Sikap pemerintah yang terlihat saklek untuk menaikan royalti batu bara sebesar 13,5 persen sebetulnya dipahami dengan baik oleh para pengusaha batubara.
"Para pengusaha batu bara paham kebijakan itu untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor tambang khususnya batu bara. Tapi, kapan dan berapa persentase kenaikannya yang harus disepakati bersama antara pengusaha dan pemerintah," kata pengusaha tambang, Harry Asmar di Kuningan, Jakarta, Kamis (17/7) petang.
Ia menceritakan, tren dari tahun 80an yang lalu saat pengusaha batubara masih belum mampu menguasai teknis pertambangan hingga akhirnya di tahun 90an, pemerintah sangat percaya kepada pelaku bisnis tambang untuk menggarap batubara yang ada di Indonesia.
"Namun, akibat banyaknya ilegal mining dan penambang yang nakal, seperti menambang tanpa merehabilitasi lokasi tambang usai melakukan kegiatan menambang, hal ini membuat pemerintah makin kesini makin tidak percaya dengan pengusaha," urainya.
Alhasil, pengusaha tambang yang bekerja secara legal dan melalui mekanisme-mekanisme yang ditetapkan pemerintah menjadi terkesan disamakan dengan para pelaku penambang ilegal yang tak bisa dipungkiri memang marak terjadi di Indonesia.
"Jika masih 13,5 persen, nanti bisa berdampak pada keberlangsungan kegiatan usaha pertambangan. Jika ini terjadi, bisa para pengusaha bisa berhutang sana sini, bangkrut, nanti karyawan kami terpaksa di rumahkan, kalau sudah begitu apa pemerintah mau bertanggung jawab atas nasib karyawan dan hutang-hutang itu," beber Harry yang direktur utama PT Reswara Minergi Hartama.
Seperti diketahui, dalam PP Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) disebutkan tarif royalti bagi pemegang IUP ditetapkan tiga persen, empat persen, dan tujuh persen sesuai nilai kalori dari batubara. Sementara bagi pemegang lisensi PKP2B (Perjanjian Kontrak Penambangan Batu Bara) adalah 13,5 persen. Pemerintah berencana menyamakan royalti untuk IUP dan PKP2B sebesar 13,5 persen.
[wid]