Berita

Pertahanan

Informasi Potensi Konflik Mestinya Dilokalisir Bukan Disebarluaskan

MINGGU, 13 JULI 2014 | 09:57 WIB | LAPORAN:

Informasi tentang rawan konflik pasca Pemilihan Presiden sebaiknya tidak dilanjutkan, karena hal itu sama dengan menebar rasa takut. Semua potensi, konflik, gangguan keamanan dan ketertiban itu seharusnya dieliminir.

"Kita paham, siapapun yang dimenangkan oleh pengumuman KPU pada 22 Juli mendatang, yg kalah pasti akan menuding lawannya yang menang melakukan kecurangan," kata anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo melalui pesan elektroniknya, Minggu (13/7). 

Namun, sejauh disalurkan pada mekanisme konstitusi tidak masalah. Yakni, mengajukan gugatan ke MK. Justru, menurut dia, yang berbahaya jika ada pengerahan massa di tingkat akar rumput. Di sinilah sebetulnya penanganan dini aparat dibutuhkan, mencegah dan melumpuhkan benih-benih konflik horizontal tersebut dari kedua belah pihak.

"Di sinilah peran intelejen negara dipertaruhkan," tegasnya.

Ia mengamati, ada kecenderungan aneh yang terjadi sebelum dan setelah pelaksanaan Pilpres 2014. Presiden dan beberapa pejabat tinggi negara, termasuk Kepala BIN, mengungkap potensi konflik. Sejauh yang dipahami masyarakat, jelas dia, informasi potensi konflik seharusnya dilokalisir di kalangan intelijen dan pejabat negara yang berkaitan dan bukan disebarluaskan.

Lazimnya, potensi konflik itu langsung direspons atau dieliminasi, sebelum dia benar-benar mengganggu keamanan dan ketertiban umum.  Namun, jelang dan sesudah Pilpres 2014 ini, potensi konflik itu terus menerus disebarluaskan.

"Kepala BIN pernah mengatakan, konflik bisa muncul karena ketidakpuasan kubu calon presidenyang kalah terhadap hasil Pilpres. Sedangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui jika persaingan Pilpres 2014 sangat keras dan rawan terjadi konflik," ulasnya.

Sekali lagi, dia mengimbau agar pernyataan tentang rawan konflik tidak dilanjutkan. Karena hal ini bukan hanya menebar rasa takut, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian.[wid]

Populer

Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata

Selasa, 08 Oktober 2024 | 10:03

PDIP Bisa Dapat 3 Menteri tapi Terhalang Chemistry Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 01:53

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Prabowo Sudah Kalkulasi Chemistry PDIP dengan Gibran

Rabu, 09 Oktober 2024 | 02:35

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

Bakamla Jangan Lagi Gunakan Identitas Coast Guard

Rabu, 09 Oktober 2024 | 06:46

CEO Coinbase Umumkan Pernikahan, Netizen Seret Nama Raline Shah yang Pernah jadi Istrinya

Kamis, 10 Oktober 2024 | 09:37

UPDATE

Update Kondisi Terkini Prajurit TNI Terkena Serangan Israel di Lebanon

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 10:10

Senator Aanya Buka-bukaan soal Interupsi Komeng di Paripurna DPD

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 10:08

Main dalam "In the Name of Justice", Steven Seagal Nyatakan Siap Mati Demi Rusia

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 10:02

Jelang Peresmian, Amanah Dorong Siswa jadi Agen Perubahan

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 09:54

Industri Manufaktur Indonesia Raup Kesepakatan Bisnis Senilai Lebih dari 10 Juta Dolar AS di MWO

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 09:48

KTT ASEAN-India, Airlangga: Investasi India Konkret

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 09:43

Harga Emas Antam Melejit di Akhir Pekan, Satu Gram Nyaris Tembus Rp1,5 Juta

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 09:15

Berembus Demo 20 Oktober, Pengamat: Transisi Harus Tetap Mulus

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 09:06

Buyer dari 13 Negara Tandatangani Kontrak Kerja Sama Senilai Rp13 Triliun di TEI 2024

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 08:55

Bursa Saham AS Menghijau, Dow Jones dan S&P 500 Tembus Rekor Tertinggi

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 08:46

Selengkapnya