BANYAK yang bertanya tanya, termasuk penulis, apa kira kira-kira maksud dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat yang akan mengundang pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan berkompetisi dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 untuk memaparkan visi misinya di hadapan kader partai seluruh Indonesia pada awal Juni mendatang.
Akankah partai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu masih pada netral dalam memberikan dukungan kepada kedua kandidat, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Spekulasi bisa saja muncul, dari mulai upaya bagi bagi kursi dan mendekati kandidat Presiden hingga-merujuk pernyataan SBY sebelumnya-ingin melihat sekali lagi pandangan para kandidat Presiden atas capaian dan dasar pembangunan yang sudah diletakan SBY selama 10 tahun pemerintahannya.
Jika itu yang dimaksudkan, hemat saya, pertemuan tersebut sangat strategis dan berguna, bahkan pun, sebagai kesimpulan baru Demokrat pada akhirnya harus melampaui sikapnya yang terdahulu, netral!
Pembangunan sebagai sebuah keberlanjutan dan perubahan, tidak saja penting untuk didialogkan, namun harus dimajukan sebagai bentuk kemitraan dari kekuatan elemen bangsa, tentang apa apa saja yang sudah dan belum dikerjakan.
Sepertihalnya saya ingin memberi gambaran tentang kebutuhan besar bangsa ini menuju Industriliasisasi yang tangguh, sekaligus bagaimana menyingkirkan rintangan yang ada.
Sebagai contoh, dari pengalaman dan data yang kita miliki, saat ini 64 persen industri yang tergantung bahan baku impor turut mendominasi nilai produksi industri nasional sebesar 80 persen, serta menyumbang 65 persen penyerapan tenaga kerja.
Industri terbanyak impor (bahan baku, penolong, & barang modal) ada pada sembilan kelompok. Ialah industri permesinan & logam, otomotif, elektronika, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil & produk tekstil (TPT), barang kimia lainnya, serta pulp & kertas. Enam diantara dari sembilan industri tersebut neracanya defisit, dimana impor lebih besar dibandingkan ekspor.
Upaya dan strategi untuk memetakan persoalan dan membangun solusinya pemerintah sekarang telah mencoba merumuskan.
Seperti dengan kehadiran UU Perindustrian. Undang-Undang tentang Perindustrian yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984. Undang-Undang ini dinilai merupakan regulasi pembangunan industri untuk program jangka panjang selama 20 tahun sebagai strategi besar industri nasional.
Tentang bagaimana kebijakan sektor industri dengan payung hukum yang kuat dan kewenangan lebih besar. Kewenangan tersebut dirasa perlu untuk mengonsentrasikan pada program-program industri yang berada banyak di kementerian lain yang tidak berjalan.
Seperti program hilirisasi industi, yang nantinya akan menjadi kewenangan dan ditangani Kementerian Perindustrian meskipun sifatnya cross sectoral.
Kementerian, yang berbasis program juga mempunyai kewenangan untuk ikut mengatur jenis atau volume impor yang dianggap tidak memberikan support kepada pertumbuhan industri nasional.
Dalam hal pembiayaan, pemerintah memfasilitasi tersedianya skema pembiayaan yang kompetitif bagi industri. Dalam hal ini dapat memberi subsidi bunga, hibah, pinjaman dan penyertaan modal kepada usaha industri.
Untuk melindungi industri dari ancaman kerugian akibat pasang surut ekonomi global, pemerintah memberikan mendorong stimulus fiskal dan juga kredit program.
Selain pendekatan perundangan tersebut, setuju dengan Faisal Basri, perlunya advokasi yang memadai seperti struktur tarif (bea masuk) agar jangan sampai bersifat anti-industrialisasi.
Bahwa bantuan pemerintah sehebat apa pun dalam bentuk pendanaan tidak bakal ampuh mendorong industrialisasi kalau struktur tarif (bea masuk) justru masih bersifat anti-industrialisasi. Seperti dalam kasus pabrik telepon genggam, mustahil hadir di Indonesia jika bea masuk untuk telepon genggam nol persen, sedangkan bea masuk untuk komponennya berkisar antara 5% sampai 15%. Secara bisnis akan lebih pro impor dibanding memperkuat industri nasional.
Faisal Basri mencatat, impor bahan baku atau komponen dikenakan PPh pasal 22 sebesar 2,5%. Pertengahan tahun lalu pemerintah justru menaikkan PPh pasal 22 menjadi 7,5 %. Jadi, kalau pabrikan mengimpor komponen senilai US$1 miliar, sekarang mereka harus membayar di muka PPh pasal 22 sebesar US$75 juta. Kesimpulannya belum berproduksi sama sekali sudah terkena banyak pungutan, hal ini tentu yang membuat kita menjadi tidak kompetitif dibanding negara negara ASEAN lainnya.
Belum lagi pilihan investor pada industri padat modal dibanding padat karya, suka atau tidak menghambat upaya memperluas lapangan kerja.
Kita tau elastisitas lapangan kerja untuk 1 persen pertumbuhan saat ini baru mencapai 290 ribu tenaga kerja. Baik Capres Jokowi maupun Prabowo, terhadap itu ingin mencapainya menjadi 500 ribu tenaga kerja, atau 2 Juta pertahun. Tantangannya adalah dengan tidak menjadikan labour insentif sebagai daya dukung program, sebagai konsekwensi melanjutkan kebijakan mengakhiri rezim upah murah.
Isyu percepatan pembangunan infrastruktur guna membangun iklim usaha dan penciptaan lapangan kerja tentu juga menjadi fokus yang harus dikerjakan.
Sudah menjadi perbincangan umum, masalah infrastruktur ini terhambat pada pembebasan lahan. Terobosan dari Capres yang ada, hemat saya baik untuk diapresiasi, salah satunya dengan membangun infrastruktur yang ditujukan "memecahkan" permasalahan konektivitas dan memperluas arus barang dan jasa dengan membangun jalan Tol diatas laut. Bisa disebut terobosan karena tidak perlu pembebasan lahan alias jauh dari konflik pertanahan.
Sebenarnya ada terobosan lain, yakni seperti mendorong design partisipatoris masyarakat untuk ikut menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur. Jika sebelumnya problem ada pada ganti rugi dan pengambilalihan kepemilikan, mungkin perlu dicoba mendorong asas pemanfaatan, atau sewa lahan.
Mereka masyarakat yang disewa lahannya bisa membangun Badan Usaha, dan mendapat dividen dari setiap keuntungan operator pelaksana pemanfaatan infrastruktur. Perolehan dividen tersebut akan menjadi salah satu model perlindungan sosial yg relatif baru, diluar yg sudah diprogramkan oleh Pemerintah seperti pada 4 kluster sekarang.
Kiranya hal hal diatas, upaya menyambung keberhasilan yang dalam dugaan saya akan lebih mengemuka. Bagaimana kebenaran akan menjadi titik tolak berikutnya.
Akhirnya, jika dilihat dari masalahnya satu persatu, hemat saya kok kita tidak punya kesempatan untuk bertikai dan berpisah. Kita butuh kerjasama dan gotong royong membangun bangsa, kecuali memang urusannya hanya kekuasaan semata, bukannya kesejahteraan rakyat.
Jadi akankah
continuity & change menjadi "Gong" koalisi terbaru?
[***]Wisnu Agung Prasetya
Pemerhati Sosial