KONDISI dalam negeri kini tak ubahnya miniatur politik yang memuakkan di mata para pemuda (Islam). Fenomena korupsi, politik transaksional, dan prilaku ambetenaar elite parpol menjauhkan keinginan mereka untuk terlibat aktif di politik praktis. Berbagai persoalan kebangsaan hari-hari ini hanya menjadi angin lalu yang tidak menarik untuk mereka sikapi.
Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini, sejumlah politisi muda seperti Angelina Sondakh (36), Wa Ode Nurhayati (33), Anas Urbaningrum (45), Andi Mallarangeng (51) dan Nazarrudin (36) menghuni jeruji besi karena korupsi. Akibat ulah mereka citra politik kian terpuruk dan anak-anak muda semakin enggan terlibat aktif ke partai politik.
Apatisme pemuda terhadap politik tidak boleh berlanjut lama. Sebab politik bukanlah "barang kotor†yang harus dihindari, melainkan bagian dari strategi mengelola negara agar berjalan secara baik. Lantas mengapa sistem politik kita saat ini mengalami kegagalan. Menurut penuis, hal ini terjadi karena tidak adanya sejumlah orang pandai yang berperan serta menyelesaikan berbagai problem kebangsaan lewat jalur politik.
Seiring dengan penyelenggaraan Muktamar Pemuda Muhammadiyah XVI yang diadakan di Padang, 20-23 November 2014, tidak ada salahnya jika penulis mengajak seluruh kaum muda di Indonesia pada umumnya, serta Pemuda Muhammadiyah pada khususnya untuk berefleksi diri telah seberapa besar peran kebangsaan kita terhadap negara ini.
Dalam beberapa hal, Pemuda Muhammadiyah berkontribusi besar terhadap berbagai problem kebangsaan. Pemuda kerap terlibat aktif mendampingi korban-korban bencana alam, menyuarakan keadilan sosial, serta bergerak bersama masyarakat untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populis.
Namun harus diakui bahwa Pemuda Muhammadiyah masih memiliki kelemahan dalam diaspora kader politik. Hanya sedikit sekali kader-kader Pemuda yang sekarang menduduki jabatan penting di partai politik. Selain itu, sejak berdiri tahun 1932, salah satu organisasi otonom Muhammadiyah ini belum punya banyak kader menonjol yang menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan.
Pasca Reformasi (1998), tercatat hanya Hajriyanto Y. Thohari, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (1993-1998) yang sukses di gelanggang politik. Selain duduk sebagai salah satu ketua DPP Golkar, pria ini juga mantan Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014. Sementara dua periode setelahnya, Pemuda Muhammadiyah tak melahirkan kader potensial di politik.
Angin segar sedikit menolong ketika Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (2010-2014), Saleh Partaonan Daulay didapuk sebagai Ketua Komisi VIII DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN). Dia juga menjabat posisi strategis sebagai salah satu Ketua DPP PAN.
Sementara kader-kader Pemuda yang lain hingga saat ini belum banyak yang mengisi ruang-ruang partai politik. Meski sejarah berdirinya PAN diinisiasi sejumlah tokoh dari Persyarikatan, namun partai ini tak banyak dihuni kader-kader muda Muhammadiyah. Justru partai berlambanga matahari itu kini banyak ditempati mantan aktivis-aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Hal ini sungguh kontras dengan eksistensi GP Ansor Nahdatul Ulama di pentas politik nasional. Belum lama ini, publik menyaksikan keterlibatan Nusron Wahid, Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor (2011-2015), sebagai salah satu tim sukses Jokowi-JK di Pilpres 2014. Dia juga tercatat pernah menduduki anggota Komisi VI DPR RI (2009-2014), dan di pemilihan legislatif kemarin Nusron mendapat suara terbanyak dari seluruh calon legislatif dari partai Golkar, yaitu 243 ribu suara.
Kader GP Ansor yang moncer di panggung politik tak hanya Nusron, tapi juga Syaifullah Yusuf. Pria yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur itu adalah Ketua Umum PP GP Ansor dua periode (2000-2005 dan 2005-2010). Selain menjabat Wagub Jatim selama dua periode, pria yang pernah aktif di PDIP dan PKB ini juga pernah menduduki Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di era kabinet Indonesia Bersatu (2004-2007).
Dari fakta tersebut, kader-kader Pemuda Muhammadiyah seharusnya sudah tidak lagi alergi terhadap partai politik. Pasalnya, untuk menyuarakan keadilan sosial berbagai strategi dapat dilakukan, baik melalui pendampingan masyarakat bawah (grass root), maupun lewat lajur partai politik. Justru lewat partai politik maka keteraturan sosial itu bisa dimulai sejak pembuatan kebijakan.
Karena itu, dalam pelaksanaan Muktamar Pemuda Muhammadiyah XVI yang mengangkat tema Meneguhkan Dakwah dan Meninggikan Moral untuk Indonesia Berkemajuan, ada baiknya jika para aktivis yang tergabung dalam pergerakan ini mulai berfikir serisu untuk mentransformasukan kader-kader politiknya ke sejumlah partai politik. Jika banyak kader berdiaspora ke sejumlah parpol, maka semakin besar pula peluang Persyarikatan untuk mengabdi kepada negara.
"Kekalahan†Muhammadiyah dalam negosiasi mengisi kursi Kabinet Kerja Jokowi-JK saat ini tidak lain karena imbas dari minimnya kader Persyarikatan yang berada di posisi-posisi strategis partai politik. Sebab itu, berkaca dari pengalaman ini setidaknya ada kesadaran dari para tetua†Muhammadiyah supaya tidak lagi membuat keputusan yang melarang kader-kadernya untuk aktif di partai politik.
Bagaimanapun partai politik sebagai salah satu elemen demokrasi diperlukan untuk membangun bangsa ke depan. Jika Muhammadiyah terus berjauhan†dengan politik, maka itu sama seperti mengkerdilkan kader-kader yang potensial di bidang ini. Ada baiknya jika organisasi Islam yang didirikan Ahmad Dahlan tersebut mendukung para aktivisnya untuk berdiaspora ke berbagai ruang aktulasisasi, baik partai politik maupun dunia pendidikan.
Muktamar Pemuda Muhammadiyah kali ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang jernih demi stabilitas perpolitikan nasional. Sebab berbagai problematika kebangsaan bukan hanya menjadi beban yang harus diselesaikan pemerintah an sich, melainkan juga semua elemen masyarakat khususnya para pemuda yang memiliki progresifitas tinggi.
Melalui pelaksanaan Muktamar ini juga, Pemuda Muhammadiyah kiranya bisa menjadi teladan bagi anak-anak muda supaya tak lagi apatis untuk mengikuti isu-isu politik dalam negeri. Meski terdengar membosankan karena banyak diwarnai konflik tak produktif, namun kaum muda tidak boleh enggan terhadap poltik.
Jika bicara tentang realitas kebangsaan saja kaum muda mengalami kegagapan, bagaimana mereka mau menyelesaikan problem-problem kebangsaan ke depan. Untuk itu, unggul intelektual saja tidak cukup bila tidak memiliki loyalitas dan intelektualitas yang tinggi dalam menyoal problem-problem kebangsaan.
[***] Muchlas Rowi Alumni Pesantren Darul Arqom Muhammadiyah Garut
Mantan aktifis Pemuda Muhammadiyah DI Yogyakarta