Penerapan kebijakan moratorium hutan belum berhasil menekan laju deforestasi (penghancuran lahan hutan) Indonesia. Hasil studi Nature Climate Change menunjukkan, Indonesia kehilangan sekitar 840.000 hektar hutan pada 2012.
Angka ini paling tinggi di duÂnia, dibanding Brasil yang keÂhilangan 460.000 hektare hutan. PeÂmerintah baru nanti diharapkan memÂperkuat kebijakan moÂraÂtorium (penghentian izin pengeÂlolaan) hutan.
“Moratorium hutan Indonesia terÂnyata tidak berhasil. PeneÂgaÂkan hukum masih lemah. BahÂkan, taman nasional juga dijarah,†ungkap Juru Kampanye Hutan GreenÂpeace Indonesia Yuyun InÂdradi di Jakarta, keÂmarin.
Ia mengatakan, temuan hasil studi tentang tingginya laju deÂforesÂtasi Indonesia tersebut meÂruÂpakan peringatan bagi peÂmerintah untuk segera meÂngatasi kerusakan hutan.
“Penghancuran hutan yang meÂningkatkan emisi gas rumah kaca Indonesia, menyebabkan satwa seperti harimau Sumatera ke amÂbang kepunahan, dan menÂcipÂtaÂkan kondisi kebakaran hutan dan bencana kabut asap,†katanya.
Yuyun mengatakan, Presiden SBY haÂrus mengambil tindakan cepat pada sisa masa pemeÂrinÂtahannya unÂtuk menekan defoÂrestasi, apaÂlagi moratorium pengÂelolaan huÂtan merupakan bagian dari koÂmitÂmennya untuk meÂnurunÂkan emisi.
Tahun 2009, SBY meÂnyamÂpaikan komitmen untuk menuÂrunkan emisi gas rumah kaca 26 persen pada 2020, atau sebesar 41 persen dengan bantuan lembaga internasional.
Komitmen tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan mengeÂluarÂkan peraturan presiden (PerÂpres) tenÂtang moratorium izin-izin konsesi baru dan pembukaan hutan alam dan gambut.
“Sekarang saatnya untuk berÂtindak. Presiden memiliki keÂsempatan untuk memperkuat warisan hijaunya,†pinta Yuyun.
Yuyun berharap, presiden terÂpilih akan memperkuat keÂbijakan moratorium hutan. Selain itu, juga meÂlakukan pembangunan tanpa meÂruÂsak hutan dan memastikan prakÂtik-praktik pengÂgunaan laÂhan secara bertangÂgungÂjawab.
“Pemerintah baru harus memÂperkuat moratorium hutan untuk melindungi seluruh hutan dan lahan gambut, dan menghormati hak-hak masyarakat lokal,†teÂgasnya.
Tak hanya itu, kebijakan itu untuk membantu perusahaan di seluruh dunia, seperti pulp dan kertas. “Saatnya pemerintah menÂciptakan insentif bagi prakÂtek-praktek ini,†tegasnya.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi juga berharap menÂdesak, Presiden bisa memperkuat InsÂtruksi PresiÂden (Inpres) tenÂtang moratorium perizinan perÂkeÂbunan sebagai upaya jangka panÂjang mencegah kerusakan hutan di daerah.
“Pemerintah harus menyadari bahwa jumlah perizinan perkeÂbunÂan skala besar maupun Hutan TaÂnaman Industri sudah meÂlamÂpaui ambang batas kemampuan pemerintah. Pemerintah sudah tak bisa mengawasi dan meÂngenÂdalikan dampak buruk yang bisa ditimbulkan,†ujarnya.
Sementara itu, Menteri KeÂhuÂtanan Zulkifli Hasan sebelumnya mengklaim Indonesia berÂhasil menekan deforestasi menÂjadi 450 hektar per tahun sepanjang 2011-2012.
“Sebelum reformasi 1998, rata-rata deforestasi mencapai tiga juta hektar per tahun, bahkan seÂtelah 1998 makin tinggi menÂcapai 3,5 juta hektare,†terangnya.
Menurut dia, penerapan keÂbiÂjakan-kebijakan perÂlinÂdungan huÂtan memberikan sumbangan berÂmakna dalam upaya penÂrunan laÂju deforestasi, termasuk di anÂtaranya moratorium pemberian izin baru konsesi hutan primer dan lahan gambut selama 2011 hingga 2013 yang kemudian diÂperpanjang sampai 2015.
Pembangunan Pendidikan Tak Sesuai Karakter BangsaPembangunan pendidikan dan dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tidak hanya sekedar mencerdaskan bangsa, tapi bagaimana melahirkan kaÂrakÂter bangsa sesuai dengan amaÂnat konstitusi.
Hal itu dikatakan Direktur Lembaga Studi Kebijakan PubÂlik (LSKP) Ichsanudin Noorsy meÂnanggapi debat Cawapres anÂtara Hatta Rajasa dengan JuÂsuf Kalla (JK) dengan tema “Sumber Daya Manusia dan Ilmu PeÂngeÂtaÂhuan dan Teknologi (Iptek).â€
Dalam debat tersebut, Noorsy menilai, konsep dan jawaban JK soal membangun strategi penÂdidikan berikut pembiaÂyaÂannya tidak jelas.
Sementara Rektor Universitas PaÂramaÂdiÂna Anies Baswedan seÂbelumnya menyeÂbutÂkan, sediÂkitÂnya ada tiga aspek penting untuk menyokong peÂmerataan pendidikan. SaÂlah saÂtunya, membuka akses pendidikan.
