DALAM pembukaan konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea pertama, Republik Indonesia (RI) wajib memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia, termasuk Palestina.
Pembukaan UUD 1945 itu berbunyi: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".
Perintah konstitusi itu mewajibkan setiap Warga Negara Indonesia (WNI) untuk mendukung kemerdekaan Palestina atas dasar perikemanusiaan dan perikeadilan. Apalagi, satu-satunya negara yang hingga detik ini belum merdeka dan masih terjajah oleh Israel adalah Palestina.
Jadi, perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina merupakan amanat konstitusi. Indonesia pun telah lama mengakui Palestina sebagai negara berdaulat sejak deklarasi 16 November 1988 di Aljazair. Pengakuan ini terwujud dalam 'Joint Communique' (Pernyataan Bersama) tentang dimulainya hubungan diplomatik antara Indonesia-Palestina di tingkat Kedutaan Besar.
Dalam konteks hubungan diplomatik Indonesia-Palestina, ide pembukaan Kantor Perwakilan Hamas di Indonesia dapat berdampak positif dan negatif. Jika kedutaan besar (Kedubes) Palestina di Indonesia menyetujui usulan itu, maka pembukaan kantor perwakilan Hamas akan berdampak positif terhadap percepatan proses kemerdekaan Indonesia.
Namun jika Kedutaan Besar Palestina tidak menyetujui usulan itu, maka pembukaan kantor perwakilan Hamas di Indonesia justru kontra produktif.Hal ini berpotensi menimbulkan perwakilan diplomatik kembar Palestina di Indonesia. Jika sampai terjadi, perjuangan kemerdekaan Palestina akan terhambat perpecahan di dalam negeri.
Sebagai negara berdaulat, Indonesia tentu bisa mengambil keputusan sepihak terhadap ide perwakilan Hamas itu.
Namun demi persatuan bangsa dan perjuangan kemerdekaan Palestina, sudah sepatutnya Indonesia berkonsultasi dan mendiskusikan masalah sensitif ini dengan Kedubes Palestina.
Dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina tidak perlu diragukan. Di berbagai level diplomatik internasional, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia telah membuktikan komitmen itu.
Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Menteri Luar Negeri (Menlu) saat itu, Dr. Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa, menegaskan dunia internasional harus mengakui kemerdekaan Palestina.
"Telah tiba waktunya bagi masyarakat internasional untuk membuat keputusan yang benar. Dunia tidak lagi bisa menutup mata terhadap penderitaan panjang Palestina," tegas Marty dalam pidato di Sidang Umum PBB, Jumat (30/10/2012).
Pengingkaran terhadap hak-hak dasar manusia dan kebebasan dasar, lanjut Marty, merupakan obstruksi (penyempitan/ sumbatan tidak normal) terhadap hak-hak bangsa Palestina untuk menentukan kemerdekaan dan nasib sendiri.
Ketegasan sikap Indonesia itu dinyatakan Menlu Marty untuk merespon Sidang Umum PBB yang telah mengakui status Palestina sebagai negara pengamat non (bukan) anggota (non member observer state).
Bahkan, Menlu Marty menuntut Israel untuk segera mengakhiri kegiatan pemukiman ilegal, mengangkat blokade Gaza, dan mengakhiri kebijakan yang tidak manusiawi di Palestina.
Ketegasan sikap Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina tidak perlu diragukan lagi. Hingga saat ini, Indonesia tidak pernah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Jadi, tidak ada pengakuan terhadap kedaulatan negara zionis itu.
Bahkan Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, pernah menegaskan dukungan RI terhadap kemerdekaan Palestina.
"Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel," tegas Presiden Soekarno saat menjawab pertanyaan wartawan pada 1962 silam.
Bagi Indonesia, perjuangan kemerdekaan Palestina haruslah didasari persatuan dan kesatuan antar seluruh rakyat Palestina, termasuk faksi Hamas dan Fatah.
Jadi, perwakilan kantor Hamas di Indonesia dapat saja didirikan jika memenuhi beberapa syarat berikut:
1. Ada nota diplomatik berupa surat izin resmi dari Kedubes Palestina terkait pendirian kantor Hamas di Indonesia.
2. Kantor perwakilan Hamas tidak dapat berfungsi sebagai perwakilan diplomatik Palestina karena sudah ada Kedubes Palestina di Jakarta.
3. Karakter fungsional kantor perwakilan Hamas di Indonesia sama seperti perwakilan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Indonesia yang memiliki cabang di luar negeri.
Misalnya, Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di Amerika Serikat, Turki, Saudi Arabia, Jepang dan negara-negara lainnya.
4. Masyarakat Indonesia tidak dapat menjadi anggota atau aktivis atau pengurus dari Kantor perwakilan Hamas di Indonesia. Kecuali sebagai anggota kehormatan saja.
Muhammad Ibrahim Hamdani, SIP
Asisten Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI)
Anggota Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)