SALAH satu perubahan fundamental pasca reformasi adalah dilakukannya perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam perubahan ketiga UUD 1945 melalui Pasal 24 ayat (2) dibentuk lembaga baru pelaksanan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun kedudukan MKK dalam UUD 1945 disejajarkan dengan lemabga-lembaga negara lainnya seperti DPR, presiden, DPD, BPK, dan MPR. Sehingga pasca perubahan UUD 1945, tidak dikenal lagi istilah lembaga tinggi dan tertinggi negara. Yang berbeda di antara lembaga-lembaga negara tersebut adalah tugas dan wewenangnya.
Dalam usianya yang melewati sebelas tahun, kehadiran dan eksistensi MK sejak 2003 banyak memberikan kontribusi bagi penyelesaian permasalahan ketatanegaraan RI atau perkembangan hukum ketatanegaraan Indonesia. Meminjam pendapat A. Mukhtie Fadjar, kehadiran MK dapat dikatakan telah mengguncang dunia hukum dan peradilan di Indonesia. Menerobos berbagai kemapanan yang sudah jumud, menjadi terasa lebih dinamis. MK melahirkan putusan-putusan yang mendobrak kebekuan hukum dengan membawa paradigma baru keadilan substantif yang meminggirkan dominasi penafsiran hukum lama. Melalui putusan yang bersifat ultra petita, yaitu putusan yang tidak diminta pemohon atau melebihi permohonan pemohon.
Dari hasil telaah putusan MK berkarakter
ultra petita, baik dalam perkara pengujian UU maupun sengketa pilkada, diperoleh tiga pertimbangan pokok (
ratio decedendi) sebagai berikut:
Pertama, pertimbangan yuridis. Bahwa secara
expressis verbis (tersurat) tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang MK memutus secara
ultra petita, namun menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 juncto Pasal 45 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, MK memutus perkara berdasarkan UUD NRI 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
Kedua, pertimbangan teoritis. Hakim MK mengeluarkan putusan
ultra petita karena hakim tidak hanya menjadi corong UU (
bouche de lal loi). Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim juga dapat menemukan hukum (rechstvinding) dan menciptakan hukum (
rechtsspchepping).
Ketiga, pertimbangan filosofis. Dalam memutus sengketa pilkada dengan putusan
ultra petita, semata dimaksudkan untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, prinsip penyelenggaraan pemilu yang luber jurdil serta menegakkan keadilan substantif. Sedangkan dalam pengujian UU terhadap UUD, putusan secara
ultra petita bertujuan menjamin, melindungi, dan menegakkan HAM serta hak konstitutsional warga negara (keadilan konstitusional).
Kewenangan diskresi MK dapat menimbulkan
judicial heavy, baik dalam makna positif maupun negatif.
Judicial heavy dapat bermakna positif bila hal itu dimaknai sebagai upaya menegakkan hukum dan keadilan.
Judicial heavy justru dapat menjadi negatif jika digunakan untuk memelihara konservatisme lembaga peradilan dan memuluskan preferensi-preferensi subjektif para hakim dan pesanan-pesanan politis tertentu. (Suteki dalam Martitah, 2013, xxii).
Munculnya
judicial heavy dalam tubuh peradilan konstitusi dapat membahayakan kehidupan kenegaraan Indonesia jika tidak diikuti integritas, profesionalitas, serta sikap negarawan dan mementingkan keadilan oleh para hakim konstitusi. Terlebih jika dikaitkan dengan putusan MK yang bersifat
final and binding dan
erga omnes (mengikat semua orang).
Ditangkapnya Akil Mochtar, ketua MK, oleh penyidik KPK pada 2 Oktober 2013 diduga kuat disebabkan menerima suap pada saat hakim MK tidak memiliki pengawasan bersifat eksternal. Hakim MK perlu pengawasan eksternal dalam rangka menjaga dan meneggakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang kedudukan, fungsi, dan tugasnya diatur dalam UUD 1945. Apakah kewenangan tersebut akan diberikan kepada Komisi Yudisial atau lembaga negara lainnya. Yang penting hakim MK perlu diawasi badan eksternal (
external oversight committee).
Disadari, kebebasan hakim diikat pula dengan tanggung jawab. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Kebebasan hakim (
independence of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya, yaitu akuntabilitas peradilan (
judicial accountability).
Konsekuensi lebih lanjut adanya akuntabilitas peradilan adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan. Baik mengenai jalannya peradilan maupun perilaku para aparatnya. Dengan tujuan agar kemandirian dan kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan sehingga dikhawatirkan menjadi tirani kekuasaan kehakiman†(
judicial tyranny).
Seringnya dikeluarkan putusan
ultra petita dapat memberikan kesan bahwa MK memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga-lembaga negara lainnya (
judicative heavy). Hal ini tidak sesuai dengan konsep perubahan UUD 1945 yang menempatkan lembaga-lembaga negara memiliki kedudukan yang sejajar dan sederajat. Tidak ada lembaga negara yang mendominasi lembaga negara yang lain. Sehingga akan senantiasa tercipta mekanisme
checks and balances system sebagai perwujudan dari penguatan sistem presidensial yang diamanatkan perubahan UUD 1945. [***]
Tulisan ini merupakan ringkasan disertasi penulis yang disampaikan pada ujian terbuka Program Doktor Ilmu Hukum FH Universitas Brawijaya Malang kemarin.
Catatan redaksi: Artikel di atas telah dimuat di Koran
Jawa Pos edisi Senin 26 Januari 2015.