.
Diketahui, Cahyadi didakwa telah memberikan uang suap sebesar Rp 5 miliar kepada Rachmat Yasin terkait permohonan rekomendasi tukar menukar kawasan hutan seluas kurang lebih 2.754,85 Ha di Kabupaten Bogor.
Namun, uang tersebut hanya sampai ke tangan Rachmat Yasin sebesar Rp 4,5 miliar. Dimana Rp 500 juta untuk Yohan Yap seÂbagai bagian dari komisi. Yohan sendiri sudah divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 350 juta subsider 6 bulan kurungan, karÂena melakukan korupsi bersama-sama dengan Cahyadi.
Merujuk fakta persidangan, duit dari Cahyadi diberikan secara bertahap oleh Robin Zulkarnaen (anak buah Cahyadi) kepada Yohan Yap. Robin adalah orang kepercayaan Cahyadi. Yohan Yap ditugasi meneruskan duit suap kepada Rachmat Yasin untuk kepentingan PT BJA dalam pembangunan Kota Mandiri.
Mereka berkepentingan agar Bupati Bogor mempercepat terbitnya rekomendasi tukar-menukar kawasan hutan atas nama PT BJA seluas 2.754 hektare, yang merupakan syarat untuk pemanfaatan lahan 30 ribu hektare Kota Mandiri.
Oleh Yohan Yap, duit dari Cahyadi tersebut disetor kepada Rachmat Yasin sejak Februari 2014. Pada 6 Februari di rumah Rachmat Yasin, Yohan Yap meÂnyetor duit Rp 1 miliar. Lalu, Maret 2014, Robin Zulkarnain memberi tahu Yohan bahwa Rachmat Yasin minta lagi Rp 2 miliar. Yohan lalu mendatangi rumah Yasin dan menyetor Rp 2 miliar melalui Tenny Ramdhani, sekretaris pribadi Bupati.
Terakhir, pada 7 Mei 2014, sekitar pukul 16.00 WIB, Yohan bertemu Kepala Dinas Pertanian Bogor Zairin di Taman Budaya, Kabupaten Bogor, untuk meÂnyerahkan sisa komitmen suap kepada Yasin, Rp 1,5 miliar. Namun, hari itu keduanya diÂtangkap KPK.
Sedangkan Cahyadi dipanggil paksa petugas KPK di Taman Budaya Sentul City pada 30 September 2014.
Koridor Hukum Urus Perizinan Sering Diterobos Ruhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul mengatakan, kasus yang menjerat bos PT Bukit Jonggol Asri (BJA), Cahyadi Kumala adalah kasus yang diduga kerap terjadi daÂlam praktik perizinan.
Kata dia, seperti kebanyaÂkan pengembang, Cahyadi diduga melakukan gratifikasi. Dalam hal ini kepada Bupati Bogor, Rachmat Yasin agar mendapatkan perizinan lahan terkait proyek perumahan yang diajukan PT BJA.
"Rata-rata, di tata ruang seperti itu praktiknya. Kalaupun terjadi pelanggaran tata ruang, ada pada aspek pemberian hadiah," ujar Ruhut.
Politisi Partai Demokrat ini menuturkan, perizinan tata ruang dirasa cukup berat bagi pengembang maupun penyelenggara yang membiÂdani ruang lingkup tersebut. Sehingga, diduga banyak terjaÂdi praktik suap menyuap guna mendapatkan izin penggunaan lahan meski tumpang tindih.
"Jadi, koridor hukum sering diterobos," sebut Ruhut.
Dijelaskan, kebanyakan pengembang memiliki mimpi beÂsar dalam membangun proyeknya pada satu kawasan. Tetapi, pembangunannya kadang tidak sesuai dengan hukum tata ruang atau terkesan dipaksakan.
Tak hanya itu, ketika pengembang berencana mengekÂspansi wilayah ke daerah lain, mereka seringkali berbenturan dengan kondisi hutan. Kebanyakan pengembang lalu ingin mengambil lahan-lahan berpotensi, tetapi tersandung pada status lahan yang belum berubah, sehingga muncul keÂinginan melakukan suap.
"Karena perubahan status itu dikeluarkan atas rekomenÂdasi bupati dan izin menteri kehutanan, jadi mereka pepet terus," katanya.
Dia pun menyarankan, lebih baik pengembang memperluas kawasan sesuai dengan koridor hukum yang ada. Sehingga, kejadian serupa tak terulang.
"Tapi harus diakui, hal itu sulit, karena celah lobi-lobinya selalu ada," tutupnya.
Sampaikan Pledoi Atau Tidak Itu Hak Terdakwa Poltak Agustinus, Bekas Ketua PBHI Bekas Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Poltak Agustinus Sinaga menyatakan, duÂgaan konspirasi dalam perkara terdakwa Cahyadi Kumala alias Swee Teng perlu diungkap secara jelas. Hakim pun seyoÂgyanya proporsional dalam menimbang seluruh fakta.
"Kunci keberhasilan dalam menuntaskan setiap perkara ada di tangan hakim. Termasuk dalam kasus ini, hakim mesti profesional," katanya.
Dia yakin bahwa jaksa dan hakim yang menangani perkara Cahyadi Kumala, mendasarkan dakwaan, tuntutan, maupun putusan berdasarkan rangkaian bukti-bukti yang konkret. Oleh sebab itu, dakwaan jaksa, keterangan saksi-saksi, serta bukti-bukti yang diuraikan secara terbuka, hendaknya dimanfaatkan untuk mengkonÂsep tuntutan maupun putusan perkara.
Pembelaan terdakwa yang tertuang dalam pledoi, seyoÂgyanya juga dijadikan pertimÂbangan untuk merumuskan putuÂsan. "Kesempatan menyampaikan pledoi atau pembelaan ini semestinya dimaksimalkan. Tim kuasa hukum terdakwa hendaknya memanfaatkan moÂmentum ini untuk membela kliennya secara optimal."
Dia menuturkan, momentum menyampaikan pledoi di persidangan menjadi kunci keberhasilan tim penasihat hukum dan terdakwa untuk meyakinkan hakim. Asalkan, berdasarkan fakta.
Menurutnya, terdakwa puÂnya hak menyampaikan pledoi atau tidak menyampaikan. Namun, dia menyatakan, setiap terdakwa sebaiknya menyamÂpaikan pledoi.
"Dalam pledoi, terdakwa bisa menyampaikan bantahan atau sanggahan terkait berbaÂgai konspirasi yang dituduhkan kepadanya." Jadi, lanjutnya, kesempatan menyampaikan pledoi harus dimanfaatkan sebaik mungkin. ***