. Ketua DPR RI, Marzuki Alie berjanji memediasi kasus penyerobotan lahan masyarakat di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara yang telah diserobot oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III (BUMN) sejak tahun 1995.
Menurut Marzuki jika memang bukti-bukti yang ditunjukkan masyarakat kepadanya benar, maka seharusnya PTPN III mengembalikan lahan tersebut kepada warga masyarakat pemilik asli lahan ersebut.
"Saya akan bicara dengan pihak BPN yang mengeluarkan HGU kepada PTPN III atas tanah milik warga. Kalau memang ada ketidakberesan dalam proses pemberian HGU itu, maka saya minta BPN mengkoreksinya dan PTPN III mengembalikan lahan tersebut kepada pemiliknya yang sah," ujar Marzuki Alie dalam pertemuan mediasi antara warga masarakat dan BPN di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (11/6).
Marzuki mengatakan, pihak BPN sendiri melalui Ketua BPN Hendardji Supandji sebenarnya sudah mengetahui permasalahan tersebut. Menurut dia lagi, Hendardji pun telah menyetujui dilakukannya eksaminasi atas kasus sengketa tanah tersebut.
"Seharusnya pihan BPN yang diwakili oleh salah seorang deputinya membawa hasil investigasi mereka atas kasus tersebut, namun ternyata yang mereka bawa justru upaya perpanjangan HGU. Ini bertentangan dengan pernyataan ketua BPN sendiri," tegas Marzuki.
Oleh karena itu, dirinya pun mendapatkan ketegasan bahwa dalam waktu paling lama 3 minggu mendatang, pihak BPN akan membawa hasil investigasi mereka. "Mereka janji paling lama 3 minggu hasil investigasi mereka akan mereka bawa. Sejauh yang saya lihat, yang salah memang pihak PTPN, tapi kita lihat saja apa bukti-bukti yang dibawa masyarakat asli atau tidak," ujarnya.
Sementara itu salah satu perwakilan warga yang hadir pada pertemuan itu, Suwarno mengatakan kasus ini sebenarnya murni penyerobotan di era orde baru. Bukti-bukti yang dimiliki masyarakat juga sudah sangat kuat. Dirinya mengemukakan bahwa HGU yang dikeluarkan untuk PTPN III tahun 1995, padahal menurutnya PTPN sudah beroperasi di daerah tersebut sudah sejak tahun 1988.
"Ini artinya sejak tahun 1988, sampai tahun 1995 mereka tidak bayar pajak. Seluruh instansi sudah menyatakan tanah itu adalah tanah kami, mengapa mereka masih ngotot saja memertahankan apa yang bukan menjadi hak mereka," katanya.
Selain itu ujarnya lagi, luas tanah yang mereka miliki tidak bertambah seperti yang terlihat dari sertifikat, tapi justru peta mereka bertambah. "Ini kan aneh karena tanah yang masuk peta dan tidak masuk dalam sertifikat adalah tanah kami," demikian Suwarno.
[rus]