AKHIR tahun lalu, stasiun televisi SBS asal Korea Selatan (Korsel) menayangkan sebuah serial televisi berjudul Modern Farmerâ€. Dari serial televisi yang penulis ikuti rutin ini, setidaknya ada dua renungan yang bisa diambil. Pertama, serial televisi ini menunjukkan bagaimana timpangnya kualitas antara serial televisi di Korsel dan serial televisi di Indonesia. Dan yang kedua, - juga akan menjadi pokok pembahasan tulisan ini-, kita juga bisa mengira-ngira bagaimana perbedaan nasib petani di Korsel dan di Indonesia.
Petani Modern
Sekilas, cerita Modern Farmer mungkin terlihat biasa saja, hanya sekedar drama komedi yang berkisah tentang sekelompok pemusik rock di Seoul, yang terpaksa menggarap lahan pertanian warisan neneknya untuk membayar biaya pembuatan album. Namun apabila kita perhatikan detil, kita bisa melihat bahwa serial ini juga dibuat untuk satu maksud, yaitu memaparkan bagaimana lika-liku kehidupan petani di Korsel.
Pada episode permulaan, ada satu potongan adegan satir yang menarik. Adegan ini jelas menyasar orang-orang Korsel yang kebanyakan ingin hidup di kota dengan pekerjaan-pekerjaan formal. Adegan yang melibatkan petani senior dan para pemusik rock tersebut, berisikan dialog yang kurang lebih mengatakan Untuk apa kita menerima orang-orang kota ini. Mereka hanya datang ke desa di saat susah saja. Mereka tidak akan betah, karena sebenarnya tidak cukup kuat untuk menjadi petaniâ€. Dari hasil penelusuran saya di berbagai literatur, ternyata apa yang terjadi di Korsel memang sama halnya dengan di Indonesia, yaitu masyarakatnya masih banyak yang enggan hidup di desa untuk memberdayakan pertanian.
Pada episode permulaan, ada satu potongan adegan satir yang menarik. Adegan ini jelas menyasar orang-orang Korsel yang kebanyakan ingin hidup di kota dengan pekerjaan-pekerjaan formal. Adegan yang melibatkan petani senior dan para pemusik rock tersebut, berisikan dialog yang kurang lebih mengatakan Untuk apa kita menerima orang-orang kota ini. Mereka hanya datang ke desa di saat susah saja. Mereka tidak akan betah, karena sebenarnya tidak cukup kuat untuk menjadi petaniâ€. Dari hasil penelusuran saya di berbagai literatur, ternyata apa yang terjadi di Korsel memang sama halnya dengan di Indonesia, yaitu masyarakatnya masih banyak yang enggan hidup di desa untuk memberdayakan pertanian.
Akan tetapi, di episode-episode selanjutnya kita akan melihat bagaimana kehidupan petani di Korsel sesungguhnya tidak buruk. Petani digambarkan hidup dalam suasana yang harmonis, penuh kerjasama, dan dalam sebuah desa yang juga memiliki struktur (ada kepala desa, dll). Petani hidup mengolah tanahnya sendiri. Mereka memiliki sumber air kolektif, peralatan yang modern, serta yang paling penting: mereka memiliki mindset bisnis dan politik yang tidak kalah dengan orang-orang yang bekerja di gedung-gedung pencakar langit.
Selain menggambarkan dengan cukup detil bagaimana langkah demi langkah dalam menjalankan kegiatan pertanian (mulai dari membuka lahan, memilih benih, hingga memberantas hama), serial ini juga memperlihatkan kesadaran bisnis dan politik petani Korsel. Pada salah satu adegan di episode pertengahan, diperlihatkan bagaimana petani-petani tersebut melakukan aksi unjuk rasa yang dinamakan three steps, one bowâ€. Aksi ini ditujukan untuk menentang kebijakan pemerintah dalam membuka kran impor beras.
Sementara di episode menjelang akhir, diperlihatkan bagaimana para petani bahu-membahu membangun desa wisata serta mengolah hasil panen kobis agar bisa menjadi olahan siap pakai. Yang menarik, para petani ini tidak gagap menggunakan beragam gadget yang terkoneksi internet. Mereka mengikuti perkembangan harga produk melalui website, dan mereka juga memasarkan produknya melaui blog. Salah seorang teman yang pernah cukup lama tinggal di Korsel mengkonfirmasi kebenaran akan hal ini. Katanya, kehidupan petani di Korsel memang jauh lebih sejahtera ketimbang petani-petani di Indonesia.
