NAMA kabinet adalah komunikasi pertama yang diucap presiden RI ke-7 Joko Widodo kepada publik setelah dilantik. Jika ditelisik hampir seluruh Presiden Republik Indonesia dalam sejarahnya menjadikan ikon kabinet hal yang utama sebelum menyebut nama-nama menteri.
Sejak kabinet Presidensial yang pertama dibentuk Soekarno-Hatta (2 September-14 November 1945), hingga kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla (20 Oktober 2014-2019) selalu mendahulukan nama kabinet sebagai langkah awal menahkodai pemerintahan. Ada yang bahkan menyebutnya dengan nama pribadi seperti dalam kabinet Sjahrir dan kabinet Amir Sjarifudin.
Namun apakah dalam pembentukan kabinet tersebut bukan tanpa kompromi?
Membaca rubrik analisis media Australia, The Sydney Morning Herald pada selasa (28/10/2014), secara tegas menyebut kabinet Jokowi-JK bukanlah kabinet Kerja melainkan kabinet Kompromi. Analisis yang ditulis Michael Bachelard dengan mengangkat judul “Indonesia: Jokowi’s Cabinet of compromises†itu mengungkapkan jika faktor sosok Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri adalah pintu dari kompromi politik dalam pembentukan kabinet Jokowi-JK.
Menurut Bacherald, Megawati menjadi patronase yang tidak bisa dihindari meski Jokowi mendapatkan kepercayaan publik secara penuh. Terlebih masih ingat dalam benak kita, Jokowi mengakui dirinya adalah petugas partai. Tentu ungkapan simbolik tersebut mempertegas adanya politik feodal yang sulit dihapus dalam tradisi partai pemenang pemilu 2014 ini.
Selain adanya patron politik, ditutupinya 8 dari 43 nama calon menteri yang diserahkan kepada KPK yang terindikasi mendapat warna merah dan kuning karena diduga terjerat praktik korupsi mencerminkan adanya ketidaktransparan.
Padahal kabinet bersih yang diidamkan presiden asal Solo itu selalu jadi andalan untuk membedakannya dengan karakter kabinet Presiden pendahulunya SBY yang mencatat rekor dengan menteri terbanyak yang menjadi pesakitan.
Koalisi dengan Syarat
Meski dari 34 nama menteri yang berasal dari parpol hanya 14, namun bukan berarti kabinet kerja Jokowi-JK bias dari bagi-bagi jatah. Koalisi tanpa syarat yang sempat dikatakan eks Gubernur DKI itu juga masih tercatat jika realitasnya menjadi ‘Syarat Koalisi’ dalam kabinet (power sharing authority).
PDIP sebagai think-tank parpol pengusung Jokowi sadar jika sokongan di parlemen menentukan efektifitas kebijakan Jokowi-JK. Jika parpol pengusung mundur akibat konsistensi Jokowi untuk tidak bagi-bagi kursi, tentu kekuatan oposisi yang kini disebut kekuatan penyeimbang akan bertambah dominan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah pemilihan komposisi kabinet kerja ini berdasarkan kriteria bersih dari korupsi, berintegritas, dan kompeten? Atau politik kompromi?
Berkaca pada kondisi riilnya, Jokowi akhirnya harus mengakui ucapan ilmuwan politik Amerika, Harold D Lasswell yang mengatakan jika politik adalah “siapa dapat apaâ€. Meski Jokowi selalu mengatakan dipilih oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Namun akhirnya Jokowi harus berasosiasi dengan kepentingan politik (politic interest) yang berkumpul dalam pemerintahannya.
Dengan besarnya ekspektasi yang diluapkan pendukungnya, Jokowi semestinya mengindahkan opsi-opsi yang membisik dibelakang kepentingan politik parpol. Mendahulukan kepentingan rakyat dan perubahan seperti dalam jargon “Revolusi Mentalâ€.
Jika begitu apakah kita patut menilai bahwa presiden RI ke-7 itu benar-benar mengedepankan prinsip meritokrasi dalam menyusun kabinetnya. Kita ketahui Meritokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang komposisi kabinetnya terpilih berdasarkan standar prestasi, kompetensi dan integritas.
Padahal Presiden Joko Widodo sudah pernah mengaktualisasikan gaya meritokrasi saat dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pola lelang jabatan yang pertama kalinya dalam sejarah birokrasi menjadi terobosan emas dalam sistem penempatan pejabat eselon di lingkungan Pemerintah Daerah.
Tentu pemerintahan daerah dengan mengelola pemerintah pusat hal yang berbeda. Dimensi politik transaksional di pemerintahan pusat memang lebih kental dalam penentuan komposisi kabinet. Namun demikian, belum hilang dalam ingatan sosok-sosok kepala daerah yang berprestasi sejatinya diberikan kesempatan untuk bergabung dalam kabinet kerja. Namun apa lacur jika kompromi politik memang akhirnya tak bisa dipisahkan dalam kabinet kompromi.
Febri Widiyanto
Mahasiswa Pascasarjana UNJ - Pegiat ekonomi-politik PolCES (Political Communication and Economic Studies) dan Koordinator bidang Riset PUSKAPED