. Sehubungan dengan munculnya tanggapan negatif sebagian masyarakat terkait pengajuan nama Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, Seskab Andi Widjayanto mengatakan, sebagaimana disampaikan Wapres Jusuf Kalla, pemerintah menggunakan asas praduga tak bersalah.
"Isu ini sudah muncul 2008, kemudian 2010, muncul lagi di masa pemerintahan Pak Jokowi untuk seleksi kabinet. Sampai hari ini tidak ada tindakan hukum apapun terhadap Pak Budi Gunawan. Jadi, presiden tidak bisa menggunakan isu-isu negatif terhadap yang bersangkutan untuk dasar melakukan seleksi," kata Andi di Bandung, Senin malam (12/1).
Seskab yang sedang mendampingi Presiden dalam kunjungan kerja ke Bandung menjelaskan, dalam penentuan nama Budi Gunawan sebagai Kapolri untuk dimintakan untuk dimintakan proses tindak lanjutnya di DPR-RI, presiden meminta pertimbangan dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Andi menyebutkan, Kompolnas mengajukan sembilan nama yang memenuhi persyaratan kepangkatan, jabatan untuk menjadi kapolri, salah satunya adalah Komjen Budi Gunawan.
"Dengan mempertimbangkan (Kompolnas) itu, lalu Pak Presiden pada hari Jumat (9/1) menulis surat ke DPR untuk mengusulkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri," terang Andi.
Begitu cepat dari Kompolnas ke usulan ke DPR? "Saya tidak tahu, kalau hal-hal yang menjadi prerogatif Presiden, kami di kantor kepresidenan tidak bertanya. Kami melaksanakan dan mengawal agar prosesnya sesuai regulasi yang ada," tukas Andi seraya membantah anggapan adanya faktor 'bisikan partai' dalam pengajuan nama Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.
Mengenai tidak dilibatkannya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pengajuan calon Kapolri itu, Seskab Andi Wijayanto menegaskan, tidak ada keharusan bagi Presiden untuk pemilihan Kapolri ini untuk melipatkan KPK dan PPATK.
"Keharusannya mendapatkan pertimbangan Kompolnas sebelum diajukan ke DPR. Itu saja. Itu yang diikuti oleh presiden. KSAL dan KSAU juga tidak melalui PPATK dan KPK," tegas Andi.
Ditambahkannya, bahwa Presiden menggunakan hak preogatifnya untuk memutuskan mana yang membutuhkan pertimbangan lain, mana yang mutlak menggunakan hak preogatifnya.
"Kami juga tidak bertanya. Kalau presiden memerintahkan kami untuk menggunakan pertimbangan pihak lain kami gunakan. Kalau tidak sikap kami di kantor mengawal Presiden menggunakan hak prerogatif itu," ujar Andi dilansir dari laman
setkab.go.id.
Terkait dengan pernyataan mantan Kepala PPATK Yunus Husein yang menyebut rapor merah Komje Budi Gunawan saat dilakukan klarifikasi menjelang pemilihan Kabinet Pemerintahan Jokowi-JK, Seskab menegaskan, bahwa seluruh data yang diberikan oleh PPATK ke Presiden saat Presiden ingin menjaring calon menteri itu sifatnya rahasia, ditujukan langsung oleh PPATK ke Presiden, digunakan hanya untuk kepentingan tersebut.
"Jadi saya tidak bisa mengkonfirmasi tentang rapor merah itu, silakan teman-teman bertanya ke Pak Yunus Husein darimana beliau mendapat informasi tersebut," demikian Seskab.
[rus]