Menurut Anies, salah satu upaÂya mendekatkan akses penÂdiÂdikan yakni penyediaan beaÂsiswa yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat. “Apabila universitas swasta saja bisa menyediakan beaÂÂsisÂwa, maka universitas neÂgeri leÂbih berkewajiban untuk meÂmeÂnuÂhi upaya itu guna meÂningÂÂkatÂkan akses pendidikan terÂsebut. SwasÂta saja bisa melaÂkuÂkan itu, maka universitas negeri harusÂnya juga bisa,†katanya.
Ia bahkan menyampaikan keÂkhaÂwatirannya terkait biaya penÂÂdÂidikan tingÂkat perguruan tingÂgi yang mahal meÂnyeÂbabÂkan regenerasi kelas meÂnengah berlaku stagnan.
Samperin PBB, IKOHI Desak Pemerintah Tuntaskan Kasus HAMAgar Penghilangan Paksa Tak TerulangIkatan KeÂluargÂa Orang HiÂlang Indonesia (IKOHI), beÂrencana mencari dukungan IntÂernasional dengan menÂdatangi negara-negara EroÂpa dan PerÂserikatan Bangsa-BangsÂa (PBB).
Mereka berharap, negara EroÂpa bisa mendesak peÂmeÂrintah Indonesia menyelesaikan kasus penghilangan paksa akÂtivis.
Ketua A IKOHI Mugiyanto mengÂatakan, upaya ini sebagai bentuk ketidakpuasan keluarga korban terhadap pemerintah dalam menangani kasus penÂcuÂlikan masa lalu.
“Kita sudah menunggu sejak lama, yakni selama 16 tahun agar kasus-kasus penghilangan paksa segera diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Tapi saÂyangnya, kasus ini makin geÂlap,†kata Mugiyanto di JaÂkarÂta, kemarin.
Dia menyatakan, tak hanya PBB yang akan didaÂtangi, meÂlainkan juga negara-negara EroÂpa, seperti Belanda, Belgia, PaÂris, Perancis dan Jerman. IKOÂHI mengaku, sudah beÂrangÂkÂat ke Belanda kemarin maÂlam.
“Saya berangkat bersama dengan keluarga korban, Fitri Nganthi Wani anak dari korban aktivis Widji Thukul,†kata MuÂgiyanto.
Ia menjelaskan, kedatanganÂnya ke negara-negara Eropa unÂtuk mencari dukungan ke maÂsyarakat Internasional dan PBB. Supaya mereka bisa mendesak peÂmerintah Indonesia meÂnyeÂlesaikan kasus penghilangan paksa aktivis.
Dia mengaku, saat ini kecewa dengan pemerintahan SBY yang sudah 10 tahun belum bisa menuntaskan kasus HAM.
“Meski, kami melaporkan perÂmasalahan kasus ini ke dunia internasional, namun yang meÂnyelesaikan kasus ini tetap peÂmerintah Indonesia. Kita datang ke negara Eropa untuk mencari dukungan,†pungkasnya.
Ia mengaku, sudah mengÂkoorÂdinasikan kedatangannya kepada sejumlah parlemen di negara Eropa. “Beberapa sudah dikonfirmasi untuk menerima kedatangan IKOHI. Sementara lainnya masih menunggu,†imÂbuhnya.
Ia mengatakan, selama 16 taÂhun terakhir, dari masa peÂmeÂrinÂtahan BJ Habibie, AbdÂuÂrahÂman Wahid, Megawati SoeÂkarÂnoputri, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, persÂoalÂan HAM tak kunjungan terÂungkap. Padahal, tugas presiden seÂderhana, yakni hanya mengeÂluarkan Keputusan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM. “Proses pengadilan pentÂing karena penghukuman memÂberi pesan ke publik bahwa kejaÂhatÂan yang mereka lakukan tak boleh lagi terjadi di kemuÂdian hari,†tegasnya.
Dia menandaskan, kasus pengÂhilangan paksa merupakan keÂjaÂhatan yang berÂkeÂsiÂnamÂbungan. ApaÂlagi, korbannya belum juga ditemukan.
Dia menambahkan, konsoÂlidasi korban pelanggaran HAM yang digelar pada 23 Juni hiÂngga 26 Juni 2014 lalu. Hal ini untuk merumuskan sikap dan resolusi korban terhadap PeÂmilu Presiden 2014.
Selain itu, untuk terus mengÂingatkan kepada pelaku pengÂhilangan orang secara paksa terÂhadap para aktivis pro-deÂmokrasi pada 1997-1998. Mereka bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (
Internasional CriÂminal Court/ICC).
“Usaha ini sebenarnya sudah dilakukan tak lama setelah keÂjadian. Namun, karena IndoÂneÂsia belum meratifikasi Statuta Roma, PBB tak bisa berbuat banyak,†tuturnya.
Dia mengatakan, ada tiga agenÂda pada konsolidasi naÂsional. Selain akan memÂperÂjuangkan ke forum interÂnaÂsional, mereka juga akan berÂsikap pada pemilihan presiden pada 9 Juli nanti. IKOHI juga akan meÂrumuskan kembali sikap dalam upaya meÂnunÂtaskan peÂlangÂgaran HAM.
“Bukan hanya terkait dengan penculikan 1998, tetapi semua pelanggaran HAM yang belum terungkap harus dituntaskan,†kata Mugiyanto yang mengaku sebagai salah satu dari semÂbilan aktivis yang diculik di era reformasi. ***