Capres Joko Widodo menganggap wajar kalau suara warga Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terbagi kepada masing-masing pasangan calon presiden yang berlaga dalam Pemilihan Presiden ini. Dia menghormati pilihan tersebut.
"Semuanya baik NU atau Muhammadiyah suaranya ada yang di sini atau di sana. Wajar sekali," ujar Jokowi sebelum menuju Pasar Jumat, Purwakarta (Selasa, 17/6).
"Semua partai tidak mungkin bisa menghimpun penuh suara NU atau Muhammadiyah," sambung Jokowi, seperti dikutip dari rilis yang diterima sesaat lalu.
Dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, memang secara resmi tidak mendukung salah satu pasangan. Dua ormas Islam itu menyerahkan sepenuhnya ke masing-masing warganya untuk menentukan capres-cawapres mana yang akan dipilih.
Meski tidak ada keputusan resmi organisasi, pimpinan kedua ormas tersebut sudah jelas menyatakan sikapnya. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj misalnya, secara tegas mendukung Prabowo-Hatta. Bahkan istrinya, Nurhayati Said Aqil Siroj meradang saat namanya dicatut masuk dalam tim sukses Jokowi-JK.
Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, memang tidak menyatakan dukungan. Tapi di beberapa kesempatan, Din yang sudah berteman dengan Prabowo sejak masih aktif di militer itu, mengakui bahwa pihaknya dulu menyebut mantan Danjen Kopassus itu seperti Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad yang terkenal dengan ketegasannya.
Sementara itu, berdasarkan hasil survei Pol-Tracking, suara kedua warga ormas tersebut memang terbelah. Di kalangan warga NU, Jokowi-JK lebih unggul sebesar 48,1 persen, sementara pemilih Prabowo-Hatta sebesar 41,7 persen.
Sedangkan warga Muhammadiyah, sebesar 44,6 persen lebih banyak memilih pasangan Prabowo-Hatta; 42,3 persen memilih Jokowi-JK.
[zul]