Berita

ilustrasi/net

Publika

Revisi P3 SPS, Mengekang atau Melindungi Jurnalis TV?

SELASA, 07 OKTOBER 2014 | 05:35 WIB

EKSISTENSI Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat. Begitu disebutkan Pasal 8 ayat 1 UU Penyiaran. Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Secara konseptual posisi ini menempatkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain biasa dikenal dengan auxilarry state institution.

Untuk menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi.

Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya.


Menarik sekali mengikuti Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Sebagai wakil masyarakat, para komisioner KPI yang hadir dalam FGD itu secara terbuka mengakui bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 SPS) tentang karya-karya jurnalisik yang merupakan produk turunan dari kewenangan KPI sesuai UU Penyiaran itu, ternyata masih perlu disempurnakan. Berdasarkan pengalaman pengaduan masyarakat dan perkembangkan dunia penyiaran, ada beberapa pasal-pasal yang tidak “bunyi”, kaku terlalu konseptual, multi tafsir  kurang visioner dan jauh dari operasionalisasi di lapangan yang membuat kagok proses produksi jurnalistik, sehingga menimbulkan benturan yang tak perlu.

Di sisi lain, suasana “kebatinan” ketika P3 SPS lama dan situasi sekarang  itu disusun sudah jauh berbeda. Komposisi komisioner KPI dengan latar belakang jurnalis yang cukup banyak, memberikan warna ke arah perbaikan yang ingin melindungi profesi jurnalis televisi, bukan mengekang,  merintangi bahkan membatasi kerja jurnalistik. Apalagi saat ini trend para stake holder penyiaran terutama masyarakat merindukan produk  jurnalistik yang lebih pro publik, bermanfaat bagi kehidupan yang lebih baik, berimbang, tidak menghasut atau menyesatkan, dan jauh dari sikap partisan.

Sebagian besar pengelelola newsroom televisi berusaha menyajikan berita yang sesuai kode etik, aturan dan kepatutan norma-norma sosial yang ada, hanya saja dalam praktek memang masih sering “terpeleset” memproduksi karya jurnalistik yang dibumbui adegan kekerasan, cabul, dan sadis terutama di berita-berita peristiwa kecelakaan lalu lintas, bencana alam dan kriminalitas. Tidak dipungkiri, atas nama share, rating, dan ekskusivitas, tayangan kekerasan tetap memilik penontonnya. Hanya saja, karena siaran televisi itu bermuka dua, disatu sisi dapat mengedukasi masyarakat menjadi lebih baik namun di sisi lain,  malah menimbulkan efek peniruan oleh masyarakat, sehingga semestinya adegan kekerasan, sadis, cabul tidak lagi muncul di layar kaca.

Revisi P3 SPS diperlukan agar tidak ada kebingungan. Seperti yang tercantum pada Pasal 17, yang menyebutkan Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan/dan atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan. Pasal ini perlu diperjelas, dengan memasukkan keterangan bahwa kekerasan itu bukan hanya bersifat fisik tapi juga nonfisik. Aksi demonstrasi kelompok masyaraka dan ormas yang mengatasnamakan agama, dan berulang kali mengancam, menyerukan kalimat penghasutan, termasuk kategori kekerasan nonfisik sehingga tak layak masuk dalam badan berita atau kutipan (sound of talent).

Adegan kekerasan fisik dan nonfisik, yang ditampilkan secara audio, visual (biasanya rekaman CCTV kecelakaan lalu lintas, rekaman masyarakat soal adegan mesum, peristiwa  bencana alam, video amatir kekerasan kriminalitas) maupun narasi, juga secara tidak sadar bisa masuk ke berita tanpa proses jurnalistik.

Penjelasan konsep siaran langsung atau live report, yang kini secara teknis menjadi lebih mudah dan murah juga harus dioperasionalkan, agar tidak multitafsir. Pada Pasal 47, soal siaran langsung tidak dibedakan apakah itu program panggung musik atau program berita. Ada kecenderungan, siaran langsung dikemas sebagai gimmick dalam produk berita itu agar kelihatan eksklusif. Live report, seharusnya dilabeli sebagai penyampaikan informasi yang sangat-sangat penting, punya kepentingan publik yang lebih luas, berdampak bagi hajat hidup orang banyak, bukan sekedar liputan yang berlebihan (hyper coverage).

Jika live report ini dilakukan oleh jurnalis televisi yang “belum matang” maka besar sekali potensi pengabaian hukum besi kode etik, dan elemen dasar jurnalistik yang berpangku pada verifikasi fakta dan kredibilitas narasumber. Live report penggerebekan teroris, aksi demonstrasi ormas atau buruh, penggusuran, bencana alam dan sejenisnya yang hanya menyajikan tontonan visual yang dramatis dan kaya gambar itu bisa berpotensi menyesatkan masyarakat dan berubah menjadi laporan agitasi yang bisa menyulut kekerasan lanjutan.

Hal lain yang tak kalah penting, KPI sebagai lembaga negara independen yang merupakan representasi masyarakat bukan penguasa,  hendaknya menghapus “ancaman” pembreidelan pers yang masih tercantum dalam Pasal 75 Standar Program Siaran, mengenai sanksi pelanggaran berupa penghentian sementara mata acara yang bermasalah (huruf b), pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu (huruf e), tidak diberi perpanjangan ijin penyelenggara siaran (huruf f), dan pencabutan ijin penyelenggaraan  penyiaran (huruf g).  UU Pokok Pers yang lebih tinggi derajatnya menjamin bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran.

Penghapusan press breidel ordonantie peninggalan Orba itu, tidak akan membuat tumpul taring KPI. jika pelanggaran P3 SPS ini masih terus dilakukan oleh lembaga penyiaran. KPI bisa memaksimalkan sanksi denda, namun  dengan penjabaran aturan main yang detail. Denda tidak lagi harus berupa denda cash money tapi dikonversikan menjadi tayangan iklan layanan masyarakat (ILM) dengan tema civic education.

Revisi P3 SPS memang menjadi kewajiban dan harus didukung semua stake holder penyiaran, menyesuaikan dengan dinamika masyarakat dan nilai-nilai yang berkembang pada masanya. Ujungnya adalah melindungi jurnalis televisi memproduksi program berita yang berkualitas di layar kaca.[***]

Hendrata Yudha
Pengurus pusat IJTI, fellowship Eka Tjipta Foundation di Pasca Sarjana Universitas Mercu Buana 

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Kreditur Tak Boleh Cuci Tangan: OJK Perketat Aturan Penagihan Utang Pasca Tragedi Kalibata

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:15

Dolar Melemah di Tengah Data Tenaga Kerja AS yang Variatif

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00

Penghormatan 75 Tahun Pengabdian: Memori Kolektif Haji dalam Buku Pamungkas Ditjen PHU

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:48

Emas Menguat Didorong Data Pengangguran AS dan Prospek Pemangkasan Suku Bunga Fed

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:23

Bursa Eropa Tumbang Dihantam Data Ketenagakerjaan AS dan Kecemasan Global

Rabu, 17 Desember 2025 | 07:01

Pembatasan Truk saat Nataru Bisa Picu Kenaikan Biaya Logistik

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:46

Dokter Tifa Kecewa Penyidik Perlihatkan Ijazah Jokowi cuma 10 Menit

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:35

Lompatan Cara Belajar

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:22

Jakarta Hasilkan Bahan Bakar Alternatif dari RDF Plant Rorotan

Rabu, 17 Desember 2025 | 06:11

Dedi Mulyadi Larang Angkot di Puncak Beroperasi selama Nataru

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:48

Selengkapnya