Sebelum pilpres lalu, berbagai pihak membahas RUU Pilkada secara jernih. Tapi kini sarat dengan muatan politik.
Apalagi dua kubu berseberangan di DPR adalah pendukung Prabowo-Hatta dan pendukung Jokowi-JK dalam pilpres lalu.
Koalisi pendukung Prabowo-Hatta, yaitu Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PPP, dan PAN sepakat kepala daerah dipilih DPRD.
Sementara partai pendukung Jokowi-JK, yakni PDIP, PKB dan Partai Hanura mendukung pemilihan secara langsung, seperti yang berjalan sekarang ini.
Bekas Ketua Tim Sukses Prabowo-Hatta, Mahfud MD mengakui, kontroversi pembahasan RUU Pilkada terjadi karena adanya pergulatan politik.
“Pertarungan politik antara koalisi Merah Putih dan Indonesia Hebat pasca pelaksanaan Pilpres 2014 belum sepenuhnya usai,’’ ungkap Mahfud MD kepada
Rakyat Merdeka, Rabu (10/9).
Menurut Mahfud, saat dirinya menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), pihaknya dengan KPU dan Kementerian Dalam Negeri pernah menggelar seminar bersama untuk membahas RUU Pilkada, Januari 2012 lalu.
“Waktu itu belum ada koalisi-koalisian, bahkan belum ada nama Jokowi maupun Prabowo sebagai capres resmi. Seminar yang dibuka oleh Menko Polhukam itu berlangsung baik, evaluasinya jernih,†paparnya.
Berikut kutipan selengkapnya;Apa hasil seminar bersama itu?Pendapat umum waktu itu, pilkada langsung perlu dievaluasi. Sebab, menimbulkan sejumlah masalah terhadap rakyat. Saat itu, penggagas dan pembuat Undang-undang pilkada langsung, Ryaas Rasyid menyarankan, pelaksanaan pilkada tetap dilakukan secara langsung. Tapi, kalau ada kandidat yang terbukti melakukan kecurangan, seperti money politics langsung didiskualifikasi.
Pandangan Anda, bagaimana?Semua ada plus minusnya.
Bukankah terjadi kemunduran demokrasi bila kepala daerah dipilih DPRD?Kalau kita melihat sejarah, sejak 1945 kita sering mengubah-ubah Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Ada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1947, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1957, Perpres Nomor 6 Tahun 1959, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.
Prof Ateng Syafruddin menyatakan, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah kita terus berjalan sebagai proses eksperimentasi atau berubah-ubah sesuai aspirasi masyarakat.
Bisakah pemilihan kepala daerah melalui DPRD membuka ruang bagi profesional di luar parpol?Bisa saja. Tergantung bagaimana undang-undang mengaturnya. Apa parpol-parpol itu mau baik atau tidak.
Sebagian kalangan berpandangan, jika kepala daerah dipilih DPRD, ruang korupsi dan politik oligarki semakin subur, ini bagaimana?Potensi adanya politik uang, bisa ada pada pilkada langsung maupun tidak langsung. Persoalan sebenarnya adalah mental curang dan mental korup para politisi kita. Ini yang harus diatasi.
Seperti saya katakan tadi, semua ada plus minusnya. Soal utamanya, mental korup yang sudah begitu buruk. Apa pun pilihannya, masalah utama itulah yang harus dipagari. Ide revolusi mental Jokowi, sangat penting untuk mencegah korupsi kepala daerah.
Terkait hirarki kekuasaan dan koordinasi antar pejabat daerah, lebih efektif dipilih DPRD atau langsung oleh rakyat?Soal koordinasi, tidak ada kaitan langsung dengan itu. Dipilih langsung atau tidak, tekanan pada desentralisasi, dekonsentrasi, dan perbantuannya bisa diatur secara sama.
Apa harapan Anda terhadap RUU Pilkada?Mudah-mudahan DPR dan pemerintah bisa memilih opsi terbaik. Aspirasi dan pendapat rakyat ditimbang secara jernih. ***