Berita

ilustrasi

Greenpeace Desak Presiden Pertajam Moratorium Hutan

Laju Kerusakan Lahan Capai 450 Ribu Hektar Per Tahun
RABU, 02 JULI 2014 | 10:16 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Penerapan kebijakan moratorium hutan belum berhasil menekan laju deforestasi (penghancuran lahan hutan) Indonesia. Hasil studi Nature Climate Change menunjukkan, Indonesia kehilangan sekitar 840.000 hektar hutan pada 2012.

Angka ini paling tinggi di du­nia, dibanding Brasil yang ke­hilangan 460.000 hektare hutan.  Pe­merintah baru nanti diharapkan mem­perkuat kebijakan mo­ra­torium (penghentian izin penge­lolaan) hutan.

“Moratorium hutan Indonesia ter­nyata tidak berhasil. Pene­ga­kan hukum masih lemah. Bah­kan, taman nasional juga dijarah,” ungkap Juru Kampanye Hutan Green­peace Indonesia Yuyun In­dradi di Jakarta, ke­marin.


Ia mengatakan, temuan hasil studi tentang tingginya laju de­fores­tasi Indonesia tersebut me­ru­pakan peringatan bagi pe­merintah untuk segera me­ngatasi kerusakan hutan.

“Penghancuran hutan yang me­ningkatkan emisi gas rumah kaca Indonesia, menyebabkan satwa seperti harimau Sumatera ke am­bang kepunahan, dan men­cip­ta­kan kondisi kebakaran hutan dan bencana kabut asap,” katanya.

Yuyun mengatakan, Presiden SBY ha­rus mengambil tindakan cepat pada sisa masa peme­rin­tahannya un­tuk menekan defo­restasi, apa­lagi moratorium peng­elolaan hu­tan merupakan bagian dari ko­mit­mennya untuk me­nurun­kan emisi.

Tahun 2009,  SBY me­nyam­paikan komitmen untuk menu­runkan emisi gas rumah kaca 26 persen pada 2020, atau sebesar 41 persen dengan bantuan lembaga internasional.

Komitmen tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan menge­luar­kan peraturan presiden (Per­pres) ten­tang moratorium izin-izin konsesi baru dan pembukaan hutan alam dan gambut.

“Sekarang saatnya untuk ber­tindak. Presiden memiliki ke­sempatan untuk memperkuat warisan hijaunya,” pinta Yuyun.

Yuyun berharap, presiden ter­pilih akan memperkuat ke­bijakan moratorium hutan. Selain itu, juga me­lakukan pembangunan tanpa me­ru­sak hutan dan memastikan prak­tik-praktik peng­gunaan la­han  secara bertang­gung­jawab.

“Pemerintah baru harus mem­perkuat moratorium hutan untuk melindungi seluruh hutan dan lahan gambut, dan menghormati hak-hak masyarakat lokal,” te­gasnya.
Tak hanya itu,  kebijakan itu untuk membantu perusahaan di seluruh dunia, seperti pulp dan kertas. “Saatnya pemerintah men­ciptakan insentif bagi prak­tek-praktek ini,” tegasnya.

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi juga berharap men­desak, Presiden bisa memperkuat Ins­truksi Presi­den (Inpres) ten­tang moratorium perizinan per­ke­bunan sebagai upaya jangka pan­jang mencegah kerusakan hutan di  daerah.

“Pemerintah harus menyadari bahwa jumlah perizinan perke­bun­an skala besar maupun Hutan Ta­naman Industri sudah me­lam­paui ambang batas kemampuan pemerintah. Pemerintah sudah tak bisa mengawasi dan me­ngen­dalikan dampak buruk yang bisa ditimbulkan,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Ke­hu­tanan Zulkifli Hasan sebelumnya mengklaim Indonesia ber­hasil menekan deforestasi men­jadi 450 hektar per tahun sepanjang 2011-2012.

“Sebelum reformasi 1998, rata-rata deforestasi mencapai tiga juta hektar per tahun, bahkan se­telah 1998 makin tinggi men­capai 3,5 juta hektare,” terangnya.

Menurut dia, penerapan ke­bi­jakan-kebijakan per­lin­dungan hu­tan memberikan sumbangan ber­makna dalam upaya pen­runan la­ju deforestasi, termasuk di an­taranya moratorium pemberian izin baru konsesi hutan primer dan lahan gambut selama 2011 hingga 2013 yang kemudian di­perpanjang sampai 2015.

Pembangunan Pendidikan Tak Sesuai Karakter Bangsa

Pembangunan pendidikan dan dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tidak hanya sekedar mencerdaskan bangsa, tapi bagaimana melahirkan ka­rak­ter bangsa sesuai dengan ama­nat konstitusi.

Hal itu dikatakan Direktur Lembaga Studi Kebijakan Pub­lik (LSKP) Ichsanudin Noorsy me­nanggapi debat Cawapres an­tara Hatta Rajasa dengan Ju­suf Kalla (JK) dengan tema “Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pe­nge­ta­huan dan Teknologi (Iptek).”

Dalam debat tersebut, Noorsy menilai, konsep dan jawaban JK soal membangun strategi pen­didikan berikut pembia­ya­annya tidak jelas.

Sementara Rektor Universitas Pa­rama­di­na Anies Baswedan se­belumnya menye­but­kan, sedi­kit­nya ada tiga aspek penting untuk menyokong pe­merataan pendidikan. Sa­lah sa­tunya, membuka akses pendidikan.

