Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak bisa menyelesaikan semua perkara dalam Pemilu Legislatif 9 April lalu sampai pelaksanaan Pemilu Presiden 9 Juli.
Sebab, DKPP menerima 3.045 dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu pasca pelaksanaan pileg lalu. Tapi DKPP terus bersidang menyelesaikan semua dugaan pelanggaran yang diadukan itu meski di saat pencoblosan pilpres.
“Dari 3.045 pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, DKPP telah menggelar persidangan 178 perkara dan memutuskan 106 perkara,’’ papar Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Menurut Jimly, Dari total perkara yang diputus, DKPP memberhentikan secara tetap 98 orang penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan di seluruh Indonesia.
“DKPP bersidang sesuai jadwal dan tak bisa didikte pihak lain. Pilpres urusannya KPU dan Bawaslu. Kami tidak tergantung jadwal mereka,†jelasnya.
Berikut kutipan selengkapnya: Kapan perkara itu dituntaskan?Kami tidak ada kaitan dengan pelaksanaan Pilpres. DKPP akan terus bersidang meski pilpres telah dilakukan. Mau tahun depan atau dua tahun lagi selesainya, itu nggak punya kadaluarsa. Pelanggaran tidak boleh dibiarkan.
Bagaimana dengan penyelenggara yang diduga melakukan pelanggaran, tapi masih bertugas dalam pilpres?Nggak kenapa-kenapa, nggak selesai, nggak ada masalah. Kalau belum selesai, mereka akan jadi penyelenggara. Apakah semua perkara yang diadukan harus selesai sebelum pilpres. Nggak bisa dong. Perkara yang disampaikan jumlahnya ribuan, masak ditarget selesai sebelum pilpres, yang benar saja.
Terhadap penyelenggara yang sudah diberi sanksi peringatan, apa pesan DKPP?Kami berharap, (penyelenggara diberi sanksi peringatan) jangan mengulangi kesalahan. Yang sudah direhabilitasi namanya juga harus kerja lebih hati-hati, karena sudah pernah dilaporkan ke DKPP. Mereka harus lebih teliti dan cermat.
Apa hal terpenting yang perlu diperhatikan penyelenggara pemilu pada pilpres?Jangan berpihak. Penyelenggara pemilu, harus lebih berhati-hati dan membuktikan bahwa mereka mampu bersikap netral dalam pilpres.
Kalau petugas pilpres berpihak, bisa dipukuli orang, ini berbahaya, penyelenggara bisa jadi korban. Sebab, dua pasangan ini pasti siapkan saksi sampai ke tingkat TPS (tempat pemungutan suara) dengan tingkat emosi pendukung masing-masing pasangan tinggi sekali.
Maka tidak ada jalan lain, semua penyelenggara pemilu mulai dari pusat sampai ke TPS jangan berpihak.
Soal intervensi politik?Kami temukan dari perkara-perkara selama dua tahun ini termasuk setelah pileg, banyak sekali para kepala daerah dan juga PNS-PNS ikut terlibat mengintervensi penyelenggara pemilu di daerah, ini bahaya.
Temuan itu diketahui dari proses sidang dugaan pelanggaran etik anggota KPU dan Bawaslu. DKPP tidak bisa memecat kepala daerah dan PNS karena bukan ranah DKPP. Tapi, datanya ada di DKPP. Jadi, kalau nanti presiden terpilih butuh data dari DKPP, bisa kami sodorin. Pecat saja itu PNS karena terbukti berpihak.
Apa saran Anda kepada KPU dan Bawaslu?Kami meminta penyelenggara pemilu tidak hanyut dalam tensi tinggi suasana Pemilihan Presiden 2014. Lantaran hanya diikuti dua pasangan calon, persaingan terkesan sangat keras.
Apa saja kendala mencegah pelanggaran?Sejak dari zaman Nabi Adam juga sudah ada pelanggaran. Apalagi di zaman yang serba terbuka informasi saat ini. Dalam pelaksanaan pemilu sudah pasti pelanggaran jumlahnya banyak. Yang terpenting sudah ada tindakan bagi yang melakukan pelanggaran tersebut.
Kinerja penyelenggara pilpres, sudah maksimal?Saat ini saya belum bisa menilai. Tunggu semua prosesnya sudah selesai. Kami mengingatkan KPU dan Bawaslu untuk terus mengawal proses pilpres, cegah praktik jual-beli suara dalam pilpres.
Bagaimana mencegah praktik jual beli suara?Demi mencegah terjadinya kecurangan pada proses ini, pengawasan internal harus diefektifkan. Sistem pengawasan eksternal dilakukan oleh Bawaslu. Itu yang harus diperlihatkan KPU dan Bawaslu untuk menyelamatkan suara rakyat dari manipulasi rekap. ***