Apa Kabar Petani Indonesia Hari Ini? Gambaran kehidupan petani pada serial Modern Farmer adalah gambaran ideal penulis tentang kehidupan petani Indonesiayang hingga hari ini masih hidup dalam berbagai kekurangan. Mereka masih kerap ditipu tengkulak, kesulitan dalam membeli pupuk, serta masih sulit menyekolahkan anaknya.Lalu, bagaimana cara mengubah dunia pertanian kita?
Kehidupan petani Korsel yang sejahtera sedikit banyak merupakan buah dari perhatian pemerintah. Bersama-sama negara maju seperti Amerika Serikta dan Uni Eropa, Korsel merupakan Negara yang pada Putaran Doha WTO ngotot untuk tidak menghapus subsidi di bidang pertanian. Penyebab munculnya sikap ini adalah subsidi pertanian yang sangat besar di negara-negara tersebut. Nilai subsidi pertanian di Amerika Serikat dan Uni Eropa bahkan mencapai 240 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.040 triliun (Budilaksono, 2008).
Negara-negara ini sepertinya sadar, bahwa pada akhirnya kebutuhan primer manusia adalah pangan. Manusia tidak mungkin dapat memakan mobil, telepon genggam, atau komputer. Oleh karena itu, ke depannya mereka wajib untuk memastikan keadaulatan pangan.
Mengenai subsidi ini, baru saja pemerintah Indonesia membuat kejutan. Dalam pembahasan RAPBN-P 2015, subsdi pertanian ditetapkan sebanyak 55,6 Triliun. Angka ini mengejutkan, karena lebih besar daripada subsidi bahan bakar yang hanya mencapai angka 39 Triliun. Walaupun subsidi ini belum sebesar subsidi di negara-negara maju, namun setidaknya langkah ini patut diapresiasi sebagai langkah awal dalam pengarusutamaan petani. Apalagi hal ini turut dibarengi dengan telah disahkannya UU Desa, yang muaranya kelak adalah pemberian dana senilai 1 Miliar bagi setiap desa.
Selain persoalan subsdi, ada baiknya jika kita juga mulai berbenah dari hal yang kecil, seperti perubahan pendekatanpendidikan: dari urbanke rural. Ketika masa-masa Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat dulu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan pernah melontarkan sebuah argumen yang amat menarik mengenai dunia pendidikan kita. Kira-kira ia bicara seperti ini Pendidikan kita terlalu bercorak urban (kehidupan perkotaan). Dalam artian, seluruh perangkat pendidikan kita seolah-olah menggambarkan masa depan manusia hanya ada pada kegiatan-kegiatan produktif yang terpusat diperkotaan. Kita seperti lupa bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, dengan potensi terbesarnya yang terletak di sektot pertanian. Oleh karena itu, perlu untuk mengubah orientasi pendidikan kita ke arah yang lebih bercorak rural (kehidupan pertanian dan pedesaan)â€. Tentu saja ini saatnya Anies Baswedan membuktikan kata-katanya tersebut melalui jalur kekuasaan yang sekarang sudah dia pegang, dan tentu juga harus didukung oleh segenap masyarakat yang sadar akan pentingnya perubahan ini.
EpilogDulu, ketika saya ditanya adik-adik kelas mengenai jurusan apa yang sebaiknya mereka pilih di bangku perkuliahan, saya biasanya menjawab Tekni Pertambangan, Perminyakan dan Teknik Nuklir. Namun kini saya selalu bilang bahwa sebaiknya kalian memilih jurusan Ilmu Pertanian saja. Saya katakan Kalaulah ke depannya masih ada Presiden-Presiden bodoh yang ingin berperang, tentu penyebabnya bukan lagi minyak atau emas. Akan tetapi gandum, kentang ,padi, atau air. Hal-hal yang ini semakin hari semakin langka. Sedangkan manusia tidak akan mungkin hidup tanpa kesemuanya. Bukankah sampai hari ini kita belum menemukan teknologi pengganti pangan?†Oleh karena itu, sudah sangat jelas, bahwa masa depan Indonesia -bahkan dunia-, ada di tangan petani.
Ferdiansyah Rivai
Staf Pengajar FISIP Universitas Sriwijaya
Jalan Seduduk Putih I No.112 RT.52 RW.07
Kel. 8 Ilir Kec. IT II, Palembang, Sumatera Selatan
Mobile Phone: +62 877 394 82xxx