Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto diminta meninjau ulang program sertifikasi kompetensi oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), khususnya skema sertifikasi.
“Kami mengharapkan petugas yang bertanggung jawab membuat skema sertifikasi benar-benar memahami kompetensi kerja. Jangan membuat peraturan yang merugikan negara, khususnya dalam penyerapan anggaran negara yang pada akhirnya menghambat pembangunan nasional,†pinta Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeknas) Manahara Siahaan di Jakarta.
Menurut Manahara, kontraktor-kontraktor BUMN serta kontraktor dengan kualifikasi B2 lainnya yang ada saat ini, tidak dapat memenuhi persyaratan SDM (sumber daya manusia).
Hal ini terjadi karena, penanggung jawab teknis (PJT) dan penanggung jawab klasifikasi (PJK) tidak memenuhi persyaratan kompetensi sebagaimana yang tertuang dalam skema sertifikasi terbitan LPJK. Akibatnya, kualifikasi badan usaha tersebut harus diturunkan menjadi kualifikasi menengah.
Dia menjelaskan, pemberlakuan skema sertifikasi yang diterbitkan LPJK dalam pelaksanaan uji kompetensi tenaga ahli konstruksi mengakibatkan banyak tenaga ahli konstruksi yang tidak kompeten.
Dikatakan, seorang tenaga ahli konstruksi menurut skema sertifikasi tersebut harus pernah berprofesi dan kompeten sebagai konsultan perencana, konsultan pengawas dan sekaligus sebagai pelaksana.
“Sebagai contoh, kami lampirkan skema sertifikasi bagi ahli teknik jalan. Syaratnya, unit-unit kompetensi yang ada mensyaratkan seorang ahli teknik jalan wajib memiliki kompetensi sebagai perencana, pelaksana dan pengawas sekaligus. Di dunia kerja konstruksi seorang tenaga ahli yang bekerja sebagai perencana, pelaksana maupun pengawas memiliki karakteristik kompetensi berbeda-beda,†terang Manahara.
Seorang ahli perencana jalan, kata dia, akan menghasilkan perhitungan pembuatan jalan berdasarkan standar dan norma-norma yang ada. Sedangkan seorang ahli pelaksana jalan akan bergelut dengan manajemen konstruksi pelaksanaan pembangunan jalan dan seorang ahli pengawas jalan akan menggunakan dokumen-dokumen lelang yang telah disepakati sebagai acuan kerjanya dalam melaksanakan pengawasan.
Jika pelaksanaan uji kompetensi dilaksanakan sesuai dengan skema sertifikasi yang ada, dapat dipastikan tidak ada seorang tenaga ahli konstruksi yang dapat memenuhi persyaratan kompetensi tersebut, terutama untuk kualifikasi utama.
Oleh karena itu, tegasnya, Sertifikat Keahlian (SKA) Utama yang diberikan kepada tenaga ahli konstruksi setelah adanya skema sertifikasi ini, maka acuannya menjadi tidak layak.
Karena itu, lanjut Manahara, apabila hal ini masih tetap dipertahankan, maka tidak perlu lagi ada pembagian badan usaha yang bergerak di bidang usaha jasa perencana, pelaksana dan pengawasan. Cukup dengan satu badan usaha bisa merangkap sebagai perencana, pelaksana dan pengawas sekaligus.
Selain itu, dalam hal penerimaan pajak, pembagian klasifikasi lapangan usaha di sektor konstruksi harus diubah karena pajak penghasilan bagi usaha jasa perencana dan usaha jasa pelaksana saat ini berbeda. ***