TERLEPAS dari soal ketatanegaraan, proses pengumuman kabinet oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan sebuah proses yang menarik. Betapa tidak, Jokowi secara sadar menggunakan landasan teori komunikasi untuk menjadikan rangkaian pengumuman kabinet menjadi peristiwa yang layak dikonsumsi publik.
Landasan teori pertama yang digunakan adalah Teori Dramaturginya Erving Goffman, seperti yang ditulis dalam bukunya "The Presentational of Self in Everyday Life". Dalam buku itu, Goffman menyebutkan bahwa kehidupan itu layaknya sebuah pertunjukan di atas panggung yang menampilkan peran-peran yang dimainkan. Kabinet layaknya kehidupan, mempunyai panggungnya sendiri.
Jokowi adalah sutradara sekaligus aktor itu sendiri, yang mengarahkan dan memproduksi aksi panggung agar menarik ditonton. Produksi bahasa verbal dan nonverbal dengan mengenakan atribut-atribut, misalnya kendaraan Innova hitam bukan Mercedes, kostum baju putih tangan panjang yang tergulung selengan dan asesoris blusukan menjadi pesan yang kuat.
"Aktor bertubuh kurus ini" memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri tapi bisa improvisasi bila diperlukan, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi.
Pengumuman kabinet menggunakan kaidah lakon tiga babak. Babak pertama dimulai ketika tirai dibuka di panggung Pelabuhan Tanjung Priok. Panggung dengan tata lampu dan suara yang lengkap itu, ternyata hanya panggung kosong dengan latar belakang kerlap-kerlip lampu kapal. Tak soal jika sang
actor belum muncul. Penonton yang tidak sabaran, berharap sang aktor utama tampil duluan menunjukkan protagonisnya. Namun, panggung kosong di pelabuhan itu adalah aksi pembuka tentang pesan simbolik kabinetnya yang pro ke bidang maritim.
Dengan kelihaian memainkan perannya, Jokowi menjadikan lakon pengumuman kabinet gunjingan di media massa dan media sosial yang membuat penonton semakin penasaran bagaimanakah adegan demi adegan berjalan. Secara tidak sadar, kita diantar oleh imajinasi dan mempersepsikan, mengapa panggung itu masih kosong, siapa saja aktor-aktor kabinet yang akan menemaninya di atas panggung. Lelaki atau wanita kah tokoh antagonis yang mengharu-birukan lakonnya, dan siapakah Sri Panggung yang membuat semua penonton terpana dan jatuh cinta dengan karakternya.
Ketika babak kedua dimulai, panggung pindah ke halaman Istana Merdeka. Disinilah lakon itu sebenarnya dimainkan, monolog pemeran utama disusul pemunculan para menteri dengan cara berlari ke atas panggung dengan baju putih tergulung lengannya mencerminkan simbol-simbol nonverbal kelas pekerja yang aktif dan produktif.
Dalam konteks media massa televisi, yang menyiarkan peristiwa itu secara langsung (live event) membuat lakon yang dimainkan lebih dramatis. Pada televisi, informasi yang disajikan menjadi lebih hidup dengan adanya visualisasi lewat penayangan visual bergerak dan audionya, ini yang disebut sebagai realitas pertama, sehingga lebih dipercayai dan kredibilitas yang tinggi di mata pemirsanya. Hal berbeda jika peristiwa tadi disajikan tidak secara langsung, dengan campur tangan gatekeeper newsroom, yang bisa mengolah peristiwa itu sesuai agenda setting atau disebut juga realitas kedua (second hand reality).
Meminjam istilah Goffman, ada wilayah depan dan wilayah belakang dari sebuah drama kehidupan. Wilayah depan (front stage) adalah peristiwa sosial yang menunjukan aktor itu beraktif pada peran formalnya, sedang wilayah belakang (back stage) adalah kamar rias, dimana actor tadi melepaskan topeng aktingnya dan menjadi dirinya sendiri.
Peran utama jurnalis, belum selesai setelah layar babak kedua ini diturunkan. Hingar bingar peristiwa, justru menimbulkan tantangan baru untuk mengetahui siapakah pemeran-pemeran di atas panggung itu. Terlepas dari ketokohan masing-masing menteri yang ditunjuk tersebut, terasa sekali liputan mengenai sosok menteri-menteri sedikit banyak dibawa oleh perasaan masing-masing redaksi. Gejala infotainment, tidak bisa dipisahkan dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, dengan liputan sosok kontroversial Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang menitikberatkan pada soal-soal atribusi sebagai lulusan SMP, perokok aktif, bertato, single parent.
Sebagai tiang keempat demokrasi, media massa haruslah kembali ke peran pengawasan pemerintah (watchdog). Perananan sebagai watchdog, diformulasikan dengan peliputan investigatif terhadap bagaimana sebuah kekuasaan dijalankan untuk kepentingan rakyat. Dengan menjalankan fungsi pengawasan, media massa mampu mengawal sebuah kekuasaan ke arah lebih baik, tidak koruptif, adil dan membawa kepentingan publik yang lebih luas.
Babak ketiga lakon Kabinet Jokowi sudah dimulai, pun menjadi tanggungjawab media massa juga untuk mengawal akhir dari drama yang sedang dipentaskan. Apakah lakon ini ingin berakhir dengan tragedi penangkapan beberapa menteri oleh KPK atau
happy ending. [***]
Hendrata Yudha
Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)