Menurut Anies, salah satu upa­ya mendekatkan akses pen­di­dikan yakni penyediaan bea­siswa yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat. “Apabila universitas swasta saja bisa menyediakan bea­­sis­wa, maka universitas ne­geri le­bih berkewajiban untuk me­me­nu­hi upaya itu guna me­ning­­kat­kan akses pendidikan ter­sebut. Swas­ta saja bisa mela­ku­kan itu, maka universitas negeri harus­nya juga bisa,” katanya.

Ia bahkan menyampaikan ke­kha­watirannya terkait biaya pen­­d­idikan ting­kat perguruan ting­gi yang mahal me­nye­bab­kan regenerasi kelas me­nengah berlaku stagnan.

Samperin PBB, IKOHI Desak Pemerintah Tuntaskan Kasus HAM
Agar Penghilangan Paksa Tak Terulang

Ikatan Ke­luarg­a Orang Hi­lang Indonesia (IKOHI), be­rencana mencari dukungan Int­ernasional dengan men­datangi negara-negara Ero­pa dan Per­serikatan Bangsa-Bangs­a (PBB).

Mereka berharap, negara Ero­pa bisa mendesak pe­me­rintah Indonesia menyelesaikan kasus penghilangan paksa ak­tivis.

Ketua A IKOHI Mugiyanto meng­atakan, upaya ini sebagai bentuk ketidakpuasan keluarga korban terhadap pemerintah dalam menangani kasus pen­cu­likan masa lalu.

“Kita sudah menunggu sejak lama, yakni selama 16 tahun agar kasus-kasus penghilangan paksa segera diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Tapi sa­yangnya, kasus ini makin ge­lap,” kata Mugiyanto di Ja­kar­ta, kemarin.

Dia menyatakan, tak hanya PBB yang akan dida­tangi, me­lainkan juga negara-negara Ero­pa, seperti Belanda, Belgia, Pa­ris, Perancis dan Jerman. IKO­HI mengaku, sudah be­rang­k­at ke Belanda kemarin ma­lam.

“Saya berangkat bersama dengan keluarga korban, Fitri Nganthi Wani anak dari korban aktivis Widji Thukul,” kata Mu­giyanto.

Ia menjelaskan, kedatangan­nya ke negara-negara Eropa un­tuk mencari dukungan ke ma­syarakat Internasional dan PBB. Supaya mereka bisa mendesak pe­merintah Indonesia me­nye­lesaikan kasus penghilangan paksa aktivis.

Dia mengaku, saat ini kecewa dengan pemerintahan SBY yang sudah 10 tahun belum bisa menuntaskan kasus HAM.

“Meski, kami melaporkan per­masalahan kasus ini ke dunia internasional, namun yang me­nyelesaikan kasus ini tetap pe­merintah Indonesia. Kita datang ke negara Eropa untuk mencari dukungan,” pungkasnya.

Ia mengaku, sudah meng­koor­dinasikan kedatangannya kepada sejumlah parlemen di negara Eropa. “Beberapa sudah dikonfirmasi untuk menerima kedatangan IKOHI. Sementara lainnya masih menunggu,” im­buhnya.

Ia mengatakan, selama 16 ta­hun terakhir, dari masa pe­me­rin­tahan BJ Habibie, Abd­u­rah­man Wahid, Megawati Soe­kar­noputri, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pers­oal­an HAM tak kunjungan ter­ungkap. Padahal, tugas presiden se­derhana, yakni hanya menge­luarkan Keputusan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM. “Proses pengadilan pent­ing karena penghukuman mem­beri pesan ke publik bahwa keja­hat­an yang mereka lakukan tak boleh lagi terjadi di kemu­dian hari,” tegasnya.

Dia menandaskan, kasus peng­hilangan paksa merupakan ke­ja­hatan yang ber­ke­si­nam­bungan. Apa­lagi, korbannya belum juga ditemukan.

Dia menambahkan, konso­lidasi korban pelanggaran HAM yang digelar pada 23 Juni hi­ngga 26 Juni 2014 lalu. Hal ini untuk merumuskan sikap dan resolusi korban terhadap Pe­milu Presiden 2014.

Selain itu, untuk terus meng­ingatkan kepada pelaku peng­hilangan orang secara paksa ter­hadap para aktivis pro-de­mokrasi pada 1997-1998. Mereka bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Cri­minal Court/ICC).

“Usaha ini sebenarnya sudah dilakukan tak lama setelah ke­jadian. Namun, karena Indo­ne­sia belum meratifikasi Statuta Roma, PBB  tak bisa berbuat banyak,” tuturnya.

Dia mengatakan, ada tiga agen­da pada konsolidasi na­sional. Selain akan mem­per­juangkan ke forum inter­na­sional, mereka juga akan ber­sikap pada pemilihan presiden pada 9 Juli nanti. IKOHI juga akan me­rumuskan kembali sikap dalam upaya me­nun­taskan pe­lang­garan HAM.

“Bukan hanya terkait dengan penculikan 1998, tetapi semua pelanggaran HAM yang belum terungkap harus dituntaskan,” kata Mugiyanto yang mengaku sebagai salah satu dari sem­bilan aktivis yang diculik di era reformasi. ***

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya